Gallery

Senin, 06 Februari 2012

Makna Jihad

What Is Jihad?
Oleh: Muhammad Zain

Pendahuluan
Sebetulnya judul yang akan dibahas cukup provokatif. Yakni, Membahas Tafsir Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Jihad, Perang, Teror. Sebab, pada hakikatnya tidak ada hubungan antara al-Qur’an dengan terorisme. al-Qur’an itu suci dan sakral. Sedang terorisme itu adalah sesuatu yang profan, terkait dengan perilaku manusia. Sama halnya dengan “tafsir al-Qur’an” yang juga profan bersumber dengan pergumulan nalar dan pemikiran manusia dengan teks al-Qur’an.
Mengenai Jihad dalam al-Qur’an, kita akan banyak menemukan terma tersebut. Hanya saja pertanyaan yang sampai kini masih hangat diperbincangkan adalah what is jihad?  Apakah jihad itu sama dengan “the holy war”? ( perang suci?). Apakah jihad berkait kelindan dengan aksi-aksi “terorisme”? Atau antara jihad dengan terorisme adalah dua entitas yang sangat berbeda? Pada titik inilah arti penting diskusi kita kali ini. Oleh karenanya, paper ini hanya akan membahas petunjuk al-Qur’an mengenai jihad, dan pada bagian tertentu juga akan dibahas sejumlah hadis yang terkait dengan pokok bahasan.
Sebelum melangkah pada pembahasan pokok paper ini, izinkan saya bercerita mengenai kisah inspiratif Prof. Jeffry Lang. Ia adalah seorang profesor pada Departemen Matematika pada University of Kansas, AS. Ia pada awalnya adalah seorang penganut Kristen. Ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat. Suatu hari di hotel, ia mendengarkan azan yang sangat merdu yang menyebabkannya terpikat dengan ajaran Islam. Suara azan tersebut membuatnya bergetar. Dan setelah itu, ia mencari tahu bagaimana ajaran Islam itu. Ia dan keluarganya berkelana ke Saudi Arabiyah, negara tempat lahirnya Islam. Ia dan keluarga melaksanakan ibadah haji. Meskipun kecewa dengan perilaku kebanyakan umat Islam di sana, dan tidak sepenuhnya berkesesuaian dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi  Saw. Perjalanannya itu, ia abadikan dalam buku yang berjudul: Even Angels Ask: A Journey to Islam in America, 1997.[1]
 Suatu hari ia bertemu dengan seorang wanita di Swalayan. Wanita tersebut tidak diberi kesempatan untuk shalat jama’ah di mesjid. Ia juga tidak habis fikir dengan adanya mutawwa’, polisi yang mengawasi gerak-gerik orang lain. Ini sangat menggelikan, pikirnya. Apakah memang di Arab, akhlak secara individual lebih dipentingkan ketimbang akhlak sosial atau etika secara universal? Seperti keadilan, kejujuran, responsibility, tanggung-jawab, kemaslahatan bersama, dll.
Hal yang menarik dari Jeffry Lang ini adalah:
(a)    Ia mengusung ber-Islam yang kritis. Ia banyak mempertanyakan doktrin-doktrin Islam dengan kritis. Islam yang kritis yang diusungnya bukannya melemahkan imannya tapi justeru memperkuat iman-islamnya.
(b)   Ia tetap mempertahankan Islam rahmatan li al-‘alamin. Islam itu adalah ajaran dan agama universal, bukan agama Arab. Tidak ada arabisasi, yang ada adalah islamisasi. Seperti terma Alhamdulillah, bukan diucapkan Alhamdulillah bagi komunitas Islam non-Arab, tapi tetap memakai  Thank’s God. Tentu pikiran seperti ini sangat kontras dengan kebiasaan sebagian dari kita yang sering melafalkan kalimat-kalimat islami, seperti Alhamdulillah, subhanallah, Allah akbar, masya Allah, Insya Allah, dst. Meskipun terkadang mereka ini bersikap eksklusif dalam pergaulan sehari-hari. Dalam artian, mereka berkeyainan bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Dan dalam batas-batas tertentu hanya merekalah pemilik kebaikan dan kemuliaan. Dan sangat boleh jadi mereka mempermaklumkan diri sebagai calon penghuni sorga, sedang yang lain “belum tentu”.
(c)    Pijakan argumentasi Jeffry Lang adalah Q.S al-Baqarah (2): 31, ketika para malaikat mengajukan protes kepada Tuhan tentang akan diciptakannya makhluk baru, yaitu Adam a.s. Mengapa Tuhan akan menciptakan Adam, bukankah kami ini yang sejak penciptaan awal, kami selalu memuji-Mu, mensucikan-Mu, dan tidak pernah melanggar perintah-Mu? Dari sinilah, sehingga Prof Lang tambah mantap dengan iman-Islam.

Islam kritis bukan Islam Keturunan. Apakah selama ini kita sudah pernah bertanya terhadap Islam-iman kita? Apakah aqidah dan tauhid kita sudah benar? Apakah cara wudhu’ dan shalat kita sudah benar? Apakah tata cara bertutur kita sudah benar? Apakah cara kita mempergauli pasangan hidup kita sudah benar? Apakah cara kita mengendarai mobil, motor sudah tepat? Apakah ketika kita tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas termasuk dosa sosial? Apakah membunyikan klakson mobil sudah benar? Apakah cara baca (tajwid dan tartilnya) al-Qur’an kita benar? Apakah kita sudah bersyahadat dan memahaminya dengan benar? Apakah makna agama dalam kehidupan kita? Apa betul kita sudah beragama yang benar? Apakah kita sudah memosisikan agama sebagai way of life? Ataukah agama hanya sekedar lipstik belaka? Atau agama hanya sebagai “tameng”? kalau sudah “berperkara” di pengadilan baru memakai simbol-simbol agama? Apakah kita beramagama hanya sekedar “menggugurkan” kewajiban ataukah sudah menjadi sebuah kebutuhan? Atau kita beragama karena kesadaran batin? Ataukah kita beragama karena ikut-ikutan?


Sekilas Budaya Arab Pra-Islam
Berbicara tentang al-Qur’an dan tafsirnya, konteks sosio-historis Arabiyah merupakan hal yang menjadi penting.            Sebab, al-Qur’an diturunkan pada suatu masyarakat yang bukannya “hampa budaya”. Itulah sebabnya dalam kitab ‘Ulumul Qur’an ( ilmu-ilmu al-Qur’an) selalu ada bab khusus yang membahas sabab al-nuzul al-Qur’an ( latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an). Dalam ilmu hadis juga dikenal sabab wurud al-hadith ( latar belakang lahirnya sebuah hadis). Latar belakang turunnya sebuah ayat dan latar historis masyarakat arab—yang juga dikenal sebagai sabab nuzul makro—sangat penting artinya dan sangat membantu seseorang dalam melakukan penalaran terhadap sebuah ayat al-Qur’an. 
Mengenai gambaran masyarakat Arab Pra-Islam M. Ira Lapidus menjelaskannya, sebagai berikut:
Masyarakat Islam dibangun di atas framework peradaban Timur Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Dari peradaban Timur Tengah pra-Islam, masyarakat Islam mewarisi pola institusi yang turut membentuk keadaan mereka sampai pada zaman modern. Sejumlah institusi tersebut mencakup tatanan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab), kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistic, dan imperium birokratis. Meskipun lahir di Mekkah, peradaban Islam mempunyai leluhur di Palestina dan Babylonia.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah umat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental: asal usul dan struktur sejarah yang tengah berlangsung. Aspek pertama yang merupakan organisasi masyarakat manusia menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan juga kelompok yang bercorak kekeluargaan. Masyarakat berburu dan gerombolan pada masa yang paling awal hidup dan tersebar pada sebagian besar wilayah Timur Tengah yang cukup luas dalam ikatan kelompok-kelompok kecil. Semenjak berlangsung pola kehidupan pertanian dan pemeliharaan binatang ternak sebagian besar masyarakat Timur Tengah telah hidup dalam perkampungan pertanian atau dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[2]
            Lebih lanjut Toshihiko Izutzu menggambarkan karakter masyarakat Arab  [Badui] yang terkenal kasar dan keras. Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat Jahiliyah. Jahiliyah bukan lawan kata dari al-‘ilm (berpengetahuan) sebagaimana dipahami selama ini. Jahiliyah kurang tepat diartikan sebagai kebodohan. Jahiliyah lebih tepat dimaknai sebagai hamiyat al-jahiliyah (arogansi kejahiliyahan). Jahiliyah lebih tepat dilawankan dengan al-hilm (kasih sayang, santun dan murah hati). Seruan untuk senantiasa berbuat kebajikan (al-ihsan), berbuat adil (al-‘adl), larangan berbuat sewenang-wenang (al-zulm), perintah untuk mengendalikan hawa nafsu, larangan untuk arogan, sombong, dan congkak adalah manifestasi dari sifat al-hilm.[3]
Jadi, Jahiliyah pada awalnya dipakai untuk hubungan disharmonis antara  manusia dengan manusia lainnya. Sikap arogansi, angkuh, merasa lebih kaya dan berkuasa dengan yang lainnya, mengejek orang yang lebih rendah dari dirinya, baik secara ekonomi maupun politis adalah sederetan sikap dan perilaku Jahiliyah. Belakangan, Jahiliyah baru dipakai sebagai bentuk “perlawanan” kepada hukum-hukum Tuhan.[4]
            Lain halnya dengan Ibn Khaldun yang membandingkan keutamaan masyarakat Badui (al-badawah) dengan masyarakat metropolis (al-hadarah) dalam hal menjaga kesucian garis keturunan dan menghormati tamu (ikram al-duyuf).[5]  Masyarakat Badui sangat ketat dalam menjaga kehormatan keluarga dan kesucian nasab (garis keturunan). Bahkan hukum rajam (hukum mati bagi pelaku zina) sangat boleh jadi merupakan hukum masyarakat Badui yang dielaborasi oleh Islam.
            Bangsa Arab sangat memperhatikan garis keturunan agar mereka dapat saling tolong-menolong di antara mereka. Sehingga para geneolog mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Genealog (nassabah) mendapatkan tambah ta’ marbutah untuk gelar kehormatan. Sama halnya dengan al-‘alla>mah (maha guru) atau al-fahha>mah (cerdik-pandai) dipakai untuk menggambarkan kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang.
            Seseorang yang tidak jelas nasab-nya atau sudah keluar dari kelompok sukunya, maka hidupnya akan terancam. Bahkan, kalau ia terbunuh, tidak ada jaminan balas darah (diyat) dari pihak keluarga. Tentu, keadaan ini berbeda dengan seseorang yang diakui oleh ikatan keluarganya (al-usrah atau al-‘a>’ilah), sampai mati pun masih mendapat jaminan dari keluarganya. Keluarga dan sukunya dapat menuntut balas darah atas kematiannya. Jadi, kejelasan garis keturunan dan pengakuan dari ikatan keluarga sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat Arab.
            Perilaku masyarakat Arab [Badui] yang demikian itu masih ditemukan di era sekarang. Muhammad Asad menggambarkan perilaku masyarakat Arab Badui yang ditemuinya selama perjalanannya di wilayah Semenanjung Arabia sebagai masyarakat pagan yang demikian itu.[6] Harus dicatat bahwa genealogi bangsa Arab terbagi menjadi enam, yakni: (a) al-Sha’b (bangsa), (b) al-Qabi>lah (suku), (c) al-‘Ima>rah (sub-suku), (d) al-Bat}n (klan atau marga), (e) al-Fakhdz (moiety), dan (f) al-Fas}i>lah (faksi).[7]
            Konsep “kesukuan” dan keluarga bangsa Arab masih tumbuh dan relevan untuk diterapkan dalam kehidupan keseharian hingga sekarang ini. Adalah Lamya’ al-Faruqy (istri Ismail R. Al-Faruqy) yang telah mengembangkan konsep ‘a>’ilah (keluarga besar) menjadi sebuah konsep yang lebih tepat dalam memelihara keutuhan keluarga dari kegalauan modernitas. Dengan konsep ‘a>’ilah ini, Lamya’ berkeyakinan bahwa seorang ibu rumah tangga dengan sejumlah tugas publik yang diembannya atau dalam meniti karirnya tidak boleh sampai menelantarkan tugas-tugas domestiknya [dalam keluarga]. Sebab, anak dan keluarga bukan hanya merupakan tugas kedua orang tua, tapi merupakan tugas “keluarga besar” (‘a>’ilah) tadi.[8]
            Ada hal lain yang menarik mengenai masyarakat Islam awal anjuran untuk menghancurkan patung-patung dan lukisan. Penghancuran patung dan lukisan tersebut bukan hanya dalam rangka pemurnian tauhid, tapi juga terkait dengan penguasaan ekonomi dan monopoli distribusi produksi. Penghancuran patung tersebut sebagai simbol “runtuhnya” dominasi kapitalisme Arab waktu itu. Oleh sebab itu, biasanya orang-orang yang memiliki penguasaan aset-aset ekonomi yang kuat dapat menciptakan karya seni yang gemilang.
            Marshall G.S. Hodgson berpendapat bahwa masyarakat agraris dan penguasaan produksi ekonomi berbanding lurus dengan pemilikan, biasanya ditandai dengan pembangunan seni yang sangat tinggi.[9] Seperti Mesir dengan bangunan Piramidanya, India dengan Taj Mahalnya, Indonesia dengan Candi Borobudurnya, dan lain-lain. Meskipun hal ini berbeda dengan masyarakat Afrika bahwa peradaban yang maju tidak selamanya ditandai oleh kebudayaan material.
            Hal ini menarik untuk mencermati hadis tentang larangan untuk membuat patung dan benda-benda seni lukis lainnya, seperti larangan melukis hewan (atau makhluk yang bernyawa lainnya). Larangan tersebut didasarkan, misalnya pada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak senang dengan bantal yang bergambar. Suatu hari Nabi saw. menegur A’isyah. Beliau tidak senang memakai bantal yang memiliki lukisan atau gambar.[10]
            Kembali memperbincangkan karakter Semenanjung Arabiyah yang cukup unik dibanding dengan beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah. Ketika dunia imperial pada umumnya merupakan wilayah perkotaan, Arabia bertahan sebagai negeri perkemahan dan oasis. Ketika masyarakat dunia imperial mengembangkan keyakinan monotheistic, masyarakat Arabia pada umumnya sebagai warga pagan. Ketika dunia imperial secara politik terorganisir secara baik, maka Arabia secara politik tercerai-berai.[11]
            Memang, kondisi Arab pra-Islam masih ada hal yang belum mendapat sokongan pandangan yang seragam di kalangan para ahli. Jalaluddin Rakhmat, umpamanya, mengkritik sejumlah pandangan yang dinilainya kurang tepat mengenai Arab pra-Islam. Orang Arab disebut jahiliyah bukan hanya secara moralitas, sebagaimana selama ini dipahami oleh banyak kalangan, tetapi juga dari segi penguasaan ilmu pengetahuan. Ketika Mesir sudah mencapai puncak kejayaan di bidang tulis menulis, orang Arab yang hidup di Semenanjung Arabiyah masih buta huruf. Orang Arab hanya memiliki pengetahuan tentang penelusuran jejak [qifa>yah], jika ada orang hilang atau hewan buruan mereka yang hilang di gurun pasir. Padahal, kecakapan seperti ini dimiliki oleh bangsa-bangsa primitif lainnya selain Arab.
            Demikian pula halnya dengan riwayat-riwayat mengenai kedokteran cara Nabi saw. [al-t}ibb al-nabawy>] yang disebut sebagai al-t>ibb al-ja>hily>. Di antara contohnya adalah riwayat “Apabila lalat jatuh pada minuman seseorang, maka hendaklah ia menenggelamkan lalat tersebut. Sebab, salah satu sayap lalat mengandung penawar racun”. Hal ini tidak masuk akal, dan tidak mungkin Nabi saw. pernah mengucapkannya.[12]
Orang Arab terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hati dan penghormatan terhadap tetamunya. Hal ini ternyata didasarkan pada tradisi al-siqa>yah [memberi minum bagi penziarah Ka’bah], bukanlah dilandasi oleh ketulusan hati mereka. Sikap ini dikarenakan ada keharusan melaksanakannya sebagai pengejewantahan kepatuhan kepada aturan qabi>lah dan keluarga besarnya. Demikian pula halnya dengan sifat keberanian bangsa Arab (al-shaja>’ah). Keberanian mereka bukanlah sifat dasariahnya, tetapi karena keterpaksaan yang harus hidup keras dan penuh pertarungan. Sehingga terkenal ungkapan in lam takun dhi’b-an akalatka al-dhi’b (kalau engkau tidak menjadi singa, maka singa akan menerkammu).[13]
Pandangan Jalaluddin Rakhmat tersebut di atas tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa Semenanjung Arabiyah terutama Mekkah tidak menjadi daya tarik bagi bangsa Romawi dan Persia karena ketandusannya. Bahwa penduduk Mekkah dan sekitarnya hidup dalam kemiskinan yang mengerikan adalah juga sulit dibantah. Akan tetapi, menggeneralisasi mereka sebagai bangsa yang tidak beradab dan berperadaban sama sekali juga tidak tepat. Nabi saw. pernah bersabda bahwa innama> bu’ithtu li-utammima maka>rim al-akhla>q (sesungguhnya aku diutus [menjadi seorang rasul] untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Ungkapan li-utammima maka>rim al-akhla>q menyiratkan makna bahwa sudah ada benih moralitas yang tumbuh dalam masyarakat Arab. Jadi, tidak seluruhnya “jelek”. Di antara mereka ada sekelompok orang yang senantiasa menjaga kesucian moral dengan tetap memeluk dan melestarikan agama Ibrahim. Kelompok ini dikenal dengan kelompok al-h}unafa>’.[14]
Kelompok al-h}unafa>’ ini jelas memiliki tradisi keagamaan sendiri, seperti (a) larangan menyembah selain kepada Allah swt.; (b) larangan membunuh anak perempuan hidup-hidup; (c) larangan riba; (d) menjalankan ibadah puasa; (e) mandi janabat; dan (f) tidak memakan daging babi.[15]
            Tentang posisi strategis kota Mekkah terdapat silang pendapat di kalangan pakar pemerhati kajian Islam. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa Mekkah adalah kota pusat perdagangan internasional, bahkan pusat keuangan. Mekkah bukanlah kota hampa budaya di tengah padang pasir. Posisi strategis kota Mekkah terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan transportasi dan transaksi perdagangan.
            Tesis M. Watt di atas dibantah oleh Patricia Crone. Bagi Crone, Mekkah yang gersang itu tidak menarik untuk investasi dan transaksi dagang. Kalaupun ada kegiatan bisnis, itu hanya terbatas pada kegiatan lokal. Kondisi ini berbeda dengan kota-kota yang terletak di wilayah pantai (yang sangat strategis sebagai kota pusat perdagangan). Sementara, Mekkah terletak di pedalaman yang tidak mungkin untuk melakukan transaksi perdagangan.[16]
            Wilayah sepanjang dari Yaman ke Syiria dan dari Abysinia ke Irak, ditambah lagi dengan posisi Mekkah sebagai pusat spiritual agama di Semenanjung Arabia, tiap tahunnya dikunjungi oleh para Penziarah. Ketika musim haji itulah terjadi transaksi bisnis antara Penziarah dengan penduduk Mekkah, dan antara Penziarah satu dengan Penziarah lainnya yang berasal dari wilayah lain dari semananjung Arabia seperti Yaman selatan.
            Harus dicatat bahwa daya tarik Islam bukan dari faktor perdagangan dan ekspansi (al-futu>h}a>t) saja, tapi ajaran one god dan one humanity (satu Tuhan dan satu kemanusiaan). Ajaran tauhid dan rah}mat-an li al-‘a>lami>n  itulah yang menjadi daya tarik agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.[17]

Jihad dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah
Jihad adalah fard}u kifa>yah (kewajiban kolektif). Jihad menjadi fard}u ‘ain (kewajiban individual) kalau seseorang sudah berada di medan perang. Jihad berbeda dengan al-qita>l (perang). Untuk jihad ini, pandangan Jamal al-Banna [saudara kandung Hasan al-Banna] adalah menarik untuk dikaji. Bagi Jamal al-Banna, jihad pada masa lalu adalah dukungan dan panggilan untuk “mati” [syahid] di jalan Allah. Tapi, jihad sekarang adalah ajakan untuk “hidup” [berjuang] di jalan Allah.[18]

عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

Hadis bersumber dari Ibnu Mas’ud r.a: Aku bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah, amalan yang bagaimana yang lebih utama? Nabi menjawab: menumaikan salat tepat pada waktunya (awal waktu). Aku bertanya lagi: Kemudian, apalagi? Jawab Nabi: Berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi, kemudian apalagi. Jawab Nabi: berjihad di jalan Allah. Lalu Nabi diam. Sekiranya aku bertanya lagi, tentu Nabi akan menambahnya.[19]

Ketiga amalan tersebut di atas adalah lambang ketaatan lainnya. Jika seseorang telah mengabaikan shalat fardunya, maka ia akan mengabaikan kewajiban lainnya. Siapa yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya (birr al-wa>lidai>n), maka ia akan sulit atau sedikit berbuat baik kepada orang lain. Siapa yang meninggalkan jihad, maka ia akan tidak peduli mengerjakan kefasikan lainnya.[20]

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwasanya Nabi pernah bersabda: Tidak ada lagi hijrah setelah Fath Mekkah (Penaklukan Mekkah), akan tetapi hanya jihad dan niat (komitmen). Dan apabila diseru kepada kalian untuk berjihad, maka berangkatlah.[21]
Hadis ini terkait dengan penganiayaan umat Islam. Hal ini juga dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 97-100.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (99)  وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (100)

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (97). Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (98). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun (99). Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (100).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تُرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Dari A’isyah r.a.h, ia berkata, Ya Rasulullah, kami berpendapat bahwa berjihad adalah amalan yang paling utama, apakah kami (kaum wanita) boleh berjihad? Nabi bersabda: akan tetapi, jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur.[22]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُومَ وَلَا تَفْتُرَ وَتَصُومَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنَّ فَرَسَ الْمُجَاهِدِ لَيَسْتَنُّ فِي طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ حَسَنَاتٍ

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: seseorang datang menemui Nabi dan berkata: Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang setara dengan jihad. Nabi bersabda: Aku tidak menemukannya. Sabda Nabi lagi: apakah engkau mampu jika seorang mujahid keluar dan masuk di masjidmu, salat terus-menerus, berpuasa dan tidak berbuka?. Laki-laki itu menjawab, siapa yang sanggup berbuat demikian. Abu Hurairah berkata: sesungguhnya kuda seorang mujahid (pejuang di jalan Allah) sebanding dengan panjangnya lalu kebaikan-kebaikannya ditetapkan padanya.[23]


عَنْ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ قَالُوا ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنْ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ.

Dari Abu Sa’id al-Khudry r.a, ia berkata: (suatu ketika) Nabi ditanya, Ya Rasululah, siapa gerangan yang paling mulia? Jawab Nabi: Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya. Mereka (para sahabat) bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi: Seorang mukmin yang meninggalkan orang banyak (berkhalwat) karena taqwa kepada Allah dan menjauhi kejahatan orang banyak.[24]


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ وَتَوَكَّلَ اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِهِ بِأَنْ يَتَوَفَّاهُ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرْجِعَهُ سَالِمًا مَعَ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ.

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: bahwasanya Aku mendengar Nabi pernah bersabda: Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah—Allah lebih tahu siapa saja yang berjihad di jalannya—seperti seorang yang berpuasa dan salat (sunat/qiyam al-lail), dan Allah menjaga bagi orang yang berjihad di jalan-Nya, sekiranya ia gugur di medan perang, maka Allah akan memasukkannya di surga, dan sekiranya ia kembali dari medan perang dengan selamat, maka Allah membalasnya dengan pahala dan ghanimah (harta rampasan perang).[25]


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيهَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, bahwa Nabi bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mendirikan salat, berpuasa pada bulan ramadhan, adalah Allah pasti memasukkannya di surga. Demikian pula halnya orang yang berjihad di jalan Allah atau ia tinggal saja di negeri di mana ia dilahirkan. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, apakah kami tidak perlu menginformasikan kabar gembira ini kepada orang banyak?. Nabi bersabda: Sesungguhnya di surga itu terdiri dari 100 derajat. Allah menyiapkan bagi para mujahid di jalannya di antara dua derajat perumpamannya seperti jarak antara bumi dan langit. Jika kalian berdo’a kepada Allah, maka mintalah surga al-firdaus. Sebab surga firdaus adalah surga yang paling luas dan paling tinggi (utama).[26]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Tak seorang pun Nabi yang diutus oleh Allah sebelum aku kecuali baginya terdapat pengikut setia, dan sahabat-sahabat yang mengambil sunnahnya, dan mengikuti perintahnya. Kemuadian setelah itu di belakangnya ada sekelompok umatnya yang hanya berbicara tetapi tidak mampu melaksanakannya, mengerjakan sesuatu ayng tidak diperintahkan untuk mereka. Maka barang siapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya (dengan kekuatan yang dimilikinya), maka ia termasuk orang yang beriman. Dan barang siapa yang berjihad dengan lisannya, maka ia juga termasuk orang beriman. Dan barang siapa yang berjihad dengan hatinya, juga ia termasuk orang yang beriman. Dan tidak ada lagi sesudahnya iman sebesar biji sawi.[27]
            Yang jelas, jihad fi sabilillah mengalami evolusi makna. Pada masa awal Islam, makna lain jihad adalah “berperang demi Tuhan”. Terma mujahidin merujuk pada mereka yang berperang di jalan Allah SWT. Belakangan, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq ibn Rahawaih memasukkan orang-orang yang menunaikan haji dalam kategori orang-orang yang sedang berjihad. Bahkan, sebagian ulama Hanafiah memasukkan para pelajar (penuntut ilmu pengetahuan) sebagai orang-orang yang sedang berjihad.[28] Yusuf Qardhawi, di era modern ini berpendapat bahwa berdakwah dan mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat (Eropa dan Amerika) merupakan jihad fi sabilillah.[29] Dalam konteks ke-Indonesiaan sangat terkenal fatwa KH. Hasyim Asy’ari tentang resolusi jihad beliau. Menurutnya, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah termasuk jihad. Oleh karena itu, setiap Muslim yang berada pada radiasi 60 Km dari musuh Belanda dan sekutunya wajib ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.[30]
Walhasil, jihad berbeda dengan qital (perang). Jihad dapat dimaknai sebagai segala usaha yang sungguh-sungguh untuk melayani maksud Tuhan, untuk menyebarkan sesuatu yang bernilai etik yang tinggi, seperti perwujudan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Jihad jelas bertentangan dengan segala tindakan yang mengarah pada tindakan kekerasan apalagi terorisme. Qita>l dalam al-Qur’an digunakan dalam kondisi tertentu dan sangat hati-hati. Al-Qur’an selalu mengikutkan izin untuk perang dengan ungkapan “wa la> ta’tadu>” (dan jangan sampai melampaui batas dan hukum Allah. Atau dan jangan sekali-kali melampaui ketentuan Allah Swt, dan seterusnya).[31]

Penutup
Sebagai bahan renungan, kutipan pandangan Dr Yusuf Qardhawi mengenai jihad ofensif masa modern menarik untuk dikaji lebih lanjut.
………bahwa jihad ofensif adalah memerangi musuh di markas militernya, seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim pada masa lalu, untuk menyingkirkan penguasa yang tiranik…. Pemerintahan waktu itu menghalangi rakyatnya untuk mendengar dakwah baru, seperti yang dilakukan Kisrah dan Kaisar Romawi, serta raja-raja lainnya. ………. bahwa jihad ofensif tidak dibutuhkan lagi pada masa sekarang, dan bukan lagi cara yang tepat untuk menyampaikan dakwah Islam kepada umat lainnya di bumi.
Kita memiliki pemancar radio yang pesan kita dapat disiarkan kepada masyarakat dunia dengan bahasanya masing-masing. Kita memiliki satelit yang dapat menjangkau seluruh penjuru dunia di timur dan barat. Kita memiliki jaringan internet yang dapat menembus setiap dinding rumah. Di samping itu, ada tulisan dalam bentuk buku, surat, makalah, koran bulanan, mingguan dan bahkan harian.
Semua sarana modern tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki spirit jihad, bukan dengan persenjataan senapan, pistol, atau bom, tetapi dengan ilmu pengetahuan dan keahlian. Kita mestinya berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik ( bi al-hikmah wa al-mau’izah al-hasanah), berdiskusi dan berdialog dengan cara yang baik, mengajak bicara manusia dengan bahasa yang berbeda dari Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, India, Portugal, Rusia, Cina, Jepang, India, dan bahasa dunia yang lain, di Afrika, Asia, dan Amerika latin.
……Menekuni cara-cara ini merupakan jihad besar, seperti firman Allah SWT……dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar (Q.S. al-Furqan [25]:52). (hanya saja)…. kita belum memilki satu persen dari yang kita butuhkan  dari sumber daya manusia terlatih yang mampu untuk berbicara kepada setiap komunitas dengan bahasa mereka, bukan dengan bahasa abad-abad yang lalu.
Saya juga berkata jujur dengan sangat menyesal kekosongan di sini sangat besar, dan kekurangannya sangat tajam, serta kelemahannya di sini sungguh berbahaya. Kurangnya institusi dan yayasan yang mengader pejuang dakwah atau media massa islam dengan kemampuan peralatan, pengetahuan, budaya, dan seni yang dibutuhkan.[32]
Akhirnya, kita harus sadar bahwa banyak pemahaman keislaman yang harus kita “tata ulang”. Jihad, jelas berbeda dengan perang (al-qital), apalagi terorisme. Kita harus beranjak dari jihad (mujahidin) menjadi ijtihad (olah fikir/mujtahid), dan dari ijtihad menjadi mujahadah ( olah spiritual).
Wa Allah a’lam bi al-Shawab


         [1] Jeffry Lang sudah menulis beberapa buku lainnya, yakni: (a) Struggling to Surrender, 1994, Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Suharyono dengan judul: Berjuang untuk Berserah Pergulatan Sang Professor Menemukan Iman, Serambi, 2008, dan (b) Losing My Religion: A call for Help, 2004. Buku ini juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Agung Prihantoro dengan judul: Aku Menggugat, maka Aku kian Beriman, Serambi, 2008.
[2]Lihat M. Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), hlm. 3.
[3]Dalam al-Qur’an, sifat al-hali>m adalah karakter orang-orang pilihan, seperti: Nabi Ibrahim a.s (Q.S. al-Tawbah/9:114); Nabi Ismail a.s (Q.S al-S}affa>t/37:101; Nabi Syuaib a.s (Q.S. Hu>d/11:87. Tentu saja gambaran yang paling tepat untuk terma al-h}ilm ini adalah merujuk pada sifat Allah yang Maha Penyantun (al-h}ali>m). Lihat al-Raghib al-Ashfahany (425 H), Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, telah diedit oleh Shafwan ‘Adnan Dawudy, (Beirut: al-Dar al-Shamiyah, 1992 M), hlm. 253; lihat juga M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1998 M), hlm. 161-165. 
[4]Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, terutama bab VIII yang membahas Islam dan Jahiliah. Pandangan yang lebih memadai telah dibahas Izutsu dalam bukunya yang lain terutama bagian pengantar, The Structure of the Ethical Terms in the Koran, (Tokyo, 1959).
[5]Lihat Abd Rahman ibn Muhammad al-Khadramy (Ibn Khaldun w. 808 H), Ta>ri>kh ibn Khaldu>n yang judul aslinya: Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabr fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘As}rahum min Dhawy> al-Sult}a>n al-Akbar, terutama bagian muqaddimah [pengantar], (Beirut: Mu’assasah Jammal li al-Taba’ah wa al-Nasyar, 1979 M).
[6]Dalam perjalanan Muhammad Asad itulah yang memberinya inspirasi untuk menulis buku dengan judul: The Road to Mecca. Buku ini demikian berpengaruh dan mengantarkan penulisnya untuk memeluk agama Islam di New York pada tanggal 24 Mei 1961. Ia adalah seorang jurnalis Austria yang bernama asli Leopold Weiss. Ia juga menulis karya tafsir yang sangat terkenal: The Message of the Qur’an, (Gibraltar, 1980). Lihat keterangan Syed Z. Abedin dan Saleha M. Abedin dalam John L. Esposito, ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press, 1995)—telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia  Eva Y.N, dkk. dengan judul: Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen, jilid IV (Bandung: Mizan, 2001), Jilid IV, hlm 65, dan Jilid III, hlm. 349. 
[7]Lihat Khalil Abd Karim, al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyar, 1997 M), hlm. 71-72. Mengenai pembagian genealogi Arab ada pandangan lain yang dikemukakan oleh Hisham Sharabi. Menurutnya, keluarga masyarakat Arab pra-Islam dapat dibagi atas lima bentuk; (a) Kabilah (qabi>lah); (b) Sub-kabilah (‘ashi>rah); (c) Suku (h}amu>lah); (d) Keluarga besar (‘a>’ilah), dan (e) Keluarga Kecil (usrah). Lihat Hisham Sharabi, Neopatriarchy: a Theory of Distorted Change in Arab Society, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 3, dan telah dielaborasi oleh Nasaruddin Umar. Dari segi lokalitas, masyarakat Arab dibagi menjadi tiga kelompok: (a) Masyarakat urban yang hidup di kota, (b) masyarakat yang hidup di pedesaan, dan (c) masyarakat Badui, yang hidup di padang pasir atau pegunungan dengan pola hidup nomad—berpindah-pindah. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif  al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 124-126.
[8]Lihat Lamya’ Al-Faruqy, Women, Muslim Society and Islam, (U.S.A: American Trust Publicatin, 1991). 
[9]Lihat, Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, “Conscience and History in a World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara, Masa Klasik Islam, “Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia”, (Jakarta: Paramadina, Agustus 2002), hlm. 148-154.
[10]Redaksi hadisnya adalah ‘an ‘A>’ishah r.a.h. qa>lat: ishtaraitu nimriqah fi>ha> tas}a>wi>r fa-lamma> dakhala ‘alayya rasu>l Alla>h saw. fa-ra’a>ha. Taghayyara. Thumma qa>la, ya> ‘A>’ishah a ha>dhih. Fa-qultu: nimriqah ishtaraituha> laka taq’udu ‘alaiha>. Qa>la, inna> la> nadkhulu baytan fi>h tas}a>wi>r. Lihat Abu Ja’far Umar al-Tahawy, Sharh} Ma’a>ny> al-A>tha>r, (Kairo: al-Anwar al-Muhammadiyah, 1968 M), Juz IV, hlm. 282.
[11]Lihat M. Ira Lapidus,  A History of Islamic, hlm. 15.
[12]Lihat Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa Pengantar Studi KritisTarikh Nabi Saw., (Bandung: Muthahhari Press, 2002), hlm. 127-131.
[13]Lihat ibid., hlm. 140-141.
[14]Al-Qur’an juga menyebutkan terma al-h}unafa>’ ini, Q.S. al-Bayyinah [98]: 5, meskipun ayat ini tidak bisa disebut untuk menjelaskan kaum al-h}ani>f yang sedang kita bicarakan. Untuk keterangan yang memadai tentang kaum al-h}ani>f ini, lihat Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990) terutama bab II; Husain Marwah, al-Naza’a>t al-Ma>ddiyah fi> al-Falsafah al-‘Arabiyah wa S}adr al-Isla>m, (Beirut: Dar al-‘Araby, 2002); Sayid Mahmud al-Qimny, Dawr al-H}izb al-Ha>shimmy> wa al-‘Aqi>dah al-H}ani>fiyyah fi> al-Tamhi>d li Qiya>m Dawlah al-‘Arab al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990), hlm. 66. 
[15]Lihat Rasyid al-Barawy, al-Qur’a>n wa al-Nuz}u>m al-Ijtima>’iyah wa al-Mu’a>s}irah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah,1975), hlm. 255; dan Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyah, terutama bab II.
[16]Lihat Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam, (Princeton: Princeton University Press, 1987), hlm. 170. Penjelasan lebih memadai lihat Faisal Islam, “Perdagangan Mekkah dan Bangkitnya Islam” dalam M. Amin Abdullah dkk., Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka-Press, 2003), hlm. 111-133.
[17]Demikian Pandangan Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 12.
[18]Redaksi asli: anna al-jiha>d al-yawm laisa huwa an-namu>t fi> sabi>l Alla>h. Wa la>kin an-nah}ya> fi> sabi>l Alla>h. Ka>na shi’a>r al-jiha>d qadi>m-an, man yuba>yi’uny> ‘ala> al-mawt fi> sabi>l Alla>h. Wa al-yawm fa-inn shi’a>r al-jiha>d man yuba>yi’uny> li al-h}aya>t fi> sabi>l Alla>h. Lihat Jamal al-Banna, al-Jiha>d, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 2005), hlm. 121. 
[19]Imam al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III, hlm. 200.
[20]Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Kita>b al-Jiha>d wa al-Siyar min Fath} al-Ba>ry, (Beirut: Dar al-Balaghah, 1985), hlm. 11-12.
[21]al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III, hlm. 200; dan Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Kita>b al-Jiha>d, hlm. 12.
[22]al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III, hlm. 12.
[23]Ibid., hlm. 200.
[24]Ibid., hlm. 201.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Imam Muslim, Sahih Muslim, terj.Adhanie, (Yogyakarta: Penyiaran Islam, 1962), hlm. 47-48. Keterangan lebih lanjut lihat Muhammad, Perbandingan antara Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid Quthub tentang Jihad dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Masyarakat Indonesia, (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Disertasi, 2002), hlm. 56-63.
[28] Lihat Muhammad Firdaus Nurul Huda, Kesan Perubahan Sosial Terhadap Hukum Islam: Satu Kajian tentang Medologi Syariah dan Pelaksanaannya, (Malaysia: Percetakan Putra Jaya, 2002), hlm. 152-153.
[29] Lihat Yusuf Qardhawi, Min Ha>dy al Isla>m Fata>wa> Mu’a>s}irah, (t.tp.: Dar al Wafa al Mansurah: 1993), Jilid II, 232-234.
[30] Jamal D. Rahman, 70 Tahun KH. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 35.
[31] Lihat Khaled Abou El-Fadl, Islam and The Challenge of Democracy, (Princeton: Princeton University Press, 2004) terutama Bab III.
               [32] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad, Dirasah muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah, Maktabah Wahbah, Kairo, 2009. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-Harb fi al Fiqh al-Islami, Beirut: Dar Al-Fikr, hh. 89-90; Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic Civilization, Yale University Press, New Haven and London, 2009.

Tidak ada komentar: