What
Is Jihad?
Oleh:
Muhammad Zain
Pendahuluan
Sebetulnya judul yang akan
dibahas cukup provokatif. Yakni, Membahas
Tafsir Al-Qur’an yang Berkaitan dengan Jihad, Perang, Teror. Sebab, pada hakikatnya
tidak ada hubungan antara al-Qur’an dengan terorisme. al-Qur’an itu suci dan
sakral. Sedang terorisme itu adalah sesuatu yang profan, terkait dengan
perilaku manusia. Sama halnya dengan “tafsir al-Qur’an” yang juga profan
bersumber dengan pergumulan nalar dan pemikiran manusia dengan teks al-Qur’an.
Mengenai Jihad dalam al-Qur’an, kita akan banyak menemukan terma tersebut. Hanya saja pertanyaan yang sampai kini masih hangat diperbincangkan adalah what is jihad? Apakah jihad itu sama dengan “the holy war”? ( perang suci?). Apakah jihad berkait kelindan dengan aksi-aksi “terorisme”? Atau antara jihad dengan terorisme adalah dua entitas yang sangat berbeda? Pada titik inilah arti penting diskusi kita kali ini. Oleh karenanya, paper ini hanya akan membahas petunjuk al-Qur’an mengenai jihad, dan pada bagian tertentu juga akan dibahas sejumlah hadis yang terkait dengan pokok bahasan.
Mengenai Jihad dalam al-Qur’an, kita akan banyak menemukan terma tersebut. Hanya saja pertanyaan yang sampai kini masih hangat diperbincangkan adalah what is jihad? Apakah jihad itu sama dengan “the holy war”? ( perang suci?). Apakah jihad berkait kelindan dengan aksi-aksi “terorisme”? Atau antara jihad dengan terorisme adalah dua entitas yang sangat berbeda? Pada titik inilah arti penting diskusi kita kali ini. Oleh karenanya, paper ini hanya akan membahas petunjuk al-Qur’an mengenai jihad, dan pada bagian tertentu juga akan dibahas sejumlah hadis yang terkait dengan pokok bahasan.
Sebelum melangkah pada
pembahasan pokok paper ini, izinkan saya bercerita mengenai kisah inspiratif Prof.
Jeffry Lang. Ia adalah seorang profesor pada Departemen Matematika pada University
of Kansas, AS. Ia pada awalnya adalah seorang penganut Kristen. Ibunya juga
seorang penganut Kristen yang taat. Suatu hari di hotel, ia mendengarkan azan
yang sangat merdu yang menyebabkannya terpikat dengan ajaran Islam. Suara azan
tersebut membuatnya bergetar. Dan setelah itu, ia mencari tahu bagaimana ajaran
Islam itu. Ia dan keluarganya berkelana ke Saudi Arabiyah, negara tempat
lahirnya Islam. Ia dan keluarga melaksanakan ibadah haji. Meskipun kecewa
dengan perilaku kebanyakan umat Islam di sana, dan tidak sepenuhnya
berkesesuaian dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi
Saw. Perjalanannya itu, ia abadikan dalam buku yang berjudul: Even Angels Ask: A Journey to Islam in
America, 1997.[1]
Suatu hari ia bertemu dengan seorang wanita di
Swalayan. Wanita tersebut tidak diberi kesempatan untuk shalat jama’ah di
mesjid. Ia juga tidak habis fikir dengan adanya mutawwa’, polisi yang mengawasi gerak-gerik orang lain. Ini sangat
menggelikan, pikirnya. Apakah memang di Arab, akhlak secara individual lebih dipentingkan
ketimbang akhlak sosial atau etika secara universal? Seperti keadilan,
kejujuran, responsibility, tanggung-jawab, kemaslahatan bersama, dll.
Hal yang menarik dari
Jeffry Lang ini adalah:
(a)
Ia mengusung ber-Islam yang kritis. Ia
banyak mempertanyakan doktrin-doktrin Islam dengan kritis. Islam yang kritis
yang diusungnya bukannya melemahkan imannya tapi justeru memperkuat
iman-islamnya.
(b)
Ia tetap mempertahankan Islam rahmatan li al-‘alamin. Islam itu adalah
ajaran dan agama universal, bukan agama Arab. Tidak ada arabisasi, yang ada
adalah islamisasi. Seperti terma Alhamdulillah,
bukan diucapkan Alhamdulillah bagi
komunitas Islam non-Arab, tapi tetap memakai
Thank’s God. Tentu pikiran
seperti ini sangat kontras dengan kebiasaan sebagian dari kita yang sering
melafalkan kalimat-kalimat islami, seperti Alhamdulillah,
subhanallah, Allah akbar, masya Allah, Insya Allah, dst. Meskipun terkadang
mereka ini bersikap eksklusif dalam pergaulan sehari-hari. Dalam artian, mereka
berkeyainan bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Dan dalam batas-batas
tertentu hanya merekalah pemilik kebaikan dan kemuliaan. Dan sangat boleh jadi
mereka mempermaklumkan diri sebagai calon penghuni sorga, sedang yang lain
“belum tentu”.
(c)
Pijakan argumentasi Jeffry Lang adalah Q.S al-Baqarah (2): 31, ketika para
malaikat mengajukan protes kepada Tuhan tentang akan diciptakannya makhluk
baru, yaitu Adam a.s. Mengapa Tuhan akan menciptakan Adam, bukankah kami ini
yang sejak penciptaan awal, kami selalu memuji-Mu, mensucikan-Mu, dan tidak
pernah melanggar perintah-Mu? Dari sinilah, sehingga Prof Lang tambah mantap
dengan iman-Islam.
Islam kritis bukan Islam Keturunan.
Apakah selama ini kita sudah pernah bertanya terhadap Islam-iman kita? Apakah
aqidah dan tauhid kita sudah benar? Apakah cara wudhu’ dan shalat kita sudah benar?
Apakah tata cara bertutur kita sudah benar? Apakah cara kita mempergauli
pasangan hidup kita sudah benar? Apakah cara kita mengendarai mobil, motor
sudah tepat? Apakah ketika kita tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas termasuk
dosa sosial? Apakah membunyikan klakson mobil sudah benar? Apakah cara baca (tajwid
dan tartilnya) al-Qur’an kita benar? Apakah kita sudah bersyahadat dan
memahaminya dengan benar? Apakah makna agama dalam kehidupan kita? Apa betul
kita sudah beragama yang benar? Apakah kita sudah memosisikan agama sebagai way
of life? Ataukah agama hanya sekedar lipstik belaka? Atau agama hanya sebagai
“tameng”? kalau sudah “berperkara” di pengadilan baru memakai simbol-simbol
agama? Apakah kita beramagama hanya sekedar “menggugurkan” kewajiban ataukah
sudah menjadi sebuah kebutuhan? Atau kita beragama karena kesadaran batin?
Ataukah kita beragama karena ikut-ikutan?
Sekilas Budaya Arab Pra-Islam
Berbicara tentang al-Qur’an
dan tafsirnya, konteks sosio-historis Arabiyah merupakan hal yang menjadi
penting. Sebab, al-Qur’an
diturunkan pada suatu masyarakat yang bukannya “hampa budaya”. Itulah sebabnya
dalam kitab ‘Ulumul Qur’an (
ilmu-ilmu al-Qur’an) selalu ada bab khusus yang membahas sabab al-nuzul al-Qur’an ( latar belakang turunnya ayat-ayat
al-Qur’an). Dalam ilmu hadis juga dikenal sabab
wurud al-hadith ( latar belakang lahirnya sebuah hadis). Latar belakang
turunnya sebuah ayat dan latar historis masyarakat arab—yang juga dikenal
sebagai sabab nuzul makro—sangat
penting artinya dan sangat membantu seseorang dalam melakukan penalaran
terhadap sebuah ayat al-Qur’an.
Mengenai gambaran masyarakat Arab Pra-Islam M. Ira Lapidus
menjelaskannya, sebagai berikut:
Masyarakat Islam dibangun di atas framework peradaban Timur
Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Dari peradaban Timur Tengah pra-Islam,
masyarakat Islam mewarisi pola institusi yang turut membentuk keadaan mereka
sampai pada zaman modern. Sejumlah institusi tersebut mencakup tatanan
masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab),
kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian
pasar, kepercayaan monotheistic, dan imperium birokratis. Meskipun lahir di
Mekkah, peradaban Islam mempunyai leluhur di Palestina dan Babylonia.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa
awal sejarah umat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental: asal
usul dan struktur sejarah yang tengah berlangsung. Aspek pertama yang
merupakan organisasi masyarakat manusia menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan
juga kelompok yang bercorak kekeluargaan. Masyarakat berburu dan gerombolan
pada masa yang paling awal hidup dan tersebar pada sebagian besar wilayah Timur
Tengah yang cukup luas dalam ikatan kelompok-kelompok kecil. Semenjak
berlangsung pola kehidupan pertanian dan pemeliharaan binatang ternak sebagian
besar masyarakat Timur Tengah telah hidup dalam perkampungan pertanian atau
dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[2]
Lebih lanjut
Toshihiko Izutzu menggambarkan karakter masyarakat Arab [Badui] yang terkenal kasar dan keras.
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat Jahiliyah. Jahiliyah bukan
lawan kata dari al-‘ilm (berpengetahuan) sebagaimana dipahami selama
ini. Jahiliyah
kurang tepat diartikan sebagai kebodohan. Jahiliyah lebih tepat dimaknai
sebagai hamiyat al-jahiliyah (arogansi kejahiliyahan). Jahiliyah lebih tepat dilawankan
dengan al-hilm (kasih sayang, santun dan murah hati). Seruan untuk
senantiasa berbuat kebajikan (al-ihsan), berbuat adil (al-‘adl),
larangan berbuat sewenang-wenang (al-zulm), perintah untuk mengendalikan
hawa nafsu, larangan untuk arogan, sombong, dan congkak adalah manifestasi dari
sifat al-hilm.[3]
Jadi, Jahiliyah pada awalnya dipakai untuk
hubungan disharmonis antara manusia
dengan manusia lainnya. Sikap arogansi, angkuh, merasa lebih kaya dan berkuasa
dengan yang lainnya, mengejek orang yang lebih rendah dari dirinya, baik secara
ekonomi maupun politis adalah sederetan sikap dan perilaku Jahiliyah.
Belakangan, Jahiliyah baru dipakai sebagai bentuk “perlawanan” kepada
hukum-hukum Tuhan.[4]
Lain halnya dengan
Ibn Khaldun yang membandingkan keutamaan masyarakat Badui (al-badawah)
dengan masyarakat metropolis (al-hadarah) dalam hal menjaga kesucian
garis keturunan dan menghormati tamu (ikram al-duyuf).[5] Masyarakat Badui sangat ketat dalam menjaga
kehormatan keluarga dan kesucian nasab (garis keturunan). Bahkan hukum rajam
(hukum mati bagi pelaku zina) sangat boleh jadi merupakan hukum masyarakat
Badui yang dielaborasi oleh Islam.
Bangsa Arab sangat
memperhatikan garis keturunan agar mereka dapat saling tolong-menolong di
antara mereka. Sehingga para geneolog mendapat kedudukan yang sangat tinggi.
Genealog (nassabah) mendapatkan tambah ta’ marbutah untuk gelar
kehormatan. Sama halnya dengan al-‘alla>mah (maha guru) atau al-fahha>mah
(cerdik-pandai) dipakai untuk menggambarkan kedalaman ilmu yang dimiliki
seseorang.
Seseorang yang tidak
jelas nasab-nya atau sudah keluar dari kelompok sukunya, maka hidupnya
akan terancam. Bahkan, kalau ia terbunuh, tidak ada jaminan balas darah (diyat)
dari pihak keluarga. Tentu, keadaan ini berbeda dengan seseorang yang diakui
oleh ikatan keluarganya (al-usrah atau al-‘a>’ilah), sampai mati pun
masih mendapat jaminan dari keluarganya. Keluarga dan sukunya dapat menuntut
balas darah atas kematiannya. Jadi, kejelasan garis keturunan dan pengakuan
dari ikatan keluarga sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat
Arab.
Perilaku masyarakat
Arab [Badui] yang demikian itu masih ditemukan di era sekarang. Muhammad Asad
menggambarkan perilaku masyarakat Arab Badui yang ditemuinya selama
perjalanannya di wilayah Semenanjung Arabia sebagai masyarakat pagan yang
demikian itu.[6]
Harus dicatat bahwa genealogi bangsa Arab terbagi menjadi enam, yakni: (a) al-Sha’b
(bangsa), (b) al-Qabi>lah (suku), (c) al-‘Ima>rah
(sub-suku), (d) al-Bat}n (klan atau marga), (e) al-Fakhdz
(moiety), dan (f) al-Fas}i>lah (faksi).[7]
Konsep “kesukuan” dan
keluarga bangsa Arab masih tumbuh dan relevan untuk diterapkan dalam kehidupan
keseharian hingga sekarang ini. Adalah Lamya’ al-Faruqy (istri Ismail R.
Al-Faruqy) yang telah mengembangkan konsep ‘a>’ilah (keluarga besar)
menjadi sebuah konsep yang lebih tepat dalam memelihara keutuhan keluarga dari
kegalauan modernitas. Dengan konsep ‘a>’ilah ini, Lamya’ berkeyakinan
bahwa seorang ibu rumah tangga dengan sejumlah tugas publik yang diembannya
atau dalam meniti karirnya tidak boleh sampai menelantarkan tugas-tugas
domestiknya [dalam keluarga]. Sebab, anak dan keluarga bukan hanya merupakan
tugas kedua orang tua, tapi merupakan tugas “keluarga besar” (‘a>’ilah)
tadi.[8]
Ada hal lain yang
menarik mengenai masyarakat Islam awal anjuran untuk menghancurkan
patung-patung dan lukisan. Penghancuran patung dan lukisan tersebut bukan hanya
dalam rangka pemurnian tauhid, tapi juga terkait dengan penguasaan ekonomi dan
monopoli distribusi produksi. Penghancuran patung tersebut sebagai simbol
“runtuhnya” dominasi kapitalisme Arab waktu itu. Oleh sebab itu, biasanya
orang-orang yang memiliki penguasaan aset-aset ekonomi yang kuat dapat
menciptakan karya seni yang gemilang.
Marshall G.S. Hodgson
berpendapat bahwa masyarakat agraris dan penguasaan produksi ekonomi berbanding
lurus dengan pemilikan, biasanya ditandai dengan pembangunan seni yang sangat
tinggi.[9]
Seperti Mesir dengan bangunan Piramidanya, India dengan Taj Mahalnya, Indonesia
dengan Candi Borobudurnya, dan lain-lain. Meskipun hal ini berbeda dengan
masyarakat Afrika bahwa peradaban yang maju tidak selamanya ditandai oleh
kebudayaan material.
Hal ini
menarik untuk mencermati hadis tentang larangan untuk membuat patung dan
benda-benda seni lukis lainnya, seperti larangan melukis hewan (atau makhluk
yang bernyawa lainnya). Larangan tersebut didasarkan, misalnya pada riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak senang dengan bantal yang bergambar.
Suatu hari Nabi saw. menegur A’isyah. Beliau tidak senang memakai bantal yang
memiliki lukisan atau gambar.[10]
Kembali
memperbincangkan karakter Semenanjung Arabiyah yang cukup unik dibanding dengan
beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah. Ketika dunia imperial pada umumnya
merupakan wilayah perkotaan, Arabia bertahan sebagai negeri perkemahan dan oasis.
Ketika masyarakat dunia imperial mengembangkan keyakinan monotheistic,
masyarakat Arabia pada umumnya sebagai warga pagan. Ketika dunia imperial
secara politik terorganisir secara baik, maka Arabia secara politik
tercerai-berai.[11]
Memang, kondisi Arab pra-Islam
masih ada hal yang belum mendapat sokongan pandangan yang seragam di kalangan
para ahli. Jalaluddin Rakhmat, umpamanya, mengkritik sejumlah pandangan yang
dinilainya kurang tepat mengenai Arab pra-Islam. Orang Arab disebut jahiliyah
bukan hanya secara moralitas, sebagaimana selama ini dipahami oleh banyak
kalangan, tetapi juga dari segi penguasaan ilmu pengetahuan. Ketika Mesir sudah
mencapai puncak kejayaan di bidang tulis menulis, orang Arab yang hidup di
Semenanjung Arabiyah masih buta huruf. Orang Arab hanya memiliki pengetahuan
tentang penelusuran jejak [qifa>yah], jika ada orang hilang atau
hewan buruan mereka yang hilang di gurun pasir. Padahal, kecakapan seperti ini
dimiliki oleh bangsa-bangsa primitif lainnya selain Arab.
Demikian pula halnya
dengan riwayat-riwayat mengenai kedokteran cara Nabi saw. [al-t}ibb
al-nabawy>] yang disebut sebagai al-t>ibb al-ja>hily>.
Di antara contohnya adalah riwayat “Apabila lalat jatuh pada minuman seseorang,
maka hendaklah ia menenggelamkan lalat tersebut. Sebab, salah satu sayap lalat
mengandung penawar racun”. Hal ini tidak masuk akal, dan tidak mungkin Nabi
saw. pernah mengucapkannya.[12]
Orang Arab terkenal dengan kedermawanan
dan kemurahan hati dan penghormatan terhadap tetamunya. Hal ini ternyata didasarkan
pada tradisi al-siqa>yah [memberi minum bagi penziarah Ka’bah],
bukanlah dilandasi oleh ketulusan hati mereka. Sikap ini dikarenakan ada
keharusan melaksanakannya sebagai pengejewantahan kepatuhan kepada aturan qabi>lah
dan keluarga besarnya. Demikian pula halnya dengan sifat keberanian bangsa Arab
(al-shaja>’ah). Keberanian mereka bukanlah sifat dasariahnya, tetapi
karena keterpaksaan yang harus hidup keras dan penuh pertarungan. Sehingga
terkenal ungkapan in lam takun dhi’b-an akalatka al-dhi’b (kalau engkau
tidak menjadi singa, maka singa akan menerkammu).[13]
Pandangan Jalaluddin Rakhmat tersebut di
atas tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa Semenanjung Arabiyah terutama
Mekkah tidak menjadi daya tarik bagi bangsa Romawi dan Persia karena ketandusannya.
Bahwa penduduk Mekkah dan sekitarnya hidup dalam kemiskinan yang mengerikan
adalah juga sulit dibantah. Akan tetapi, menggeneralisasi mereka sebagai bangsa
yang tidak beradab dan berperadaban sama sekali juga tidak tepat. Nabi saw.
pernah bersabda bahwa innama> bu’ithtu li-utammima maka>rim
al-akhla>q (sesungguhnya aku diutus [menjadi seorang rasul] untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia). Ungkapan li-utammima maka>rim
al-akhla>q menyiratkan makna bahwa sudah ada benih moralitas yang tumbuh
dalam masyarakat Arab. Jadi, tidak seluruhnya “jelek”. Di antara mereka ada
sekelompok orang yang senantiasa menjaga kesucian moral dengan tetap memeluk
dan melestarikan agama Ibrahim. Kelompok ini dikenal dengan kelompok al-h}unafa>’.[14]
Kelompok al-h}unafa>’ ini jelas
memiliki tradisi keagamaan sendiri, seperti (a) larangan menyembah selain
kepada Allah swt.; (b) larangan membunuh anak perempuan hidup-hidup; (c)
larangan riba; (d) menjalankan ibadah puasa; (e) mandi janabat; dan (f) tidak
memakan daging babi.[15]
Tentang posisi
strategis kota Mekkah terdapat silang pendapat di kalangan pakar pemerhati
kajian Islam. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa Mekkah adalah kota pusat
perdagangan internasional, bahkan pusat keuangan. Mekkah bukanlah kota hampa
budaya di tengah padang pasir. Posisi strategis kota Mekkah terletak di
persimpangan jalan yang menghubungkan transportasi dan transaksi perdagangan.
Tesis M. Watt di atas
dibantah oleh Patricia Crone. Bagi Crone, Mekkah yang gersang itu tidak menarik
untuk investasi dan transaksi dagang. Kalaupun ada kegiatan bisnis, itu hanya
terbatas pada kegiatan lokal. Kondisi ini berbeda dengan kota-kota yang
terletak di wilayah pantai (yang sangat strategis sebagai kota pusat
perdagangan). Sementara, Mekkah terletak di pedalaman yang tidak mungkin untuk
melakukan transaksi perdagangan.[16]
Wilayah sepanjang
dari Yaman ke Syiria dan dari Abysinia ke Irak, ditambah lagi dengan posisi
Mekkah sebagai pusat spiritual agama di Semenanjung Arabia, tiap tahunnya
dikunjungi oleh para Penziarah. Ketika musim haji itulah terjadi
transaksi bisnis antara Penziarah dengan penduduk Mekkah, dan antara Penziarah
satu dengan Penziarah lainnya yang berasal dari wilayah lain dari
semananjung Arabia seperti Yaman selatan.
Harus dicatat bahwa
daya tarik Islam bukan dari faktor perdagangan dan ekspansi (al-futu>h}a>t)
saja, tapi ajaran one god dan one humanity (satu Tuhan dan
satu kemanusiaan). Ajaran tauhid dan rah}mat-an li al-‘a>lami>n itulah yang menjadi daya tarik agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw.[17]
Jihad
dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah
Jihad adalah fard}u kifa>yah (kewajiban
kolektif). Jihad menjadi fard}u ‘ain (kewajiban individual) kalau
seseorang sudah berada di medan perang. Jihad berbeda dengan al-qita>l
(perang). Untuk jihad ini, pandangan Jamal al-Banna [saudara kandung Hasan
al-Banna] adalah menarik untuk dikaji. Bagi Jamal al-Banna, jihad pada masa
lalu adalah dukungan dan panggilan untuk “mati” [syahid] di jalan Allah. Tapi,
jihad sekarang adalah ajakan untuk “hidup” [berjuang] di jalan Allah.[18]
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
Hadis bersumber dari Ibnu
Mas’ud r.a: Aku bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah, amalan yang bagaimana yang
lebih utama? Nabi menjawab: menumaikan salat tepat pada waktunya (awal waktu).
Aku bertanya lagi: Kemudian, apalagi? Jawab Nabi: Berbakti kepada kedua orang
tua. Aku bertanya lagi, kemudian apalagi. Jawab Nabi: berjihad di jalan Allah.
Lalu Nabi diam. Sekiranya aku bertanya lagi, tentu Nabi akan menambahnya.[19]
Ketiga amalan tersebut di atas
adalah lambang ketaatan lainnya. Jika seseorang telah mengabaikan shalat
fardunya, maka ia akan mengabaikan kewajiban lainnya. Siapa yang tidak berbakti
kepada kedua orang tuanya (birr al-wa>lidai>n), maka ia akan sulit
atau sedikit berbuat baik kepada orang lain. Siapa yang meninggalkan jihad,
maka ia akan tidak peduli mengerjakan kefasikan lainnya.[20]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Dari Ibnu Abbas, ia berkata
bahwasanya Nabi pernah bersabda: Tidak ada lagi hijrah setelah Fath Mekkah
(Penaklukan Mekkah), akan tetapi hanya jihad dan niat (komitmen). Dan apabila
diseru kepada kalian untuk berjihad, maka berangkatlah.[21]
Hadis ini terkait dengan
penganiayaan umat Islam. Hal ini juga dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa’ [4]:
97-100.
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
(97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
(99) وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (100)
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam
keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:
"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali (97). Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki
atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan (untuk hijrah) (98). Mereka itu, mudah-mudahan Allah
mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun (99).
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(100).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ تُرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ
لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Dari A’isyah r.a.h, ia
berkata, Ya Rasulullah, kami berpendapat bahwa berjihad adalah amalan yang
paling utama, apakah kami (kaum wanita) boleh berjihad? Nabi bersabda: akan
tetapi, jihad yang paling utama adalah haji yang mabrur.[22]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ
تَسْتَطِيعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُومَ وَلَا
تَفْتُرَ وَتَصُومَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ قَالَ أَبُو
هُرَيْرَةَ إِنَّ فَرَسَ الْمُجَاهِدِ لَيَسْتَنُّ فِي طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ
حَسَنَاتٍ
Dari Abu Hurairah r.a, ia
berkata: seseorang datang menemui Nabi dan berkata: Tunjukkan kepadaku suatu
amalan yang setara dengan jihad. Nabi bersabda: Aku tidak menemukannya. Sabda
Nabi lagi: apakah engkau mampu jika seorang mujahid keluar dan masuk di
masjidmu, salat terus-menerus, berpuasa dan tidak berbuka?. Laki-laki itu
menjawab, siapa yang sanggup berbuat demikian. Abu Hurairah berkata:
sesungguhnya kuda seorang mujahid (pejuang di jalan Allah) sebanding dengan
panjangnya lalu kebaikan-kebaikannya ditetapkan padanya.[23]
عَنْ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ قَالُوا ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ مُؤْمِنٌ فِي شِعْبٍ مِنْ
الشِّعَابِ يَتَّقِي اللَّهَ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ.
Dari Abu Sa’id al-Khudry r.a,
ia berkata: (suatu ketika) Nabi ditanya, Ya Rasululah, siapa gerangan yang
paling mulia? Jawab Nabi: Seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan
jiwa dan hartanya. Mereka (para sahabat) bertanya lagi: Kemudian siapa lagi?
Jawab Nabi: Seorang mukmin yang meninggalkan orang banyak (berkhalwat) karena
taqwa kepada Allah dan menjauhi kejahatan orang banyak.[24]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَثَلُ الْمُجَاهِدِ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ كَمَثَلِ
الصَّائِمِ الْقَائِمِ وَتَوَكَّلَ اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِهِ بِأَنْ
يَتَوَفَّاهُ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرْجِعَهُ سَالِمًا مَعَ أَجْرٍ أَوْ
غَنِيمَةٍ.
Dari Abu Hurairah r.a, ia
berkata: bahwasanya Aku mendengar Nabi pernah bersabda: Perumpamaan seorang
mujahid di jalan Allah—Allah lebih tahu siapa saja yang berjihad di
jalannya—seperti seorang yang berpuasa dan salat (sunat/qiyam al-lail),
dan Allah menjaga bagi orang yang berjihad di jalan-Nya, sekiranya ia gugur di
medan perang, maka Allah akan memasukkannya di surga, dan sekiranya ia kembali
dari medan perang dengan selamat, maka Allah membalasnya dengan pahala dan
ghanimah (harta rampasan perang).[25]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ
أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ
الَّتِي وُلِدَ فِيهَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُبَشِّرُ النَّاسَ
قَالَ إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ
أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah r.a, ia
berkata, bahwa Nabi bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
rasul-Nya, mendirikan salat, berpuasa pada bulan ramadhan, adalah Allah pasti
memasukkannya di surga. Demikian pula halnya orang yang berjihad di jalan Allah
atau ia tinggal saja di negeri di mana ia dilahirkan. Para sahabat bertanya, Ya
Rasulullah, apakah kami tidak perlu menginformasikan kabar gembira ini kepada
orang banyak?. Nabi bersabda: Sesungguhnya di surga itu terdiri dari 100
derajat. Allah menyiapkan bagi para mujahid di jalannya di antara dua derajat
perumpamannya seperti jarak antara bumi dan langit. Jika kalian berdo’a kepada
Allah, maka mintalah surga al-firdaus. Sebab surga firdaus adalah surga yang
paling luas dan paling tinggi (utama).[26]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya
Nabi saw. bersabda: Tak seorang pun Nabi yang diutus oleh Allah sebelum aku
kecuali baginya terdapat pengikut setia, dan sahabat-sahabat yang mengambil
sunnahnya, dan mengikuti perintahnya. Kemuadian setelah itu di belakangnya ada
sekelompok umatnya yang hanya berbicara tetapi tidak mampu melaksanakannya,
mengerjakan sesuatu ayng tidak diperintahkan untuk mereka. Maka barang siapa
yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya (dengan kekuatan yang
dimilikinya), maka ia termasuk orang yang beriman. Dan barang siapa yang
berjihad dengan lisannya, maka ia juga termasuk orang beriman. Dan barang siapa
yang berjihad dengan hatinya, juga ia termasuk orang yang beriman. Dan tidak
ada lagi sesudahnya iman sebesar biji sawi.[27]
Yang jelas, jihad fi sabilillah mengalami evolusi
makna. Pada masa awal Islam, makna lain jihad adalah “berperang demi Tuhan”.
Terma mujahidin merujuk pada mereka yang berperang di jalan Allah SWT.
Belakangan, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq ibn Rahawaih memasukkan orang-orang yang
menunaikan haji dalam kategori orang-orang yang sedang berjihad. Bahkan,
sebagian ulama Hanafiah memasukkan para pelajar (penuntut ilmu pengetahuan)
sebagai orang-orang yang sedang berjihad.[28]
Yusuf Qardhawi, di era modern ini berpendapat bahwa berdakwah dan mendirikan
pusat-pusat studi Islam di Barat (Eropa dan Amerika) merupakan jihad fi
sabilillah.[29]
Dalam konteks ke-Indonesiaan sangat terkenal fatwa KH. Hasyim Asy’ari tentang
resolusi jihad beliau. Menurutnya, memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia adalah termasuk jihad. Oleh karena itu, setiap
Muslim yang berada pada radiasi 60 Km dari musuh Belanda dan sekutunya wajib
ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.[30]
Walhasil,
jihad berbeda dengan qital (perang). Jihad dapat dimaknai sebagai
segala usaha yang sungguh-sungguh untuk melayani maksud Tuhan, untuk menyebarkan
sesuatu yang bernilai etik yang tinggi, seperti perwujudan nilai-nilai
keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Jihad jelas bertentangan dengan segala
tindakan yang mengarah pada tindakan kekerasan apalagi terorisme. Qita>l
dalam al-Qur’an digunakan dalam kondisi tertentu dan sangat hati-hati.
Al-Qur’an selalu mengikutkan izin untuk perang dengan ungkapan “wa la>
ta’tadu>” (dan jangan sampai melampaui batas dan hukum Allah. Atau dan
jangan sekali-kali melampaui ketentuan Allah Swt, dan seterusnya).[31]
Penutup
Sebagai bahan renungan, kutipan pandangan Dr Yusuf Qardhawi mengenai jihad
ofensif masa modern menarik untuk dikaji lebih lanjut.
………bahwa jihad ofensif adalah memerangi musuh
di markas militernya, seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim pada masa lalu, untuk
menyingkirkan penguasa yang tiranik…. Pemerintahan waktu itu menghalangi rakyatnya
untuk mendengar dakwah baru, seperti yang dilakukan Kisrah dan Kaisar Romawi,
serta raja-raja lainnya. ………. bahwa jihad ofensif tidak dibutuhkan lagi pada
masa sekarang, dan bukan lagi cara yang tepat untuk menyampaikan dakwah Islam
kepada umat lainnya di bumi.
Kita memiliki pemancar radio yang pesan kita
dapat disiarkan kepada masyarakat dunia dengan bahasanya masing-masing. Kita memiliki
satelit yang dapat menjangkau seluruh penjuru dunia di timur dan barat. Kita
memiliki jaringan internet yang dapat menembus setiap dinding rumah. Di samping
itu, ada tulisan dalam bentuk buku, surat, makalah, koran bulanan, mingguan dan
bahkan harian.
Semua sarana modern tersebut membutuhkan
sumber daya manusia yang memiliki spirit jihad, bukan dengan persenjataan
senapan, pistol, atau bom, tetapi dengan ilmu pengetahuan dan keahlian. Kita
mestinya berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik ( bi al-hikmah wa al-mau’izah al-hasanah), berdiskusi dan berdialog
dengan cara yang baik, mengajak bicara manusia dengan bahasa yang berbeda dari
Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, India, Portugal, Rusia, Cina, Jepang,
India, dan bahasa dunia yang lain, di Afrika, Asia, dan Amerika latin.
……Menekuni cara-cara ini merupakan jihad
besar, seperti firman Allah SWT……dan
berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Quran) dengan (semangat) perjuangan
yang besar (Q.S. al-Furqan [25]:52). (hanya saja)…. kita belum memilki satu
persen dari yang kita butuhkan dari
sumber daya manusia terlatih yang mampu untuk berbicara kepada setiap komunitas
dengan bahasa mereka, bukan dengan bahasa abad-abad yang lalu.
Saya juga berkata jujur dengan sangat menyesal
kekosongan di sini sangat besar, dan kekurangannya sangat tajam, serta
kelemahannya di sini sungguh berbahaya. Kurangnya institusi dan yayasan yang
mengader pejuang dakwah atau media massa islam dengan kemampuan peralatan,
pengetahuan, budaya, dan seni yang dibutuhkan.[32]
Akhirnya, kita harus
sadar bahwa banyak pemahaman keislaman yang harus kita “tata ulang”. Jihad,
jelas berbeda dengan perang (al-qital),
apalagi terorisme. Kita harus beranjak dari jihad (mujahidin) menjadi ijtihad (olah
fikir/mujtahid), dan dari ijtihad menjadi mujahadah ( olah spiritual).
Wa
Allah a’lam bi al-Shawab
[1] Jeffry
Lang sudah menulis beberapa buku lainnya, yakni: (a) Struggling to Surrender, 1994, Buku ini telah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia oleh Suharyono dengan judul: Berjuang untuk Berserah Pergulatan Sang Professor Menemukan Iman,
Serambi, 2008, dan (b) Losing My
Religion: A call for Help, 2004. Buku ini juga telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Agung Prihantoro dengan judul: Aku Menggugat, maka Aku kian Beriman, Serambi, 2008.
[2]Lihat
M. Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1988), hlm. 3.
[3]Dalam
al-Qur’an, sifat al-hali>m adalah karakter orang-orang pilihan,
seperti: Nabi Ibrahim a.s (Q.S. al-Tawbah/9:114); Nabi Ismail a.s (Q.S
al-S}affa>t/37:101; Nabi Syuaib a.s (Q.S. Hu>d/11:87. Tentu saja gambaran
yang paling tepat untuk terma al-h}ilm ini adalah merujuk pada sifat
Allah yang Maha Penyantun (al-h}ali>m). Lihat al-Raghib al-Ashfahany
(425 H), Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, telah diedit oleh
Shafwan ‘Adnan Dawudy, (Beirut: al-Dar al-Shamiyah, 1992 M), hlm. 253; lihat
juga M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi Asma’ al-Husna Dalam
Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1998 M), hlm. 161-165.
[4]Lihat
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung,
terutama bab VIII yang membahas Islam dan Jahiliah. Pandangan yang lebih
memadai telah dibahas Izutsu dalam bukunya yang lain terutama bagian pengantar,
The Structure of the Ethical Terms in the Koran, (Tokyo, 1959).
[5]Lihat
Abd Rahman ibn Muhammad al-Khadramy (Ibn Khaldun w. 808 H), Ta>ri>kh
ibn Khaldu>n yang judul aslinya: Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n
al-Mubtada’ wa al-Khabr fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa
man ‘As}rahum min Dhawy> al-Sult}a>n al-Akbar, terutama bagian muqaddimah
[pengantar], (Beirut: Mu’assasah Jammal li al-Taba’ah wa al-Nasyar, 1979 M).
[6]Dalam
perjalanan Muhammad Asad itulah yang memberinya inspirasi untuk menulis buku
dengan judul: The Road to Mecca. Buku ini demikian berpengaruh dan
mengantarkan penulisnya untuk memeluk agama Islam di New York pada tanggal 24
Mei 1961. Ia adalah seorang jurnalis Austria yang bernama asli Leopold Weiss.
Ia juga menulis karya tafsir yang sangat terkenal: The Message of the Qur’an,
(Gibraltar, 1980). Lihat keterangan Syed Z. Abedin dan Saleha M. Abedin dalam
John L. Esposito, ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World,
(Oxford: Oxford University Press, 1995)—telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia Eva Y.N, dkk. dengan judul: Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Moderen, jilid IV (Bandung: Mizan, 2001), Jilid IV, hlm
65, dan Jilid III, hlm. 349.
[7]Lihat
Khalil Abd Karim, al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shari>’ah
al-Isla>miyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyar, 1997 M), hlm. 71-72. Mengenai
pembagian genealogi Arab ada pandangan lain yang dikemukakan oleh Hisham
Sharabi. Menurutnya, keluarga masyarakat Arab pra-Islam dapat dibagi atas lima
bentuk; (a) Kabilah (qabi>lah); (b) Sub-kabilah (‘ashi>rah);
(c) Suku (h}amu>lah); (d) Keluarga besar (‘a>’ilah), dan
(e) Keluarga Kecil (usrah). Lihat Hisham Sharabi, Neopatriarchy: a
Theory of Distorted Change in Arab Society, (New York, Oxford: Oxford
University Press, 1998), hlm. 3, dan telah dielaborasi oleh Nasaruddin Umar.
Dari segi lokalitas, masyarakat Arab dibagi menjadi tiga kelompok: (a)
Masyarakat urban yang hidup di kota, (b) masyarakat yang hidup di
pedesaan, dan (c) masyarakat Badui, yang hidup di padang pasir atau pegunungan
dengan pola hidup nomad—berpindah-pindah. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an,
(Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 124-126.
[8]Lihat
Lamya’ Al-Faruqy, Women, Muslim Society and Islam, (U.S.A: American
Trust Publicatin, 1991).
[9]Lihat,
Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, “Conscience and History in a
World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara, Masa
Klasik Islam, “Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia”, (Jakarta:
Paramadina, Agustus 2002), hlm. 148-154.
[10]Redaksi
hadisnya adalah ‘an ‘A>’ishah r.a.h. qa>lat: ishtaraitu nimriqah
fi>ha> tas}a>wi>r fa-lamma> dakhala ‘alayya rasu>l Alla>h
saw. fa-ra’a>ha. Taghayyara. Thumma qa>la, ya> ‘A>’ishah a
ha>dhih. Fa-qultu: nimriqah ishtaraituha> laka taq’udu ‘alaiha>.
Qa>la, inna> la> nadkhulu baytan fi>h tas}a>wi>r. Lihat
Abu Ja’far Umar al-Tahawy, Sharh} Ma’a>ny> al-A>tha>r,
(Kairo: al-Anwar al-Muhammadiyah, 1968 M), Juz IV, hlm. 282.
[11]Lihat
M. Ira Lapidus, A History of Islamic,
hlm. 15.
[12]Lihat
Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa Pengantar Studi KritisTarikh Nabi Saw.,
(Bandung: Muthahhari Press, 2002), hlm. 127-131.
[13]Lihat
ibid., hlm. 140-141.
[14]Al-Qur’an
juga menyebutkan terma al-h}unafa>’ ini, Q.S. al-Bayyinah [98]: 5,
meskipun ayat ini tidak bisa disebut untuk menjelaskan kaum al-h}ani>f
yang sedang kita bicarakan. Untuk keterangan yang memadai tentang kaum al-h}ani>f
ini, lihat Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li
al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990)
terutama bab II; Husain Marwah, al-Naza’a>t al-Ma>ddiyah fi>
al-Falsafah al-‘Arabiyah wa S}adr al-Isla>m, (Beirut: Dar al-‘Araby,
2002); Sayid Mahmud al-Qimny, Dawr al-H}izb al-Ha>shimmy> wa
al-‘Aqi>dah al-H}ani>fiyyah fi> al-Tamhi>d li Qiya>m Dawlah
al-‘Arab al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990), hlm.
66.
[15]Lihat
Rasyid al-Barawy, al-Qur’a>n wa al-Nuz}u>m al-Ijtima>’iyah wa
al-Mu’a>s}irah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah,1975), hlm. 255; dan
Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyah, terutama bab
II.
[16]Lihat
Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam, (Princeton: Princeton
University Press, 1987), hlm. 170. Penjelasan lebih memadai lihat Faisal Islam,
“Perdagangan Mekkah dan Bangkitnya Islam” dalam M. Amin Abdullah dkk., Rekonstruksi
Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka-Press, 2003), hlm.
111-133.
[17]Demikian
Pandangan Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press,
1979), hlm. 12.
[18]Redaksi
asli: anna al-jiha>d al-yawm laisa huwa an-namu>t fi> sabi>l
Alla>h. Wa la>kin an-nah}ya> fi> sabi>l Alla>h. Ka>na
shi’a>r al-jiha>d qadi>m-an, man yuba>yi’uny> ‘ala> al-mawt
fi> sabi>l Alla>h. Wa al-yawm fa-inn shi’a>r al-jiha>d man
yuba>yi’uny> li al-h}aya>t fi> sabi>l Alla>h. Lihat Jamal
al-Banna, al-Jiha>d, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 2005), hlm.
121.
[19]Imam al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III,
hlm. 200.
[20]Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Kita>b
al-Jiha>d wa al-Siyar min Fath} al-Ba>ry, (Beirut: Dar al-Balaghah,
1985), hlm. 11-12.
[21]al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III, hlm.
200; dan Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Kita>b al-Jiha>d, hlm. 12.
[22]al-Bukhary, S{ah}i>h}, Jilid III, hlm.
12.
[23]Ibid., hlm. 200.
[24]Ibid., hlm. 201.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Imam Muslim, Sahih Muslim, terj.Adhanie,
(Yogyakarta: Penyiaran Islam, 1962), hlm. 47-48. Keterangan lebih lanjut lihat
Muhammad, Perbandingan antara Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid
Quthub tentang Jihad dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Masyarakat
Indonesia, (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Disertasi, 2002), hlm.
56-63.
[28] Lihat Muhammad Firdaus Nurul Huda, Kesan
Perubahan Sosial Terhadap Hukum Islam: Satu Kajian tentang Medologi Syariah dan
Pelaksanaannya, (Malaysia: Percetakan Putra Jaya, 2002), hlm. 152-153.
[29] Lihat Yusuf Qardhawi, Min Ha>dy al
Isla>m Fata>wa> Mu’a>s}irah, (t.tp.: Dar al Wafa al Mansurah:
1993), Jilid II, 232-234.
[30] Jamal D. Rahman, 70 Tahun KH. Ali Yafie,
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 35.
[31] Lihat Khaled Abou El-Fadl, Islam and The
Challenge of Democracy, (Princeton: Princeton University Press, 2004)
terutama Bab III.
[32] Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad, Dirasah
muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah, Maktabah Wahbah, Kairo, 2009. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Atsar al-Harb fi al Fiqh
al-Islami, Beirut: Dar Al-Fikr, hh. 89-90; Ali A. Allawi, The Crisis of Islamic Civilization, Yale
University Press, New Haven and London, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar