Medio Pebruari 2011, saya mendapat undangan workshop
penilaian angka kredit dosen, yang acaranya dipusatkan di Bandungan. Panitianya
dari IAIN Walisongo, Semarang. Bandungan adalah salah satu daerah wisata.
Bandungan ini memiliki alam yang elok nan indah. Daerahnya pegunungan dengan udaranya
yang bersih, tata kotanya yang asri. Konon, di puncak Bandungan merupakan
tempat yang memiliki energy positif terbaik di dunia. Di kakan kiri jalan
terdapat hotel dan wisma yang bertuliskan: di sini ada karaoke.
Kota Semarang terkenal dengan kulinernya. Ada Lunpia, ada
wingko Babat, dll.
Kami juga sempat berkunjung di Sam Poo Kong, Laksamana Cheng
Ho.di sana, kami berfoto bersama. Banyak obyek yang kita lihat. Ada spanduk
besar berwarna yang bertuliskan: menyambut kedatangan patung Cheng Ho yang
terbesar. Ada juga patung-patung lainnya
yang mungkin pengikut setia Laksamana Cheng Ho. Ada juga baju Cheng Ho yang
disewakan, sekali berfoto bayar Rp 75.000.
Selesai melihat obyek wisata Cheng Ho, kami menuju Kampus II
IAIN Walisongo Semarang. Di sana, kami sudah ditunggu Dr Fadholan yang
sehari-hari beliau bertugas sebagai dosen yang menangi program khusus, Ma’had Takhassus Tahfiz al-Qur’an (Pesantren kampus yang khusus untuk hafal al-Qur'an). Sahabat
yang satu sewaktu masih tinggal di Mesir banyak menulis buku, disamping
bertugas sebagai staf local di KBRI Mesir. Salah satu karyanya yang saya ingat
adalah: al-Shalat fi al-Hawa’. Di dalamnya
dibahas tata cara shalat di atas pesawat mulai tata cara berwudhu, hal-hal
teknis mengenai bersuci dengan tissue (kering dan basah), sampai bagaima
menentukan kiblat. Dari buku ini, kelihatan bahwa yang bersangkutan mengetahui
secara mendalam fiqih perbandingan mazhab.
Ia banyak bercerita mengenai pengembangan Ma’had al-Jami’ah
dan nilai plus mahasiswa diasramakan.
Ia juga bercerita mengenai kitab-kitab yang diajarkan kepada
mahasiswanya. Kalau fiqih yang diajarkan adalah al-Yaqut al-Nafa’is kayra ahmad Muhammad al-Jasiri, seorang ulama kenamaan
kelahiran Hadhramaut, Yaman. Kitab ini memuat ensiklopedi masalah-masalah
fiqih. Inilah cirri khas kitab ini dan sangat mudah dipahami oleh pelajar
pemula. Umpamanya bab mengenai wudhu’, memuat pembahasan pengertian wudhu,
syatat-syarat sahnya, dan membatalkannya serta hikmahnya. Kitab ini berhaluan
mazhab al-Syafi’iyah.
Di bidang tasawuf, pak Fadholan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-din.
Di bidang akhlak, diajarkan kitab karya al-Mawardy yang
berjudul Adab al-Dunya wa al-Din.
Saya membayangkan kalau Ma’had Aly (Ma’had al-Jami’ah) di
beberapa PTAI memiliki spesifikasi keilmuan agama yang mendalam, maka sarjana
IAIN akan menjadi primadona. Lulusan PTAI akan terhindar dari “sarjana kertas”—meminjam
istilah Prof Djoko Santoso, Dirjen Dikti--. Sarjana kertas adalah sarjana yang
hanya mengantongi ijazah tanpa memiliki kompetensi yang cukup untuk bidang
keilmuan yang digelutinya.
Saya lagi teringat cerita (Dr.HC) Ir Ciputra. Beliau ini
adalah raksana entrepreneur Indonesia terutama di dunia property. Pak Ci—demikian
beliau disapa—menantang hidup berkat keuletan dan ketekunan serta lobbynya. Rupanya
beliau selama bekerja dan menekuni bidang wirausaha tidak pernah memakai dan
membawa-bawa ijazah. Pak Ci hanya mengandalkan kompetensinya. Setelah berselang
40 tahun, suatu waktu ketika isterinya memeriksa koper tua di rumahnya. Dalam koper
itu ternyata tersimpan rapi ijazah pak Ci. Pak Ci meraih sukses tanpa ijazah
ITB yang sudah lama diraihnya di bidang arsitek.
Lalu, bagaimana dengan lulusan PTAI kita?
Wa Allah a’lam.
1 komentar:
PTAI di Indonesia blm punya inner power. lebih suka mencontoh yg dari barat. dosennya lebih suka berpolitik dalam kampus...aq juga miris, kalau lihat alumni PTAI blm lancar baca al Qur'an
Posting Komentar