Gallery

Senin, 06 Februari 2012

Menakar Nalar Sahabat

A.  Awal Kata
    Studi tentang sahabat Nabi saw adalah sebuah fenomena yang telah lama mewacana di kalangan penggelut studi hadis. Sedari awal terbentuknya disiplin ilmu hadis, uraian tentang sahabat menempati posisi strategis karena menjadi salah satu mata rantai periwayatan. Secara doktrinal, reputasi sahabat juga memperoleh legitimasi sebagaimana tersebut dalam beberapa hadis semisal "istimewanya masa sepeninggal Nabi saw" dan selainnya.

    Seiring perkembangan studi hadis dengan pendekatan yang bervarian, asumsi tentang absolutnya keistimewaan sahabat secara umum diterpa kesangsian oleh sejumlah kalangan penggelut dan penggiat studi tersebut, baik dari kalangan ilmuwan Muslim maupun ilmuwan non-Muslim. Adilnya seluruh sahabat yang telah menjadi semacam aksioma turut tergugat dengan sejumlah data yang terbuka untuk diuji validitasnya. Paparan berikut ini tidaklah berpretensi mengukuhkan gugatan yang disebutkan, tetapi akan mengelaborasi perilaku sahabat dengan pendekatan sosio-antropologis yang didukung oleh data dari sejumlah referensi muktabar di bidang ilmu hadis. Paling tidak, tulisan sederhana ini akan menyingkap sebuah tirai yang terbentang tentang atraktifnya kajian hadis, terutama jika lebih mengedepankan semangat akademik-ilmiah.       

B. Beberapa  Studi Sebelumnya
           Lebih awal penulis akan menjelaskan sejumlah karya yang mendiskusikan persoalan kredibilitas sahabat dengan kecenderungan kajian yang beragam, sebagai berikut:
1.     Kecenderungan Sosio-Politik
    Fu’ad Jabali menulis disertasi yang berjudul: The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments telah memaparkan banyak hal, yakni: (a) makna al-s}ah}a>bah sepanjang sejarahnya ternyata tidaklah stabil, tetapi labil. Salah satu penyebabnya adalah kala itu Muktazilah sedang gencar-gencarnya melancarkan kritik terhadap dominasi hadis sebagai sumber otoritas ajaran agama. Sahabat Nabi pun tidak terlepas dari kritik mereka; (b) hubungan pusat dan daerah, yaitu hubungan antarsahabat yang menetap di Madinah sebagai pusat ibukota negara waktu itu dengan mereka yang tetap betah tinggal di daerah, seperti Basrah, Kufah, Syria, Damaskus, Mesir, Hims, dan Palestina. Pertanyaan sentralnya adalah mengapa mereka memilih wilayah-wilayah tersebut dan tidak ke pusat saja? Adakah motivasi-motivasi yang lain selain maksud penyebaran dakwah Islam?; dan (c) “carut-marut” tragedi Shiffin. Pertanyaan yang diajukan adalah “siapa memihak siapa” dan atas dasar apa?  Karya ini sangat inspiratif dan sangat penting artinya bagi pengembangan kajian Islam, terutama sahabat. Meskipun demikian, disertasi ini belum membahas corak keberagamaan sahabat yang menetap di berbagai wilayah dan penyebaran periwayatan hadis Nabi.
    Artikel Maya Yazigi yang berjudul “Commentaries Hadith al-‘Asharah or Political Uses of a Tradition”, juga menarik ditelaah lebih lanjut. Hadis al-‘asharah ini di samping prediktif juga bermuatan politis. Hadis ini sangat populer di kalangan Sunni sebagai counter terhadap dominasi Syiah. Lalu, kapan hadis tersebut populer dan dipopulerkan? Menurut Yazigi, hadis yang dikaji terkenal pada awal abad IX M yang tersebar dalam kitab-kitab al-sunan dan al-t{abaqa>t, meskipun belum tampak pemihakan dari para penulisnya. Lambat-laun, informasi yang moderat itu diformulasi sedemikian rupa terutama pada abad XI M, sehingga pada sejumlah kitab al-t}abaqa>t, sahabat yang termasuk kelompok sepuluh tersebut dibahas secara khusus. Abad XII M, lebih tegas lagi bermunculan sejumlah karya yang mencatat keutamaan kelompok sepuluh itu (fad{a>’il al-s{ah{a>bah). Bahkan, di era modern ini, kalangan Sunni menerbitkan karya-karya pemihakan yang serupa.  Dari sini dapat dilihat bahwa khusus hadis-hadis prediktif dan bermuatan politis patut dikritik, termasuk sahabat yang paling bertanggung jawab dalam penyebarannya.
Wilferd Madelung juga menulis buku yang cukup menarik dengan judul The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (1997).  Buku ini memuat studi yang lebih komprehensif tentang akar-akar sejarah awal Islam. Ia menulis konflik-konflik internal umat Islam sejak wafatnya Nabi saw., antara keluarganya, Bani Hasyim dan suku-suku Quraish lainnya. Ia juga mengelaborasi pertentangan yang terjadi antara suku-suku Quraish sendiri.
2.     Kecenderungan Sosio-Historis dan Doktrinal 
    Karya-karya yang tergolong dalam kelompok ini memaparkan sejarah dan pembelaan sahabat. Sahabat dalam pandangan mereka adalah generasi terbaik (khayr ummah), dituntun oleh wahyu, dan dibimbing langsung oleh Nabi.
    Muhammad A. Mahzun lewat karyanya yang berjudul Tah}qi>q Mawa>qif ‘l-S}ah}a>bah fi> al-Fitnah, (1994) telah banyak mendeskripsikan posisi sahabat dalam menyikapi pergolakan politik. Bagi A. Mahzun, apa saja yang menimpa sahabat sudah merupakan “suratan takdir” dan mesti terjadi. Semua peristiwa tersebut telah termuat dalam sejumlah hadis Nabi saw, tandas A. Mahzun.  Pesona dan daya tarik buku ini adalah kemampuan penulisnya dalam meneliti hadis-hadis prediktif dan politis. Sedang kelemahannya adalah penulisnya tidak menyajikan analisis historis yang memadai. 
    Muslim A. Kadir telah mengkaji tahap perkembangan perilaku iman sahabat yang dapat menumbuhkan perubahan sosial dan bentuk konfigurasi iman sahabat tersebut sebagai potensi perubahan sosial untuk mencapai tujuan risalah, yakni menampilkan “Islam sebagai rah}{mat-an li al-‘a>lami>n”.  Dalam kajiannya ini, ia juga menyimpulkan bahwa masyarakat Muhajirin dan Anshar dapat mencapai tujuan risalah sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Di antara faktor pendukung tercapainya hal tersebut adalah (a) mereka dapat menghayati turunnya wahyu sehingga mereka dapat menyelesaikan persoalan sosial yang sedang dihadapinya yang notabene juga berdasar dari jawaban wahyu; dan (b) mereka juga mendapat bimbingan langsung dari Nabi saw.  Arti penting karya ini yakni dapat dijadikan sebagai referensi dalam menelaah lebih lanjut tipologi dan karakteristik masyarakat Arab masa awal.
Fathullah Gulen juga menulis buku yang berjudul Prophet Muhammad Aspects of His Life (Versi Teladan Kehidupan Rasul Allah Muhammad saw), terj. Triwibowo Budi Santoso). Hal-hal yang dikaji dalam buku ini, antara lain: (a) tidak benar bahwa Aisyah mengkritik sahabat Nabi lainnya; (b) faktor-faktor kebesaran sahabat, yakni hubungan langsung dengan kerasulan, kejujuran mereka yang masuk Islam secara murni, suasana yang diciptakan wahyu (QS. 48:29, QS 33:23), syuhada Perang Uhud, seperti Hamzah, Anas ibn Nadar, dan Abdullah ibn Jahsy, QS. 33:35 (kasus pernikahan Zaid ibn Haritsah); dan (c) mereka dibesarkan dalam bimbingan wahyu dan mengalami perubahan mendasar dalam hidupnya.
Suasana sulit dan kegetiran hidup yang dialami sahabat Nabi juga diuraikan dalam buku ini. Gulen juga banyak mengutip pendapat para ulama yang mengagungkan sahabat, seperti pandangan Ibn Hazm yang menyatakan bahwa “semua sahabat masuk surga”. Ayat-ayat yang dijadikan pijakan argumentasi oleh Ibn Hazm, antara lain: QS. 59:9, QS. 48:18, 29, QS. 9:100, QS. 33: 23. 
Di samping itu, Gulen juga melansir riwayat yang memuat keterangan tentang posisi penting sahabat, seperti riwayat Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi saw. pernah bersabda la> tasubbu> as}h}a>bi>; “jangan memaki sahabat”.

3.     Kecenderungan Penulisan Biografi
    Ada juga kecenderungan penulis sejarah sahabat Nabi saw. secara biografis, baik kolektif maupun individual. Beberapa contoh penulis sejarah sahabat yang dapat dikemukakan di sini adalah Ibn Sa‘d (w. 230 H) dengan T}abaqa>t al-Kubra>-nya, al-Dzahabi (194-256/ 810-870)  dengan Tadhkirah al-H{uffa>z{-nya, dan Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852/1372-1449) dengan Tahdhi>b al-Tahdhi>b-nya. Mereka ini menulis sejarah sahabat untuk kategori sejarah sahabat secara kolektif.
Ada lagi penulis lainnya yang khusus mengkaji aspek tertentu yang menarik bagi sahabat tertentu. Sebagai contoh, Imam al-Zarkasyi menulis kitab al-Ija>bah li I<ra>d man Istadrakathu A>’isyah ‘ala> al-S}ah}a>bah (Koreksi Aisyah terhadap Sahabat). Buku ini menjelaskan tentang (a) kedalaman ilmu fikih Aisyah sesuai dengan hadis Nabi “Ambillah (separuh) ilmu dari Humaira’ (Aisyah); (b) berbagai pandangan yang brilian dari Aisyah; (c) berbagai koreksi Aisyah terhadap para sahabat, seperti Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abu Thalib, dan Ibn Umar. Teguran Aisyah terhadap Abu Hurairah yang dinilainya memiliki pendengaran yang buruk menyebabkan Abu Hurairah tidak akurat dalam periwayatan.
A. Sayyid Kamal Faqih Imani menulis A Bundle of Flowers from Garden of Traditions of the Prophet & Ahl al-Bait (a.s) Amir al-Mukminin (2001). Buku ini memuat hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan ahl al-bayt-nya, terutama keutamaan Ali ibn Abu Thalib.
Nabia Abbott menulis sebuah karya yang sangat menarik tentang Aisyah. Dalam karyanya tersebut, Abbott menunjukkan ketokohan Aisyah yang bukan hanya sebagai seorang istri (Nabi saw.), melainkan lebih sebagai tokoh perempuan yang juga sebagai pemimpin yang cerdas. Buku ini agak berbeda dengan karya-karya Abbott lainnya. Untuk yang satu ini, Abbott lebih menekankan pada tulisan yang mencitrakan Aisyah sebagai seorang tokoh dalam karya novel. Tulisan ini cukup memukau dan bahasanya mengalir. Sudah dapat ditebak bahwa Abbott menulis bukan hanya ditujukan kepada masyarakat akademik, melainkan untuk masyarakat umum sekaligus.

4.     Kecederungan Membahas ‘Ada>lah al-S}ah}a>bah
    Terdapat beberapa karya ulama hadis yang membincangkan keadilan (‘ada>lah) sahabat, baik klasik maupun modern. Di antara karya-karya tersebut ditulis oleh Ibn al-Shalah (643 H),  Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H),  Mustafa al-Siba’i,  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib,  Muhammad Mustafa Azami,  Muhammad Muhammad Abu Zahw,  Ahmad Amin,  Mahmud Abu Rayyah,  dan Fazlur Rahman.  Di antara mereka tidakada kata sepakat mengenai ‘adalah al-sahabah (keadilan sahabat Nabi). Ahmad Amin dan Mahmud Abu Rayyah mengkritik dan mempertanyakan keadilan sahabat Nabi. Sahabat Nabi adalah manusia biasa seperti kita. Di antara mereka juga terjadi saling menfitnah antara satu dengan yang lainnya. Jadi, sahabat Nabi sekalipun harus dikritik.

5.     Kecenderungan Membahas Sejarah Sosial Sahabat
    Khalil Abd al-Karim adalah orang yang telah banyak menulis sejarah sosial sahabat, baik terkait sosio-politik maupun sosio-ekonominya. Bahkan, Khalil pun menyoroti perilaku seks sahabat. Karya-karya Khalil semakin menarik karena ia banyak merujuk pada kitab-kitab klasik.
    Dalam Mujtama’ Yathri>b (1997), ia mendeskripsikan perilaku seks masyarakat Yathrib (yang belakangan diubah oleh Nabi saw. dengan nama Madi>nah al-Nabiy atau al-Madi>nah al-Munawwarah). Dalam buku ini, Khalil banyak menggambarkan “kebobrokan” moral masyarakat Madinah yang sangat vulgar dalam hal perilaku seksual. Bahkan, dalam buku tersebut diceritakan pula bahwa ada seorang pemuda yang terpaksa diasingkan ke luar kota hanya karena tidak sanggup menahan hasrat seksualnya. Pada Bab IV dari buku ini, Khalil secara provokatif membahas al-mughayyaba>t (selingkuh para istri ketika suami mereka bertempur di medan perang),  dan banyak kisah memilukan lainnya.
    Dalam karya Khalil lainnya, seperti al-S}ah}a>bah wa al-S}ah}a>bah (1997) dideskripsikan peristiwa pertentangan politik antarsahabat, “keserakahan” terhadap penguasaan harta, perilaku hedonistik, dan perilaku poligami mereka. Perlakuan kasar sahabat Anshar terhadap istri mereka sampai pada tingkat memukul pasangannya juga tak luput dari uraian Khalil.  Singkat kata, karya-karya Khalil ini memang tergolong provokatif, tetapi dapat merangsang pembacanya untuk mengkaji ulang sejarah Islam awal.  


C. Keragaman Pemahaman Keagamaan Sahabat

Setelah wafatnya Nabi saw., para sahabat menyebar ke berbagai daerah. Penduduk setempat masing-masing mengambil ilmu (ajaran) Islam dari sahabat yang berdomisili di daerah mereka. Dalam kaitan ini, Ibn Hazm berkomentar sebagai berikut:

…..Orang-orang Madinah mengetahui apa yang tidak diketahui oleh orang Bashrah; orang Bashrah tahu apa yang tidak dipahami oleh orang Syiria; Orang Syiria paham sesuatu yang tidak dikenal oleh orang Kufah. Orang-orang Kufah tidak memahami sesuatu yang dikenal oleh orang Madinah. Semua ini ditemukan dalam hadis (riwa>yat al-athar). Seperti telah dimaklumi bahwa di antara mereka (sahabat) terkadang tidak menghadiri majelis (ta‘lim) Nabi saw., dan pada kesempatan lain, mereka yang semula tidak hadir justru menghadiri majelis Nabi. Sehingga pengetahuan tentang tayammum dipahami oleh Ammr ibn Yasir dan yang lainnya (beberapa sahabat lainnya); sedang Ibn Mas‘ud, keduanya berpendapat, la> tayammamu al-junu>b wa-law lam yajid al-ma>’ shahrayn; orang yang junub tidak boleh bertayammum, meskipun ia tidak memperoleh air selama dua bulan. Maksudnya, tidak ada jalan bagi orang yang sedang junub untuk bertayammum sebagai ganti dari mandi junub. 

    Pengetahuan tentang menyapu sepatu (mash} al-khuff) dipahami oleh Ali ibn Abi Thalib dan Huzaifah, sedang Aisyah, Ibn Umar dan Abu Hurairah (yang kesemuanya tinggal di Madinah) tidak paham duduk perkara persoalan ini. Sedang pengetahuan tentang hak waris bagi seorang kemenakan perempuan dengan anak perempuan (wa-ka>nat turithu bint al-ibn ma‘a al-bint) dipahami dengan jelas oleh Ibn Mas‘ud, sedang Abu Musa al- Asy‘ari tidak memahaminya.
    Contoh-contoh lain yang dapat dirujuk tentang beragamnya pandangan keagamaan dan pemahaman para sahabat, sebagai berikut:
a.    …Bahwasanya Umar ibn Khattab pernah menyuruh pada wanita, jika mereka mandi (jana>bah) hendaknya ……..kepala biasanya. Kemudian aku mendengar Aisyah juga berbicara tentang hal tersebut, ia berkata, “Aneh, bagi Ibn Umar tentang masalah ini menyuruh para wanita jika mereka mandi (jana>bah) agar membasuh kepalanya. Apakah ia tidak menyuruh mereka untuk sekalian menggunduli kepalanya. Sungguh aku (Aisyah) mandi (jana>bah) bersama Rasulullah saw. dalam wadah yang satu dan saya tidak menambah kecuali tiga kali.
b.    Kasus Hindun tidak sampai berita dispensasi kepadanya tentang darah penyakit (setelah haid). Oleh karena itu, ia sampai menangis karena lama tidak melaksanakan shalat. Padahal, bagi mereka yang kebetulan kena istih}ad}ah sudah wajib melaksanakan shalat.
c.    Riwayat bersumber dari Rifa‘ah ibn Ra>fi‘. Ia berkata, “Kami di sisi Umar ibn al-Khattab”. Seseorang (lelaki) menghadap beliau dan berkata, “Wahai amirul mukminin, Zaid ibn Tsabit ini berfatwa di masjid tentang mandi jana>bah dengan akalnya.” Umar berkata, “Suruh dia menghadap kepada-ku.” Datanglah Zaid. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, “Apa sudah sampai beritamu bahwa engkau telah berfatwa di masjid dengan akalmu?” Zaid menimpalinya dengan berkata, “Wahai Amirul mukminin, Demi Allah, aku tidaklah melakukannya. Akan tetapi, aku telah mendengar sebuah hadis dari paman-ku, lalu aku menerimanya dari Abu Ayyub, dari Ubay ibn Ka‘b, dari Rifa‘ah ibn Rafi‘.” Umar berkata, ”Apakah kalian akan berbuat demikian jika telah bergaul dengan istri-istrimu?” Lalu, bagaimana kalau ia malas mandi? Mereka menjawab, ”Kami telah berbuat demikian semasa hidup Rasulullah saw., dan tidak pernah ada larangan dan atau larangan dari Allah swt.” Rasulullah saw. juga tidak pernah melarangnya. Umar berkata lagi, ”Apakah Rasulullah saw. mengetahui hal itu?” Ia menjawab, ”Saya tidak tahu.” Umar lalu mengumpulkan kaum Muhajirin dan kaum Anshar untuk mendiskusikan masalah ini. Lalu mereka menyepakati bahwa tidak mesti mandi jana>bah (fa shara al-na>s an-la> ghusl), kecuali dari pandangan Mu‘az dan Ali ibn Abi Thalib yang mengharuskan mereka mandi setelah berjima’/berhubungan suami-istri.  Kedua sahabat ini berpendapat bahwa jika dua alat kelamin bertemu, maka wajiblah mandi jana>bah. Umar berkata, kalian ini adalah ahlu Badar, lalu kalian sudah berbeda pendapat dalam masalah ini. Bagaimana halnya orang-orang setelah kalian, pasti lebih besar lagi perbedaannya. Ali berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, di antara kita ini tidak ada yang lebih tahu perilaku Nabi saw. kecuali para istrinya.” Lalu mereka menghadap Hafsah. Hafsah berkata, ”Saya tidak memiliki pengetahuan tentangnya.” Kemudian mereka menghadap lagi ke Aisyah, dan berkata, ”Jika kedua alat kelamin bertemu, maka wajib mandi jana>bah.” Lalu, Umar berkata lagi, “Tak seorang pun saya dengar berbuat demikian—yakni malas mandi setelah berjima’—kecuali aku akan menghukumnya (dengan cara memukulnya). 
d.    Contoh lain yang agak tipikal gender adalah kasus Umar ibn al-Khattab. Sahabat hidup dalam konteks masyarakat yang patriarkhi, suatu tatanan sosial yang didominasi oleh kaum lelaki. Umar ibn Khattab, umpamanya, terkenal biasa berlaku kasar kepada istrinya. Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh Asy‘ats, salah seorang sahabat Nabi saw. Ketika suatu hari ia mengunjungi Umar ibn al-Khattab, ia mendapati Umar sedang bertengkar dengan istrinya dan sampai memukuli istrinya. Umar dengan enteng berkata kepada Asy‘ats, “Ada tiga hal yang pernah aku dengar dari Nabi saw., salah satunya adalah jangan pernah bertanya kepada laki-laki mengapa dia sampai memukuli istrinya.”  Tentu, kasus-kasus kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) dan kekerasan publik (pemerkosaan, dan sebagainya) ini bertentangan dan tidak bersesuain dengan idealitas dan cita-cita/spirit al-Qur’an.
e.    Terdapat perbedaan pemahaman keagamaan di antara sahabat mengenai kandungan ayat QS. al-Ma>’idah/50: 105, “Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah yang sesat itu akan memberi mudarrat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Sebagian sahabat berpendapat bahwa dengan ayat ini, kita boleh saja tidak lagi ber-amar ma‘ru>f dan ber-nahy munkar. Kemudian Abu Bakar mengoreksi pendapat tersebut. Lalu beliau mengingatkan mereka dengan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya manusia ini apabila melihat suatu kemungkaran dan tidak berusaha mencegahnya, maka aku khawatir kalau Allah swt. akan menurunkan siksa secara merata kepada mereka (tanpa membedakan siapa yang salah dan pihak mana yang benar).
Hadis lain yang senada, “Tiadalah suatu kaum yang berbuat suatu kemungkaran, lalu sebagian di antara mereka sanggup untuk mencegahnya, tetapi tidak melakukannya, maka Aku khawatir jika Allah swt. akan menurunkan siksa kepada mereka secara merata.”
f.    Perbedaan pendapat antara Umar ibn al-Khattab dan Abu Ubaidah dalam hal takdir. Abu Ubaidah bersama pasukannya sedang dilanda kolera yang amat ganas di Amwas. Umar melihat gejala ini akan membahayakan nyawa panglimanya. Maka Umar memanggil Abu Ubaidah untuk segera ke ibu kota (Madinah) untuk membantu Umar memecahkan suatu persoalan. Namun, setelah Abu Ubaidah membaca surat tersebut, beliau berkata, “Semoga Allah mengampuni Amirul mukminin.” Mengetahui maksud Umar yang hanya ingin menjauhkan dirinya dari penyakit kolera tersebut, kemudian Abu Ubaidah menjawab surat Umar, “Bebaskanlah kami dari keinginan Amirul Mukminin dan berikanlah kami kesempatan untuk tetap bersama pasukan kami.”  
        Persoalan lainnya yang cukup menarik untuk dicermati adalah perbedaan pemahaman sahabat tentang relasi harta. Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan di sini. Ada perbedaan yang menyolok antara kebijakan Abu Bakar dengan Umar ibn Khatttab, dan dua khalifah berikutnya.
a.    Abu Bakar memberikan tunjangan kepada veteran perang dengan ketentuan “bagi rata”. Sedang Umar tidak demikian halnya. Ia tetap memprioritaskan orang-orang yang lebih awal masuk Islam (al-sa>biqu>n al-awwalu>n) dan seberapa banyak pengorbanan mereka dalam jihad membela Islam dan mencintai serta dicintai oleh Rasululah saw.
b.    Pada akhir hayatnya, Umar menyadari akan kekurangan pendapatnya ini serta kelemahan kebijakannya. Ternyata, kebijakannya itu menyebabkan jurang pemisah antara si kaya dan si fakir semakin ’menganga’.  Sehingga, ia berjanji akan mengubah kebijakannya tersebut dan mengikuti pandangan Abu Bakar. Kebijakan Umar tersebut juga didasarkan pada pertimbangan supaya sahabat senior tetap betah tinggal di Madinah, dan tidak terpengaruh ke dunia bisnis dan keluar kota ke wilayah-wilayah baru Islam.
c.    Belakangan datanglah Usman ibn Affan yang lebih memperparah kesenjangan sosial ini. Ia tetap menerapkan kebijakan Umar, dan pada saat yang sama ia juga memberi kesempatan yang sangat luas kepada kaum Muhajirin untuk mengembangkan bisnisnya di luar kota. Dari kesenjangan sosial ini pulalah yang menyebabkan lahirnya fitnah di kalangan Islam sendiri dan berakhir dengan peristiwa ”terbunuhnya Usman” (maqtal Uthma>n).
d.    Sepeninggal Usman, Ali ibn Abu Thalib tampil untuk menetralisir keadaan. Ia kembali menerapkan kebijakan “keadilan sosial” ala Abu Bakar, dan berupaya sekuat tenaga untuk melanjutkan cita-cita Umar tersebut. Tetapi, usaha Ali tersebut dikatakan gagal, sebab ia menentang arus yang deras. Sehingga, fitnah pun tidak bisa terhindarkan dan berakhir dengan dilengserkannya Ali dari kursi khalifah.
Demikianlah gambaran keragaman pemahaman keagamaan sahabat. Mereka terbuka menerima dan mengakomodasi unsur-unsur etnisitas dan lokalitas yang bersesuaian dengan syariat Islam. Mereka terbuka terhadap pandangan dan pemikiran baru sepanjang masih dalam konteks pemaknaan teks atau nash. Mereka terbuka terhadap budaya luar yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.


D. Historisitas Sahabat

Berikut akan dikemukakan beberapa kasus sahabat yang terkait dengan jihad, hijrah dan beberapa peristiwa menarik lainnya.

Suatu hari, al-Nadir ibn al-Harith ibn ‘Alqamah ibn Kildah ibn Manaf ibn ‘Abd al-Dar bertanya kepada Nabi saw.,

Ya Rasu>lalla>h, ayyu al-a‘ma>l ah}abbu ila> Alla>h? Qa>la: al-jiha>d wa al-nafaqa>t fi> sabi>l Alla>h.
(Wahai Rasulullah, “Amal ibadah mana yang lebih dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Berjihad dan menafkahkan harta di jalan Allah”).

Mendengar pernyataan Nabi di atas, al-Nadir pun bergegas keluar ke Syiria untuk angkat senjata (berperang). Ia lalu terlibat dalam peperangan Yarmuk. Ia gugur di medan perang (Yarmuk) sebagai syuhada.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa makna al-jiha>d yang dipahami oleh sahabat Nabi adalah berperang menegakkan agama Islam. Jika ditilik dari latar belakang lahirnya hadis ini, tentu sangat terkait dengan pertanyaan al-Nadir di atas.
Shafwan ibn Umayyah ibn Khalaf ibn Wahab ketika mendengar hadis, inna-hu man lam yuha>jir fa-qad halaka, wa la> isla>ma li-man la> hijrah lahu (sesungguhnya orang yang belum berhijrah, pasti hancur, dan tidaklah dianggap masuk Islam bagi orang yang tidak [mau] berhijrah), ia langsung berhijrah ke Madinah dan menemui Nabi saw. Nabi saw. Bertanya, “Ada apa engkau sampai ke sini, wahai Abu Umayyah?” Ia pun menjelaskan bahwa mereka menyampaikan berita kepada-ku tentang pernyataan Nabi, Man lam yuha>jir fa qad halaka. Nabi bersabda, la hijrah ba‘da al-fath} (Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah). Kembalilah engkau ke Mekkah. Ia lalu ke Mekkah, dan wafat di sana pada tahun 42 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abu Sufyan).
Dari peristiwa ini dapat dipahami bahwa betapa sahabat Nabi tidak seragam pemahamannya terhadap hadis Nabi saw. Jadi, terjadi keragaman pemahaman keagamaan.

    Abu Zar al-Ghifari (w. 31/32 H) terkenal sebagai pejuang kaum mustad}‘afi>n (kaum yang tertindas). Sahabat yang satu ini terkenal hidup sangat sederhana dan jauh dari kemewahan dunia. Ia terkenal sering melontarkan kritik kepada khalifah yang sedang berkuasa. Ia sering mengkritik Muawiyah ibn Abi Sufyan yang dianggapnya telah memerintah keluar dari tuntunan Islam. Bahkan, Abu Zar pun mengkritik Usman ibn Affan, sehingga Usman pun memerintahkan untuk “mencambuknya”. Lebih dari itu, Usman juga memerintahkan untuk membuang Abu Zar di Rabzah (Yaman?). Abu Zar hidup dalam penderitaan dan kegetiran hidup, hingga menemui ajalnya di sana dalam kesendiriannya. Menurut riwayat, Abu Zar wafat dengan satu pakaian, yang itu juga menjadi kain kafan yang membalut tubuhnya.
    Adapun latar belakang Usman memukul Abu Zar, karena persoalan perdebatan harta Abd Rahman ibn ‘Awf. Menurut Abu Zar, Abd Rahman ibn ‘Awf akan ’disiksa’ karena banyaknya harta. Usman pun membantah Abu Zar. Ka‘b menyokong pendapat Usman. Akhirnya, Usman memberi hukuman cambuk kepada Abu Zar.   Usman tetap menganggap harta Abd Rahman ibn ‘Awf sebagai ’kekayaan’. Hal ini disebabkan karena sepanjang hidupnya, Abd Rahman ibn ‘Awf tetap menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah.
Pada informasi yang lain ditemukan keterangan bahwa ketika Abd al-Rahman ibn ‘Awf wafat, para sahabat ramai membincangkan harta kekayaan yang ditinggalkannya. Ka‘b adalah salah seorang yang hadir pada saat itu, dan kelihatan tidak mempermasalahkan harta kekayaan Ibn ‘Awf. Alasan Ka‘b adalah karena Ibn ‘Awf bukan hanya seorang konglomerat, melainkan ia juga dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Mendengar pengakuan dan sokongan Ka‘b, Abu Zar pun marah. Lalu mengejar Ka‘b. Ia pun lari ke rumah Usman ibn Affan dan berlindung di belakang beliau. Abu Zar menghardik Ka‘b dengan perkataannya, “Wahai anak Yahudi, apakah engkau tidak mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa “Orang-orang yang banyak hartanya akan menjadi orang-orang miskin di akhirat kelak, kecuali orang yang berkata dengan hartanya, begini dan begitu, dan ke arah kiri dan kanan, depan dan belakang (maksudnya, orang kaya yang mau mendermakan kekayaannya). Namun, orang yang seperti ini sangat sedikit jumlahnya.”
Aisyah sendiri menanggapi perbincangan sahabat tersebut dengan melansir sebuah hadis Nabi saw., ”Sesungguhnya, Aku telah melihat surga. Aku menyaksikan orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin dan kaum Muslimin masuk surga dengan berjalan kaki. Aku tidak melihat seorang kaya-raya kecuali memasukinya dengan merangkak.” 
Hadis lain yang sedikit berbeda redaksinya adalah ”Hamba Allah yang paling pertama masuk surga adalah golongan fuqara’ dan kaum Muhajirin.”  Hadis ini tentu saja semakin memperkuat argumentasi bahwa perilaku “menumpuk harta kekayaan” tanpa mendermakannya kepada yang lebih berhak adalah sesuatu yang berseberangan dengan ajaran Islam.         
Kasus lain adalah perseteruan Umar ibn al-Khattab dengan Khalid ibn al-Walid. Ada yang berpendapat,     marga Khalid lebih tinggi dari Umar. Khalid dari Quraish Bani Makhzumi, sedang Umar dari Bani ‘Adi. Khalid lebih kaya dari Umar. Khalid adalah seorang panglima perang yang gagah berani. Umar khawatir, dengan melihat kualitas Khalid, jangan sampai ia menggulingkan Umar.
    Riwayat Ibn ‘Asakir dan Ibn Sirin melaporkan bahwa suatu ketika Khalid menghadap Umar. Lalu Umar menegur Khalid karena pakaian sutera yang dikenakannya. Khalid menimpalinya, Memangnya kenapa? Abd al-Rahman ibn ‘Awf juga memakai sutera. Umar berkata, ”Apakah Anda sama dengan Abd al-Rahman?” Umar lalu merobek-robek pakaian sutera Khalid. 
    Kasus Habib ibn Maslamah ibn Malik yang diutus oleh Usman ibn Affan –ke Azerbaijan—dan Salman ibn Rabi‘ah, keduanya memperebutkan harta rampasan perang (al-fa‘i>). Kedua orang ini adalah sahabat. Habib adalah seorang Quraish yang dipekerjakan Umar di Armenia dan Azerbaijan. Salman ibn Rabi‘ah diangkat oleh Umar sebagai hakim sebelum Syuraih di Azerbaijan.
    Perdebatan yang serius juga terjadi antara Umar ibn Khattab dengan beberapa sahabat senior yang menentang kebijakannya yang menghentikan pembagian tanah pertanian di Sawad (Irak) dan Syam. Para sahabat yang ikut menaklukkan kedua wilayah subur tersebut menuduh Umar telah menyalahi tradisi Nabi saw. yang membagikan tanah Khaibar bagi pejuang yang ikut ekspedisi tersebut. Tersebutlah nama Zubair ibn al-Awam, Bilal ibn Rabah dan Abd al-Rahman ibn ‘Awf yang sangat keras menentang Umar.
Pertentangan ini semakin memanas. Begitu tegangnya, sampai Umar berdoa, Ya Allah, tolonglah kami dalam menghadapi Bilal dan para pendukungnya (Alla>humma akfiniy Bila>lan wa As}h}a>ba-hu) .
    Adapun alasan Umar mempertahankan tanah tersebut untuk para petani setempat adalah:
(a). QS. al-H}asyr/59: 6-10. Harta (termasuk harta rampasan perang/al-fa>‘i>) jangan hanya beredar dan dinikmati oleh orang-orang kaya atau bagi mereka yang hidup berkecukupan. Tetapi, justru orang-orang miskinlah yang paling berhak mendapatkan dan menikmati harta tersebut (ayat 7). 
(b). Tanah Sawad tersebut jauh lebih produktif dan berdaya guna jika tetap dibiarkan digarap oleh para petani setempat.  Setidaknya, inilah dua alasan pokok Umar ibn Khattab untuk tetap tidak membagi-bagikan tanah baru tersebut.
    Kasus Khalid ibn al-Walid lainnya yang terkait dengan penumpasan ahl al-riddah yang dituduh telah keluar dari Islam karena mereka enggan membayar zakat. Mereka berpendapat bahwa membayar zakat hanya sebagai upeti (kewajiban) kepada Nabi saw. Oleh karena Nabi saw. sudah wafat, maka dengan sendirinya kewajiban zakat sudah tidak ada lagi.   
Dalam sejarahnya, Khalid dengan tega membunuh Malik ibn Nuwairah al-Yarbu‘iy, ketika ia sedang memimpin penumpasan ahl al-riddah. Mengapa Khalid demikian bersemangatnya membunuh sahabat lainnya yang notabene juga masih Muslim itu? Padahal sebelumnya, Malik telah memperingatkan Khalid bahwa ia tetap saja seorang Muslim. Ia tidak pernah berpindah agama. Ia tidak pernah mengubah agamanya (ana min al-Islam, ma> taghayyartu, wa ma> abdaltu), Aku tetap sebagai seorang muslim; Aku tidak pernah merubah agama-ku; dan aku juga tidak pernah bertukar agama, tandas Malik). Abu Qatadah dan Ibn Umar menyaksikan pengakuan Malik tersebut.
    Setelah membunuh Malik, Khalid pun menawan istrinya, lalu mempersuntingnya. Istri Malik yang bernama Ummu Mutammim langsung dinikahi oleh Khalid, tanpa peduli terhadap ketentuan syariat Islam tentang ketentuan dan batasan masa iddah bagi seorang istri yang ditinggal wafat oleh suaminya (yaitu empat bulan sepuluh hari yang hikmahnya untuk memastikan kesucian seorang perempuan waktu itu).
Peristiwa Khalid ini terdengar oleh Umar ibn Khattab di Madinah. Langsung saja beliau menghadap kepada Abu Bakar kiranya segera menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada Khalid, yaitu rajam. Pasalnya, Umar menilai Khalid telah melanggar syariat. Ia telah berzina, tegas Umar. Tetapi, Abu Bakar tetap membela Khalid, dan berkata, “Aku tidak akan merajam seseorang yang telah berijtihad, meskipun ijtihadnya salah.”
    Umar berkata lagi, Ia telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar tetap saja tidak peduli dengan tuntutan Umar. Walhasil, ketika Khalid tiba di Madinah, Umar mendahuluinya ke rumah Abu Bakar dan menunggunya. Sebelum Khalid melaporkan segala sesuatunya, Umar menghardiknya dan berkata, Hai musuh Allah, engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau menikahi istrinya, suatu waktu, pasti aku akan merajam-mu (Ya ‘aduww Alla>h, qad qatalta imra’an musliman, thumma tazawwajta imra’ata-hu, la-arjumanna-ka).
Bahasan ini menjadi penting untuk menunjukkan upaya keras Nabi saw. dan sahabatnya untuk berubah dan terus berubah. Kajian ini juga untuk menunjukkan kejujuran dan sikap memosisikan sejarah Islam yang tidak boleh dibungkus dan ditutupi “borok-borok sejarah”-nya yang selama ini tidak terungkap ke permukaan.


E.    Akhir Kata
Sahabat yang dalam kehidupan kesehariannya bersama dengan Nabi saw. menyaksikan turunnya wahyu, tetapi terlihat bahwa mereka sendiri tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap teks. Hal ini menunjukkan bahwa kompleksitas situasi dan kondisi yang mereka hadapi melahirkan perbedaan pemaknaan terhadap teks, sehingga pluralitas makna adalah sebuah keniscayaan. Truth-claim (klaim kebenaran) dan monopoli kebenaran adalah sesuatu yang tidak memiliki pijakan historis yang kuat. Pasalnya, ternyata ajaran agama yang dipahami oleh sahabat adalah Islam yang sangat “terbuka” dalam arti yang luas.
Jadi, Islam yang ditampilkan oleh para sahabat adalah Islam yang “superior”, Islam yang “kuat” dan bukan Islam yang “imferior”, tidak percaya diri dan rigid menghadapi perubahan dan budaya luar. Islam pada masa sahabat adalah Islam yang melihat unsur luar sebagai sebuah kekuatan baru, dan bukan ancaman baru. Oleh karena itu, para sahabat berupaya keras untuk mewujudkan Islam ka>ffah seperti yang telah digambarkan tadi.

Wa Allah a'lam. 

1 komentar:

C++ mengatakan...

aslamkum,,,,kullu shahabah udul " apa ini tadz sudah ada legitimasi dari lansung dari Nabi sndri,,, krena ini mnjadi kspakatan ulama,, bhkan makna shahabt sndri mnglami prgeseran sapa yg masuk dalam klasifikasi sahaabt,,,
maksi tadz..