Gallery

Jumat, 31 Agustus 2012

Para Direktur

Tak terasa sudah sekitar sepuluh tahun saya bekerja di Kementerian Agama RI, direktorat pendidikan tinggi Islam. Dulu namanya direktorat perguruan tinggi islam, ditpertais.

Para Dirjen

Ketika saya mengambil mata kuliah program pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga, saya diajar oleh Prof Zaini Dahlan. Beliau mengajar bahasa dan sastra Arab. Beliau waktu itu adalah rektor Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Beliau orangnya sangat bersahaja, dan telah menjabat selama 40 tahun. Beliau adalah mantan Dirjen Kelembagaan Agama Islam. Saya bertanya kepada beliau, apa resep Bapak dapat menjadi birokrat begitu lama? Beliau menjawab, saya berusaha untuk selalu tersenyum dan memudahkan urusan orang lain. Selama saya bekerja di Kemenag RI, saya sudah berinteraksi dengan empat sosok Direktur Jenderal. Mulai (alm) Prof A. Qodri A.Azizy, Dr. Jahja Umar, Prof. Mohammad Ali sampai Prof Nur Syam. Ada banyak tipe para dirjen tersebut. Ada dirjen yang zaklek, kaku, membangun wibawa dan kharisma kedirjenannya. Ada dirjen yang ramah, santun tapi tegas dalam memegang aturan. Ada juga dirjen yang tetap bersahaja, bersahabat dan tidak sok berkuasa.

Kang Jalal: "The Bridge"

Kang Jalal—K.H. Jalaluddin Rakhmat—bagi saya sebagai “The Bridge” ( Jembatan umat). Saya terinspirasi oleh tulisan David Remnik, The Bridge, The Life and Rise of Barack Obama, 2010. Buku ini ditulis untuk menggambarkan Obama secara utuh berdasarkan wawancara mendalam dari teman, keluarga, mentor, kenalaln dan orang yang mengenal Barack Obama. Saya berharap pada kesempatan ini kita dapat menjadikan momentum peringatan ulang tahun Kang Jalal yang ke 63—sudah mencapai umur Nabi Muhammad shalla Allah ‘alaih wa alih wa sallama. sebagai peristiwa penting untuk “memosisikan” Kang Jalal sebagai “The Bridge”. Sesungguhnya Kang Jalal tidak membuthkan lagi lembaga yang diharapkan akan “membesarkan” dirinya. Sebab, Kang Jalal sudah melampaui atau lebih besar dari lembaga atau organisasi tertentu yang “dilekatkan” pada diri beliau. Saya ingat Prof. Dr. Baharuddin Lopa—sang pendekar hukum itu—ketika dilamar oleh organisasi politik tertentu. Ada yang berkomentar bahwa Pak Lopa tidak membutuhkan lembaga politik tersebut dan mestinya beliau tidak menerima pinangan untuk bergabung dalam organisasi politik tersebut. Bukankah nama beliau sudah lebih besar dari organisasi politik itu? Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah Kang Jalal harus melepaskan semua baju kebesaran yang telah terlanjur “dilekatkan” pada beliau. Seperti tokoh Mata Hari dalam novel Namaku Mata Hari karya Remy Silado yang sebelum eksekusi mati, ia meminta agar ia harus “telanjang” . Ia ingin menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa beban peradaban Barat yang dinilainya “gelap”, yang hedonistik dan penuh intrik-intrik politik impreliasme. Kang Jalal adalah seorang cendekiawan muslim yang multitalenta. Ia seorang pakar komunikasi yang handal. Ia menulis buku kecil tapi berdampak besar dengan judul: Retorika Modern. Buku ini dibaca oleh jutaan orang, dan tentu sudah memberi banyak manfaat terutama para muballig pemula atau politisi atau birokrat dalam menyampaikan pidato yang baik dan berkesan. Kang Jalal juga menulis tentang bidang yang luas terutama kajian keislaman seperti tafsir, hadis, fiqh, sejarah Islam (tarikh), tasawuf, psikologi, dll. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya beliau antara lain sebagai berikut: 1. Psikologi Komunikasi (1985) 2. Islam Alternatif (1986). 3. Islam Aktual, Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, 1991. 4. Retorika Moderen (1992) 5. Renungan-Renungan Sufistik, Mizan, 1994. 6. Catatan Kang Jalal (1997). 7. Reformasi Sufistik (1998). 8. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998). 9. Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999). 10. Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999). 11. Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, Rosda, 1999. 12. Rindu Rasul, Bandung, Rosda, 2001. 13. Dahulukan Akhlaq di atas fikih, Bandung, Mizan, 2002. 14. Psikologi Agama (2003) 15. Meraih Kebahagiaan (2004), 16. Khotbah-Khotbah di Amerika 17. Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005). 18. Islam dan Pluralisme, Akhlaq Al-quran menyikapi perbedaan, Jakarta, Serambi, 2006.. 19. Memaknai Kematian, 2006. 20. The Road to Allah, Bandung, Mizan, 2008. 21. Al-Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. Pada Tanggal 23 Agustus 2012 sms Mbak Nike Jalal masuk di hand phone saya. Saya membaca sms tersebut yang intinya meminta saya untuk memberi komentar terhadap pemikiran "syi'ah" K.H. Jalaluddin Rakhmat yang sekaligus untuk memperingati hari ulang tahun beliau pada tanggal 29 Agustus 2012. Saya merenung sebentar, dan dalam hati bertanya-tanya: mengapa mesti saya yang diminta? Bukankah di republik ini ada banyak pakar yang mumpuni dan lebih representatif untuk mengomentari atau bahkan membedah pikiran-pikiran “Syi’ah”Kang Jalal. Setelah itu, baru saya mengiyakannya. Saya pikir, berdialog dan perdebatan ilmiyah tentu sesuatu yang sangat menggairahkan dan sekaligus ingin berguru dan mempertajam analisis. Dengan bersentuhan dengan unsur lain tentu akan dapat memberi manfaat. Setidaknya, dari dialog tersebut, saya dapat "menakar" belantika pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Kang Jalal memang identik dengan syi'ah. Persentuhan saya dengan pemikiran Kang Jalal dimulai sejak saya masih mahasiswa, awal tahun 1990-an. Kala itu, Kang Jalal mempublikasikan pemikirannya tentang Islam Aktual. Buku ini langsung saja mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Ada yang positif, tapi tidak sedikit yang negatif bahkan mengajukan "hujatan". pada tahun 1995, ketika saya sebagai Ketua Senat Fakultas Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang, saya menggelar seminar nasional dengan tema: “Rekonsiliasi Sunnah-Syi'ah”. Pada waktu itu, panitia sudah berupaya untuk meminta Prof. H. M. Syuhudi Ismail sebagai salah seorang nara sumber pembanding. Akan tetapi beliau tidak bersedia. Komentar yang kami dengar adalah Prof Syuhudi tidak setuju dengan tema seminar tersebut karena tidak mungkin "mendamaikan" sunnah-syi'ah. Sunnah-Syi'ah adalah produk sejarah "berdarah-darah" umat Islam. Kemudian, Kang Jalal adalah seorang orator ulung yang tidak mudah untuk "ditaklukkan". Seminar tersebut berjalan lancar dan pesertanya membludak, sekitar seribuan orang. Bahkan banyak peserta seminar rela untuk berdiri yang penting ikut seminar. Hasil-hasil seminar dengan wawancara khusus Kang Jalal dipublikasikan oleh Jurnal Ulumul Qur'an asuhan Prof. Dawam Rahardjo. Hari ini kita melaksanakan kegiatan dialog yang bertemakan kurang-lebih sama dengan 17 tahun yang lalu. Bahkan dengan suasana “hangat” secara nasional jika dikaitkan dengan “bentrok sunni-syi’ah di Sampang, Madura. Pertanyaannya, adakah kemajuan dialog yang kita sedang gagas ini? Apakah tema dialog, cara berdialog, isu-isu yang diusung sudah ada kemajuan? Atau sama saja? Kalau demikian, benarlah Ali A. Allawi dalam bukunya: The Crisis of Islamic Civilization (2009). Ali Allawi menegaskan akan rendahnya kontribusi umat Islam bagi percaturan dunia sekarang ini, baik dari segi ekonomi, politik, dll. Oleh karenanya, kita berharap bahwa dialog ini lebih akademik dan mengedepankan nalar. Kita sudah harus mengakhiri dialog yang tidak cerdas. Apalagi diskusi yang sudah mengarah pada saling mengkafirkan antara sesama muslim. Bukankah pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa alih wa sallama setiap orang yang telah menyatakan syahadat sudah masuk dalam komunitas muslim. Sekarang justeru sebaliknya. Ada banyak orang yang sudah puluhan tahun shalat, puasa, zakat, dan haji pula hanya karena perbedaan paham, mereka diklaim sebagai "bukan golongan muslim yang selamat". Bagi saya, Kang Jalal diharapkan sebagai "The Bridge", jembatan emas dialog sunnah-syi'ah. Dulu, kang Jalal biasa ditanya, apakah beliau seorang sunni atau syi'ah? Biasanya beliau menjawab diplomatis: saya adalah ahlussunnah wa al-syi'ah. Saya adalah penganut sunni dan syi'ah sekaligus. Saya tidak tahu, apakah Kang Jalal sekarang sudah berubah menjadi seorang syi'ah yang sangat mengerti sunni. Atau seorang sunni yang dapat memahami syi'ah. Atau Kang Jalal, tidak dapat dikategorikan dari kedua-duanya. Karena Kang Jalal telah “melampaui” sunnah-syi’ah. Saya teringat, pernah membaca majalah berbahasa Arab. Di dalamnya ada dialog Salman al-Farisi dengan sahabat lainnya yang sedang membangga-banggakan keturunan dan buyut mereka. Sampai ada pertanyaan yang menohok dan menyinggung perasaan Salman al-Farisi. Ibnu man anta? Ente anak siapa? Salman menjawab: ana ibnu al-Islam. Saya adalah “putera Islam”. Saya menduga dan berharap: K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah "min abna’ al-Islam". Memang masih banyak hal yang bisa didialogkan antara sunnah-syi'ah. Umpamanya saja, masih ada buku-buku terbitan Iran yang masih "menyudutkan" sahabat tertentu, bahkan sampai pada A'isyah ummahat al-mukminin. Dr Najah al-Thai' dalam kitabnya: al-Sirah al-Nabawiyah yang sangat tebal, 12 jilid itu masih menulis sesuatu yang kurang pas bagi sahabat Abu Bakar, A'isyah, Umar ibn al-Khattab, dll. Bahkan Najah al-Thai menulis khusus mengenai A'isyah, 2 jilid. Tentu buku seperti ini akan kurang pas bagi kalangan sunni. Di sinilah arti pentingnya "dialog" yang setara. Dalam dialog, berbeda itu biasa. Hanya saja, biasanya karena berbeda, maka biasa menjadi meruncing dan ujung-ujugnya "berselisih". Memang harus dibedakan antara ikhtilaf yang bermakna perbedaan, dengan al-khilaf yang berarti berselisih. Mungkin juga harus dibedakan antara berdialog dengan berdebat kusir atau bertengkar. Ada etika sendiri. Kita biasanya belum cakap dalam membedakan antara mengkritik dengan menghujat. Yang dilarang oleh Nabi shalla Allah ‘alaih wa alih wa sallama adalah ….la tasubbu ashhabi….jangalah kalian mencaci-maki sahabatku…Mencaci-maki tentu berbeda dengan mengkritik. Sebab, di kalangan sahabat sendiri biasa saling mengkritik. Seperti Abu Hurairah mengkritik A’isyah yang dianggap kurang mengerti suatu perkara karena hanya cakap berdandan di depan cermin. Hal ini sebagaimana laporan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat al-Kubra-nya. Semoga kita dapat berdialog yang setara agar kebenaran dan cahaya Islam menyinari kehidupan kita. Untuk maju, kita harus memiliki "jiwa yang kaya" akan perbedaan. Kita memang hidup di tengah pluralitas, ras, agama, dan suku serta budaya. Kembali kepada sunnah-syi'ah tadi, yang perlu digagas adalah al-taqrib bain al-mazahib", upaya rekonsiliasi berbagai mazhab yang ada. Bukan dengan memicu perbedaan yang ada. Hidup harmoni ibarat melodi yang setiap petikan, getaran nadanya berbeda-beda. Ada nada rendah, nada sedang, dan nada tinggi. Apabila disinergikan semuanya, maka akan terdengar suara indah nan elok. Walhasil, semoga Kang Jalal dianugerahi umur panjang. Semoga hidup beliau semakin berkah. Ada sebuah hadis Nabi yang maknanya, bahwa orang yang dikaruniai umur 40 tahun berarti yang bersangkutan fisiknya kuat. Kalau seseorang sudah berumur 60 tahun ke atas, maka urusannya dimudahkan Allah Swt dan semakin diberkahi. Amin. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu. Wa ma taufiqi illa billah. Wa Allah a’lam.

Kamis, 23 Agustus 2012

Kang Jalal

Tanggal 23 Agustus 2012 sebuah sms masuk di hand phone saya. Saya membaca sms tersebut yang intinya meminta saya untuk memberi komentar terhadap pemikiran "syi'ah" K.H. Jalaluddin Rakhmat--yang lebih populer dengan Kang Jalal--. Saya merenung sebentar, dan dalam hati bertanya-tanya: mengapa mesti saya yang diminta? Bukankah di republik ini ada banyak pakar yang mumpuni dan lebih representatif untuk mengomentari atau bahkan membedah pikiran-pikiran keislaman Kang Jalal. Setelah itu, baru saya mengiyakannya. Saya pikir, berdialog dan perdebatan ilmiyah tentu sesuatu yang sangat menggairahkan dan sekaligus ingin berguru dan mempertajam analisis. Dengan bersentuhan dengan unsur lain tentu akan dapat memberi manfaat. Setidaknya, dari dialog tersebut, saya dapat "menakar" belantika pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Kang Jalal memang identik dengan syi'ah. Persentuhan saya dengan pemikiran Kang Jalal dimulai sejak saya masih mahasiswa, awal tahun 1990-an. Kala itu, Kang Jalal mempublikasikan pemikirannya tentang Islam Aktual. Buku ini langsung saja mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Ada yang positif, tapi tidak sedikit yang negatif bahkan mengajukan "hujatan". pada tahun 1995, ketika saya sebagai Ketua Senat Fakultas Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang, saya menggelar seminar nasional dengan tema: Dialog Sunnah-Syi'ah. Pada waktu itu, panitia sudah berupaya untuk meminta Prof. H. M. Syuhudi Ismail sebagai salah seorang nara sumber pembanding. Akan tetapi beliau tidak bersedia. Komentar yang kami dengar adalah Prof Syuhudi tidak setuju dengan tema seminar tersebut karena tidak mungkin "mendamaikan" sunnah-syi'ah. Sunnah-Syi'ah adalah produk sejarah "berdarah-darah" umat Islam. Kemudian, Kang Jalal adalah seorang orator ulung yang sulit untuk "ditaklukkan". Seminar tersebut berlangsung hidmat dan pesertanya sangat membludak, sekitar seribuan orang. Bahkan peserta seminar rela untuk berdiri yang penting ikut seminar. Seminar berjalan lancar. Hasil-hasil seminar dengan wawancara khusus Kang Jalal dipublikasikan oleh Jurnal Ulumul Qur'an asuhan Prof. Dawam Rahardjo. Hari ini kita melaksanakan kegiatan dialog yang bertemakan kurang-lebig sama dengan 17 tahun yang lalu. Pertanyaannya, adakah kemajuan dialog yang kita sedang gagas ini? Apakah tema dialog, cara berdialog, isu-isu yang diusung sudah ada kemajuan? Atau sama saja? Kalau demikian, benarlah Ali A. Allawi dalam bukunya: The Crisis of Islamic Civilization (2009). Oleh karenya, kita berharap bahwa dialog ini lebih akademik dan mengedepankan nalar. Kita sudah harus mengakhiri dialog yang tidak cerdas. apalagi saling mengkafirkan antara sesama muslim. Bukankah pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama setiap orang yang telah menyatakan syahadat sudah masuk dalam komunitas muslim. Sekarang justeru sebaliknya. Ada banyak orang yang sudah puluhan tahun shalat, puasa, zakat, dan haji pula hanya karen perbedaan paham, mereka diklaim sebagai "bukan golongan muslim yang selamat". Bagi saya, Kang Jalal diharapkan sebagai "The Bridge", jembatan emas dialog sunnah-syi'ah. Dulu, kang Jalal biasa ditanya, apakah beliau seorang sunni atau syi'ah? Biasanya beliau menjawab diplomatis: saya adalah ahlussunnah wa al-syi'ah. Saya adalah penganut sunni dan syi'ah sekaligus. Saya tidak tahu, apakah Kang Jalal sekarang sudah berubah menjadi seorang syi'ah yang dapat mengerti sunni. Atau seorang sunni yang dapat memahami syi'ah. Atau Kang Jalal, tidak dapat dikategorikan dari kedua-duanya. Saya teringat, pernah membaca majalah berbahasa Arab. Di dalamnya ada dialog Salman al-Farisi dengan sahabat lainnya yang sedang membangga-banggakan keturunan dan buyut mereka. Sampai ada pertanyaan yang menohok dan menyinggung perasaan Salman al-Farisi. Ibnu man anta? Ente anak siapa? Salman menjawab: ana ibnu al-Islam. Saya adalah anak Islam. Saya menduga dan berharap: K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah "Ibnu al-Islam", anak Islam. Beliau bukan sunnah dan bukan pula syi'ah. Memang masih banyak hal yang bisa didialogkan antara sunnah-syi'ah. Umpamanya saja, masih ada buku-buku terbitan Iran yang masih "menyudutkan" sahabat tertentu, bahkan sampai pada A'isyah ummahat al-mukminin. Dr Najah al-Thai' dalam kitabnya: al-Sirah al-Nabawiyah yang sangat tebal, 12 jilid itu masih menulis sesuatu yang kurang pas bagi sahabat Abu Bakar, A'isyah, Umar ibn al-Khattab, dll. Bahkan Najah al-Thai menulis khusus mengenai A'isyah, 2 jilid. Tentu buku seperti ini akan kurang pas bagi kalangan sunni. Di sinilah arti pentingnya "dialog" yang setara. Dalam dialog berbeda itu biasa. Hanya saja, biasanya karena berbeda, maka biasa menjadi meruncing dan ujung-ujugnya "berselisih". Memang harus dibedakan antara ikhtilaf yang bermakna perbedaan, dengan al-khilaf yang berarti berselisih. Mungkin juga harus dibedakan antara berdialog dengan berdebat kusir atau bertengkar. Ada etika sendiri. Kita biasanya belum cakap dalam membedakan antara mengkritik dengan menghujat. Biasanya dalam prakteknya sama saja. Semoga kita dapat berdialog yang setara agar kebenaran dan cahaya Islam menyinari kehidupan kita. Wa Allah a'lam.

PNS Bolos

Mudik lebaran adalah sesuatu yang sudah mentradisi. Sepertinya tidak ada lebaran tanpa mudik. Lebaran tanpa mudik, pasti tidak seru. Ada banyak kisah menarik seputar mudik. Siaran TV pun juga banyak melansir berita seputar fenomena mudik. Disamping hiruk-pikuk mudik juga ada banyak kisah miris. Seperti meningkatnya kecelakaan lalin ketika mereka mudik. Orang yang mudik juga terkadang abai terhadap peraturan lalin. Seperti seenaknya menggunakan jalur tertentu dengan kecepatan tinggi pula. Atau mereka lebih senang menggunakan kendaraan roda dua daripada naik bus atau menggunakan transportasi umum yang relatif lebih aman. Hari pertama lebaran, saya menyaksikan dua anak muda di siang bolong tergeletak di pinggir jalan raya. Ad banyak masyarakat sekitar TKP yang berkerumun. Ketika kami menyaksikan kejadian tersebut, saya berteriak: "tolong bawa ke rumah sakit". Saya sendiri tidak tahu apakah kedua anak muda itu masih hidup atau sudah meninggal. Dengan meningkatnya kecelakaan lalin hendaknya para pemudik berhati-hati dalam berkendaraan. Termasuk harus memilih jenis kendaraan yang paling safety. Pada hari pertama, para pegawai masuk kantor pasca lebaran. Sidak door to door. Para petinggi suatu instansi memeriksa setiap pojok ruangan. Absensi khusus diedarkan. Bahkan ditunggui oleh petugas khusus. Salam-salamanpun berlangsung meriah dari ruangan ke ruangan. Wajah sumringah terpancar dari wajah mereka. Bersalaman dengan tulus sambil mengucapkan: mohon ma'af lahir dan bathin. Minal a'idin wal fa'izin. Ada juga yang melanjutkan dengan perbincangan ringan sambil menanyakan keadaan keluarga, kisah-kisah unik seputar mudik. Pada sisi lain, kita juga menyaksikan pemberitaan media tentang masih adanya PNS yang bolos kerja pada hari pertama. Padahal, konon APBN telah membiayai belanja pegawai sebanyak 500 triliun. Anggaran yang sangat signifikan. Mestinya mereka lebih serius mengerjakan tugas-tugas negara. Saya tidak bisa mengerti mengapa masih ada pegawai yang masih mangkir di tempat kerja. Bukankah masa berlibur lebaran sudah cukup memadai? Saya kira perlu penelitian tentang hal ini. Atau memang pembinaan mental pegawai masih perlu ditingkatkan lagi. Atau sebagian pegawai sudah mengalami "kematian budaya" meminjam istilah Seno Aji. Wa Allah a'lam.

Kamis, 16 Agustus 2012

Absen Khusus

Menjelang lebaran Idul Fitri dan ngantor sehari atau dua hari setelah lebaran, biasanya kantor-kantor pada mengedarkan absen khusus. Kalau ada yang tidak hadir atau bolos dari kantor pada hari-hari tersebut, pasti yang bersangkutan akan dikenai sanksi kepegawaian. Meskipun absen khusus ini memiliki dampak yang baik bagi kehadiran para pegawai di kantor, tapi apakah absen khusus tersebut berbanding lurus dnegan kinerja para pegawainya, belum ada penelitian khusus mengenai ini. Saya biasa berpikir, di era sekarang ini, apakah absen atau sidak seperti ini masih efektif. Sebab, mestinya yang dibutuhkan bukan hanya absensinya, tapi bagaimana dengan kinerja para pegawai tersebut. Bukankah era sekarang sudah era revolusi informasi. Pekerjaan bisa saja dikerjakan di mana saja. Mestinya, setelah kehadiran pegawai, yang terpenting adalah kinerjanya. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan di rumah, di jalan, atau dalam perjalanan ke kantor. ADa banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan, di selesaikan tanpa pertemuan secara fisik dengan pelanggan. bahkan mengurangi intensitas pertemuan itu justeru akan memperkecil kemungkinan terjadinya gratifikasi yang selama ini digelisahkan dan dikhawatirkan oleh lembaga penegak hukum seperti KPK. Pemanfaatan IT secara maksimal justeru sangat tepat bagi kota metropolis seperti Jakarta. Apalagi dengan tingkat kemacetan yang semakin meningkat setiap harinya.

Rabu, 15 Agustus 2012

Gus Dur

Gus Dur adalah tokoh fenomenal, sampai beliau wafat, masih juga hangat diperbincangkan pada semua lapisan masyarakat. Konon, sampai sekarangpun makam beliau masih banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai kalangan. Jamaah Nahdhatul Ulama, dan bahkan tokoh tokoh agama lainnya seperti Katolik, Kristen, Budha, dll. Gus Dur sewaktu beliau sebagai Ketua Umum PBNU sangat berseberangan dengan Presiden Soeharto yang waktu itu sangat berkuasa. Meskipun demikian, ketika Soeharto lengser dari kursi Presiden, dan ketika banyak kalangan yang menghujat Presiden yang terkenal sangat otoriter ini, justeru Gus Dur mendatangi kediaman Pak Harto. Puncak kejengkelan Soeharto adalah ketika pernyataan Gus Dur dikutip dalam buku Adam Schwarz dengan judul A Nation in Waiting Indonesian in the 1990s, 1994. Pada halaman 188, Adam Schwarz menulis: In an interview in March 1992, Wahid was no less forthcoming when I asked him why he thought his views were being disregarded by Soeharto. Two reasons, he Said. Stupidity, and because Soeharto doesn't want to see anyone he doesn't control grow strong. Begitu marahnya Pak Harto, buku Adam tersebut dinyatakan dicekal di Indonesia. Gus Dur juga dikenal sebagai Presiden yang sangat jenaka. Bahkan Prof Arief Rachman pernah mengkritik beliau yang sibuk mengoleksi lelucon ketimbang mengurus persoalan negara. Saya ini kesasar, mestinya jadi pelawak, kok jadi Presiden, canda Gus Dur. Sewaktu Gus Dur mau bertemu dengan Presiden AS, Bill Clinton yang direncanakan hanya berlangsung 30 menit, meskipun berlangsung 1,5 jam. Konon, Gus Dur memulai pembicaraan dengan Clinton dengan humor. Yakni, suatu waktu Perdana Menteri Inggeris yang terkenal senang menasionalisasi hal-hal yang besar. Sang Perdana Menteri tiba-tiba memergoki seseorang yang sedang kencing. lalu, orang itu berkata: jangan melihat ke sini, karena Anda suka menasionalisasi hal-hal yang besar-besar. Clinton tertawa. Gus Dur juga memiliki kemampuan meniru yang luar biasa. Setelah stroke pun masih dapat menghapal 2.000 nomor telpon. Gus Dur memang merupakan sebuah teks yang kaya akan interpretasi.Lihat M. nipan Abdul Halim dan Muhammad Zakki, Gus Dur sang Penakluk Tanpa 'Ngasorake', 2000. Wa Allah a'lam.

Hadiah

Hari-hari gini adalah hari-hari pemberian parsel atau THR (Tunjangan Hari Raya). Parsel itu biasanya pemberian seseorang kepada orang-orang tertentu, biasanya para pejabat dari teman, handai taulan atau relasi bisnis. THR, biasanya pimpinan perusahaan atau pimpinan instansi pemerintah kepada karyawannya. Sesungguhnya kalau parsel itu dimaksudkan sebagai hadiah yang wajar tidaklah bermasalah. akan tetapi biasanya parsel itu dikirim kepada orang-orang tertentu, karena ada udang di balik batu. Di sinilah letak masalahnya. Kalau parsel dimkasudkan untuk maksud-maksud terselubung, tentu ini yang dilarang. akan tetapi kalau parsel itu dimaksudkan untuk menyambung tali-silaturahim yang tulus, saya kira tidak masalah. Sebetulnya hadiah itu dalam bahasa arab, makna dasarnya adalah petunjuk. hadiah berakar kata sama dengan kata al-huda, petunjuk. Jadi hadiah dapat dimaknai sebagai petunjuk untuk menyambung persahabatan yang tulus. Itulah sebabnya, ada pandangan yang mengatakan bahwa kalau seseorang rekan bisnis memberikan uang kepada kita, berarti yang bersangkutan bermaksud untuk melangsungkan hubungan bisnis dan profesional. Selanjutnya, kalau seseorang itu memberikan hadiah kepada kita dalam bentuk barang, atau apapun namanya selain uang, berarti sebagai isyarat atau petunjuk untuk menjalin persahabatan yang lebih sejati. nabi Sulaiman adalah orang yang paling kaya sejagad, tetap saja mau menerima hadiah yang wajar dari raja atau penguasa pada zamannya. Sebagai sikap wara', kehati-hatian berbuat dosa, sebaiknya para hakim, pejabat, atau apapun profesi kita sebaiknya berhati-hati dalam menerima parsel atau hadiah. jangan sampai merusak reputasi dan integritas kita sebagai pejabat negara. Jangan sampai parsel atau hadiah tersebut memang betul-betul sebagai gratifikasi, suap. Puasa mengajarkan kita agar berhati-hati dan meneliti makanan yang kita konsumsi. Makanan yang haram juga merupakan penghalang bagi terkabulnya do'a. Semoga Tuhan memberi kita petunjuk menjadi hamba-hamba_nya yang wara'. Wa Allah a'lam.

Khutbah Idul Fitri, 1433 H

Khutbah Idul Fithri, 1 Syawal 1433 H Makna Puasa Bagi Kehidupan Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Hari ini takbir, Allah Akbar (meng-Agungkan Asma Allah), Tasbih, Subhanallah (mensucikan Allah), dan tahmid, walillah al-hamd (segala puja dan puji hanya milik Allah) berkumandang di seluruh dunia. Pekik suara itu juga kita gemakan di sini, disaksikan dan disambut riuh-rendah suara para malaikat Allah Swt. Gema Takbir membahana ke seluruh pelosok bumi yang disuarakan oleh lebih satu seperempat miliyard umat manusia. Di lapangan, di masjid-masjid, di musholla, di surau, di Langgar, di desa-desa, di dusun-dusun, di gunung-gunung, di pinggir pantai, di kampung-kampung di seluruh pelosok negeri Islam. Setiap jengkal tanah yang di atasnya lafaz La Ilah Illa Allah—tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, maka tanah itu adalah negeri Islam. Hari ini, dengan berat hati, kita meninggalkan bulan suci ramadhan yang penuh berkah itu yang salah satu malamnya, lailatul-qadri, lebih mulia dari seribu bulan. Hari-hari ramadhan, Allah telah mencurahkan rahmat-kasih-sayangnya, Allah memberikan kucuran maghfirah-ampunan-Nya; Dan Allah membebaskan manusia dari siksaan api neraka. Kita telah menunaikan ibadah shaum ramadhan pada siang harinya, kita telah menghidupkan qiyamul-lail ( shalat sunnah tarawih, witir dan tahajjud) pada malam harinya. Kita telah membasahi bibir dan lisan kita dengan zikir dan tilawatil Qur’an. Kita telah berupaya sekuat tenaga untuk mengekang hawa nafsu kita, kita telah menahan lapar, dahaga dan tidak berhubungan suami-isteri pada siang harinya. Kita telah menunaikan zakat mal-hartanya dan zakat fithrah kita sebagai wujud kepatuhan total kita kepada Allah. Lalu pertanyaannya kemudian: akankah kita masih diberi umur yang panjang untuk bersua lagi pada ramadhan tahun depan. Akankah kita masih diberi kesehatan yang sempurna pada ramadhan tahun depan. Akankah kita masih utuh dalam satu keluarga pada ramadhan tahun depan. Akankah kita masih utuh sebagai jama’ah Masjid al-Muttaqiin, pada ramadhan tahun depan. Marilah kita berdo’a: Allahumma ballighna ramadhan, Ya Allah, berikanlah umur yang panjang kepada kami, agar kami dapat bersua dengan ramadhan tahun depan. Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Menurut catatan sejarah, idul fitri pertama kali dirayakan oleh umat Islam adalah pada tahun kedua Hijriyah. Yakni ketika Nabi dan para sahabatnya baru saja memenangkan perang Badar. Secara spontan umat Islam bergembira atas kemenangan melawan tentara kafir Quraisy. Abu Jahal yang selalu “menjahati” Nabi dan para sahabatnya, tewas dalam perang Badar. Perang Badar sangat menentukan perjalanan sejarah Islam, sangat menentukan hidup matinya agama Islam. Itulah sebabnya, sehingga Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama berdo’a: “Ya Allah, jika pasukan Islam ini hancur, maka siapakah lagi yang akan menyembah-MU di muka bumi ini”. Ketika kemenangan di tangan kaum muslimin, Nabi bersabda: “Kita telah kembali dari perang kecil, namun kita akan menghadapi perang atau jihad yang lebih besar. Para sahabat bertanya: apakah jihad akbar itu? Jihad al-nafsu. Memerangi hawa nafsu, jawab Nabi”. Idul Fitri pada masa itu disambut dengan meriah. Sampai-sampai kita selalu mendengarkan lafaz yang selalu dibaca ketika melantunkan takbir, tahmid dan tasbih. …La ilah Illa Allah wahdah. Shadaqa wa’dah. Wa nashara ‘abdah. Wa a’azza jundah. Wa hazama al-azhab wahdah…Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Dia (Tuhan) yang selalu menepati janji-Nya. Dia (Tuhan) yang telah dan selalu member pertolongan kepada hamba-Nya. Dia (Tuhan) yang telah mengokohkan tentara-Nya. Dia (Tuhan) yang telah menghancurkan musuh-musuh-Nya…. Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama menasehati salah seorang isterinya agar mengetuk pintu surga setiap harinya. Isterinya lalu bertanya, dengan apa ya Rasullah? Dengan lapar, jawab Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama. Imam al-Ghazali, hujjat al.Islam pernah berkata: Puasa itu seperempat iman. Bahkan dalam salah satu sabda Nabi disebutkan bahwa al.shaum nisfu al.shabr, puasa itu separohnya adalah sabar. Demikianlah ternyata lapar memiliki kekuatan dahsyat. Mungkin itulah sebabnya, sehingga puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat istimewa. Konon, pada masa dahulu kala, kalau ada jawara—pendekar-- yang mau meningkatkan kesaktiannya, biasanya ia menempuh suluk berpuasa dengan ritual tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah mengutip Firman Allah Swt dalam salah satu hadis qudsi, Setiap amal kebaikan akan diberi pahala sepuluh sampai 700 kali lipat, kecuali puasa. al-shaumu li wa ana ajzi bihi. Puasa adalah milik-Ku, dan aku pulalah yang akan membalas atas ganjaran puasa tersebut. Ada apa dengan puasa? Bukankah seluruh ibadah adalah milik Allah? Bukankah seluruh amal ibadah seorang hamba juga akan dibalas oleh Allah Swt? Rupanya puasa ini memiliki sifat-sifat dan pesan-pesan ketuhanan yang mendalam. Orang yang berpuasa adalah sedang mencontoh sifat-sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum. Orang yang berpuasa, dan selanjutnya berderma dengan memberi makan kepada mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa juga sedang mencontoh sifat Allah swt. Yakni, Allah yang selalu menyiapkan seluruh kebutuhan hamba-hamba-Nya. Itulah sebabnya, al-Barr--Allah Maha Baik--salah satu asma' al-husna--nama-nama terbaik bagi Allah. Sebagai al-Barr, Allah Swt menyiapkan seluruh yang dibutuhkan semua makhluk-Nya, sementara Allah sendiri tidak menikmatinya. Mungkin inilah salah satu pesan spiritual ayat al-Qur'an yang berbunyi: lan tanalu al-birr hatta tunfiqu mimma tuhibbun...Kalian belum sampai mendapatkan derajat kebajikan, sebelum kalian menafkahkan harta yang sangat engkau cintai. Orang yang lapar akan merasakan betapa sulitnya bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dalam menjalani kehidupan ini. Dengan merasakan lapar, seseorang diharapkan dapat memiliki kepekaan sosial. Di sinilah, hikmah puasa yang di dalamnya mengandung ibadah mahdhah sekaligus ibadah sosial. Mestinya, seseorang yang berpuasa memiliki kecerdasan sosial yang tinggi pula. Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Keutamaan puasa yang lainnya adalah menyehatkan tubuh kita. Ada banyak testimony dan kesaksian tentang keutamaan puasa. Bahkan penelitian dunia kedokteran membuktikan bahwa tikus yang dikurangi makanannya sebanyak 40% memiliki umur yang panjang daripada tikus yang diberikan makanan sesuai dengan kebutuhannya setiap harinya. Hal ini telah diwartakan oleh Rasulullah shalla Allah ‘alaih wa sallama: shumu tashihhu….berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat. Prof H. M. Amin Rais—Mantan Ketua MPR RI-- bercerita tentang seorang ibu yang semula diperkirakan telah berumur kisaran 50an. Si Ibu ini kebetulan duduk bersebelahan di kursi pesawat dengan Pak Amin Rais. Ketika waktu masuk maghrib terdengar sayup-sayup si ibu membaca do'a allahumma laka sumtu wa ‘ala rizqika afthartu, wa bi-ka amantu…dan seterusnya. Pak Amin bertanya, ibu sedang puasa Senin- Kamis? Jawabnya, ya. Sejak kapan ibu melaksanakannya? sejak gadis, jawabnya lagi. Dan saya jarang sakit hingga memasuki umur 65 tahun. si ibu sudah memiliki 5 anak, dan belasan cucu. Pada kesempatan lain, pak Amin Rais kedatangan tamu di PP Muhammadiyah di Jakarta. Waktu itu, hari rabu. Ketika tiba waktu makan siang, Pak Amin mengajak tamu tadi yang kebetulan juga seorang Kyai. pak Kyai menjawab bahwa beliau sedang berpuasa. Pak Amin heran. Puasa Dawud? Ya, jawabnya dengan sangat rendah hati. Sejak kapan, tanya Pak Amin lagi. Sejak zaman penjajahan Jepang. Dapat dibayangkan betapa teguhnya sang Kyai yang mendawamkan puasa Dawud selama puluhan tahun. Hari ini puasa, besoknya berbuka, demikian seterusnya. Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Puasa adalah ibadah yang sangat sarat dengan pesan-pesan sosial. Selanjutnya, orang yang sedang berpuasa juga sangat dianjurkan untuk berderma, mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah. Orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk memberi buka puasa. Berpuasa juga dimaksudkan untuk membentuk karakter dan pribadi yang jujur. Orang yang berpuasa adalah pribadi yang jujur. sebab, seseorang berbuka atau berpuasa hanya dirinya dan Tuhan yang tahu bahwa yang bersangkutan sedang menunaikan ibadah puasa. Seseorang boleh saja kelihatan loyo dan lemas, padahal sesungguhnya yang bersangkutan tidak sedang menjalankan puasa. Sebaliknya,ada orang tampak lincah, gesit dan segar, padahal yang bersangkutan sedang menunaikan puasa ramadhan. Allah akbar 3x Allah akbar wa li Allah al-hamd. Orang yang sedang menunaikan ibadah puasa, do’a-do’a yang dipanjatkannya akan diijabah oleh Allah Swt. Hanya saja do’a itu bisa menjadi penghapus dosa, atau ditangguhkan pada waktu yang tepat, atau do’a itu sebagai penolak bala’, atau sangat boleh jadi do’a seseorang nanti dibalas di akhirat kelak. Sebagai seorang muslim, senantiasa harus husn al-zann—berbaik sangka—kepada Allah Swt. Nabi Musa a.s berdo’a selama 40 tahun untuk menumbangkan tirani dan kekejaman Fir’aun di Mesir. Nabi Zakariya a.s berdo’a hampir 60 tahun untuk mendapatkan keturunan, dan pada usia 80 tahun beliau baru dikaruniai seorang puteri, yakni Maryam a.s. Hal yang sama juga terjadi pada diri Nabi Ibrahim a.s, justeru di usia senja beliau baru dikaruniai dua putera, yaitu Ismail dan Ishaq. Bahkan ketika mendapatkan “bocoran” informasi dari langit bahwa Beliau akan mendapatkan keturunan, Nabi Ibrahim dan Siti Sarah “tertawa” lirih. Mungkin beliau “membatin akankah di usia senja akan mendapatkan keturunan? Do’a memang bukan lampu aladin. Selama ini, kalau kita berdo’a, maunya kita langsung diijabah oleh Tuhan. Jama’ah ‘idul fitri yang dimuliakan Allah Swt Ada kisah seorang raja yang lalim, dan seorang shaleh. Keduanya mengalami sakit yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan pula. Untuk sang raja zalim, Tabib, dokter berpendapat bahwa obat satu-satunya adalah ikan tertentu yang kebetulan tidak muncul di laut pada saat ini. Jadi, untuk sembuh sangat tipis harapan. Lalu, raja berdo’a agar diberi kesembuhan. Tuhanpun mengerahkan para malaikat agar menggiring sekelompok ikan yang dibutuhkan untuk keperluan pengobatan. Singkatnya, sembuhlah sang raja lalim. Sebaliknya, orang shaleh pada saat lain juga mengalami sakit yang sama. Bedanya, si Shaleh pada saat itu, ikan yang dibutuhkan lagi musim. Sehingga, tabib tidak akan mengalami kesulitan untuk mencari ikan di laut. Berdo’alah si shaleh agar diberi kesembuhan. Apa yang terjadi? Ketika tabib mencari ikan pengobatan di laut, Tuhan memerintahkan para malaikatnya agar menggiring ikan-ikan tersebut untuk bersembunyi di dasar laut. Maka, ikan pengobatanpun tidak ditemukan. Akhirnya, si shaleh meninggal. Lalu, pertanyaannya kemudian, mengapa Tuhan member kesembuhan kepada sang raja yang tiranik, sementara kepada hamba yang shaleh tidak? Rupanya Tuhan punya rencana lain. Semua orang, siapa pun dia pasti pernah berbuat kebaikan termasuk si raja zalim tadi. Tuhan menerima do’anya karena perbuatan baiknya selama di dunia. Tuhan cepat membalasnya di dunia, sehingga di akhirat dia sudah tidak menagih balasan amal kebajikannya. Sebaliknya, sebaik-baik seseorang pastilah ia pernah berbuat dosa, kecuali para nabi dan rasul karena mereka maksum. Demikian pula halnya dengan si shaleh tadi pastilah ia pernah berbuat dosa. Sehingga, do’a kesembuhan yang dia minta tidak dikabulkan karena untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga di akhirat kelak, ia menuju jalan yang lempang masuk surga. Oleh karena itu, kita harus tetap husn al-zann, berbaik sangka kepada Allah Swt apapun yang menimpa kita. Berdo’a memiliki adab dan etika tersendiri. Ada pendapat bahwa do’a yang diijabah adalah do’a yang abstrak dan tidak detail serta tidak terkesan mendikte Tuhan. Kita tentu biasa mendengar lafaz-lafaz do’a yang dimunajahkan di kantor-kantor. Si pembaca do’a –mungkin juga seorang pejabat--seakan-akan sedang “mendikte” Tuhan karena disangkanya sedang “memerintahkan sesuatu” kepada bawahannya. Marilah kita perhatikan do’a para Nabi dan rasul berikut. Nabi Ibrahim ketika sakit hanya berucap, wa iza maridhtu fa-huwa yasyfini—…dan apabila aku sakit, maka Dialah (Tuhan) yang menyembuhkanku. Nabi Ayyub ketika ditimpa sakit yang menahun, beliau bermunajat: Sakit telah menimpaku, Dikaulah Tuhan yang paling pengasih. Nabi Ayyub tidak mengeluh, dan apalagi mengalamatkan “sesuatu’ kepada Tuhan. Nabi Yunus a.s ketika ditelan ikan, dan menyadari kesalahan serta kehinaan atas dirinya, beliau berucap: La Ilaha illa Anta, subhanaka inny kuntu min al-zalimin:…Tiada Tuhan selain Dikau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri (Q.S. al-Anbiya’: 87). Nabi Adam a.s berucap, Q.S. al-A’raf:23, Rabbana zhalamna anfusana wa in-lam taghfir lana la-nakunanna min al-khasirin:… Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengasihani kami, maka kami pastilah termasuk orang-orang yang merugi. A’idin wa al-‘A’idat rahimakumu Allah Pada bulan suci Ramadhan, Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama sangat gemar bersedeqah melebihi hari-hari di luar Ramadhan. Berderma atau sedekah memiliki banyak keutamaan. Diantaranya, sedekah dapat menolak bala’ atau musibah yang akan menimpa kita, dapat menyembuhkan penyakit yang menahun, dapat memperpanjang umur, dan dapat menyuburkan harta yang disedekahkan. Dalam kaitan ini, Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama bersabda, “Takutlah kalian kepada api neraka, walaupun sebiji kurma. Kalau kalian tidak menemukannya, maka cukuplah dengan perkataan yang baik.” (ittaqu al-nar wa law bi-shiqqi tam-rin, fa-in lam tajidu fa-kalimat-un tayyibat-un). Hadis riwayat Imam al-Bukary, Imam Muslim dan Imam Ahmad ibn Hanbal bersumber dari ‘Ady ibn Hatim (seorang sahabat). Bahkan ada dosa yang hanya akan diampuni oleh Allah Swt. hanya dengan bersedekah. Seperti orang yang telah men-zihar istrinya, maka ia harus membayar kaffaratdengan memberi makan 60 orang miskin. (Q.S al-Mujadilah(58): 4). Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Hadis-hadis Nabi saw. yang lain yang menganjurkan bersedekah antara lain: a. hadis bersumber dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: inna al-sadaqat la-tamna’u maitat al-su’i, wa innaha la-taqa’u fi> yad Alla>h qabl an-taqa’a fi> yad al-sa>’il (sesungguhnya sedekah itu pasti mencegah orang yang bersedekah itu dari mati dalam keadaan buruk. Sesungguhnya, sedekah itu akan tiba di tangan Allah sebelum tiba di tangan si penerima (sedekah). Yang dimaksud maitat al-su>’i (mati dalam keadaan buruk) adalah seperti mati tenggelam, terbakar, dimakan binatang buas, dan lain-lain. Sedang sedekah itu lebih dulu tiba di tangan Allah, karena orang yang bersedekah berniat ikhlas hanya kepada Allah semata. Lihat Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam, Kita>b al-Amwa>l, (Beirut: Dar al-Fikri, 1408 H./1988 M), hlm. 438. b. Hadis lain berbunyi, dari Abu Hurairah, Nabi pernah ditanya, ayyu al-sadaqat afdal? Fa-qa>la, al-sadaqat ‘ala dhy> al-rahim al-ka>shih} (Sedekah yang bagaimana yang paling utama?. Jawab Nabi, sedekah kepada keluarga dekat (yang menyembunyikan permusuhan dengan kita). Sebab, dengan sedekah semoga mereka dapat padam rasa permusuhannya kepada kita. c. Dari Salman ibn ‘Amir al-Dhabby, Nabi shalla Allah 'alaih wasallama bersabda: al-sadaqat ‘ala> al-miski>n s}adaqat-un, wa hiya ‘ala> dhy> al-rah}im thinta>ni, s}adaqat-un wa s}ilat-un. (Sedekah kepada orang miskin adalah sebagai sedekah (saja). Sedang sedekah kepada keluarga dekat memiliki makna dua, yakni sebagai sedekah dan silaturahim. d. Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata: al-s}adaqat maghnam-un, wa tarkuha> maghram-un (sedekah adalah investasi yang pelakunya akan beruntung, dan bagi yang meninggalkannya adalah kerugian besar). e. Dari Abdullah, Nabi bersabda: man aqa>ma al-s}ala>t wa lam yu’addi al-zaka>t fa-la> s}ala>t lahu> (Barang siapa yang mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat, maka hilanglah pahala shalatnya). (Lihat ibid., hlm. 443). Jadi, bersedekah bukan hanya memiliki nilai pahala yang tinggi di sisi Tuhan, tetapi dapat menjadikan hubungan yang baik dengan keluarga dekat atau siapa saja yang diberi sedekah. Bahkan, sedekah itu sendiri akan berdampak sangat positif bagi orang yang gemar melaksanakannya. Terlebih lagi, sedekah itu bukan berarti harta yang disedekahkan berkurang, melainkan bertambah keberkahannya. Bersedekah juga bukan hanya dimaknai sebagai ibadah, melainkan harus dipahami sebagai ajaran yang menganjurkan kepada umatnya untuk bekerja keras agar dapat memberi sesuatu yang bernilai dan bermakna bagi sesamanya. Oleh sebab itu, orang yang tidak bekerja keras atau bermalas-malasan tentu sangat sulit untuk mendapatkan harta yang berkecukupan untuk diri dan keluargannya. Sehingga, ia tentu sulit untuk bersedekah. Jama’ah ‘idul fitri yang dimuliakan Allah Swt Tidak ada Lebaran tanpa mudik, sebagaimana tidak ada Ramadhan tanpa tarawih. (Andre Moller, Ramadhan di Jawa, 2005) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mudik bermakna (1) berlayar, pergi ke udik (hulu sungai atau pedalaman). Ada yang berpendapat bahwa mudik berasal dari kata udik, bahasa Betawi yang berarti kampung. (2) cak—bahasa Madura—pulang ke kampung halaman; seperti pada ungkapan: Seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. (3) memudik; berlayar mudik; tiga buah perahu nelayan berlayar memudik sungai; (4) memudikkan; menjalankan perahu ke arah hulu; seperti pada ungkapan: Para nelayan itu memudikkan perahunya ke daerah pedalaman. (5) pemudik, orang yang pulang ke kampung halaman. Sesungguhnya Idul Fitri adalah idul shagir, perayaan kecil dalam Islam. Justeru Idul Adhha yang merupakan idul kabir, perayaan besar. Tapi tidak demikian di Indonesia. Yang terjadi justeru sebaliknya. Idul Fitri merupakan “puncak pengalaman hidup sosial keagamaan rakyat Indonesia”, demikian pandangan cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Nurcholish Madjid. Itulah sebabnya, sehingga krisis moneter, atau apapun namanya tidak mampu menghambat mobilitas massa umat Islam kembali ke kampung halaman. Heboh mudik lebaran. Sepertinya hanya di Indonesia yang memiliki tradisi mudik dan mobilitas massa kota ke desa demikian masifnya. Di belahan dunia muslim lainnya seperti Mesir, Maroko tidak semeriah Indonesia. Di Maroko, Arab Saudi, justeru pada perayaan Idul Qurban-lah demikian semaraknya. Bahkan di Maroko terkadang terlihat pemandangan yang unik, yakni mobil-mobil mewah mengangkut hewan-hewan kurban, kambing dan domba. Orang kayanya tidak peduli dengan mobil mewahnya yang penting mereka dapat segera menyembelih hewan kurban kepada yang lebih berhak menerimanya. Pejabat pemerintah, wirausaha, maasyarakat biasa atau siapa pun dia, maka dengan senang hati mengangkut hewan kurban dengan cara mereka masing-masing. Strata sosial dan perbedaan lainnya tidak terlihat di kala perayaan Idul Qurban. Heboh mudik lebaran ada banyak dikisahkan. Bahkan Elie Mulyadi menceritakan pengalaman mudik dan rindu kampung halaman dalam buku yang ditulisnya dengan judul: Ramadhan di Musim Gugur, 2009. Buku ini menceritakan kisah-kisah seru, lucu, dan inspiratif sekitar mudik lebaran. Ada kisah pekerja kebun sawit yang sudah bertahun-tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Ketika mereka sudah memiliki cukup uang untuk pulang, merekapun bersepakat untuk mudik lebaran. Ada di antara mereka yang tak tahan dengan penderitaan yang melilit selama di rantau orang, sehingga ia memutuskan untuk membeli pakaian baru, baju baru, celana baru, kacamata baru. Parlente, kesannya. Ada juga yang tetap berpenampilan biasa-biasa saja agar tidak terlalu menyolok. Karuan saja, Paijo dan Jupri yang necis itu kehilangan koper pakaian dan berisi uang titipan kawannya dalam perjalanan kapal laut menuju Tanjung Priok. Jupri juga kehilangan dompet ketika naik metro mini dari Tanjung Priok menuju kampungnya. Hanya yang berpakaian lusuh yang selamat dari copet. Demikian seterusnya. Ada juga kisah Mbak Nurmala yang mudik ke Garut, tak tahunya ketemu jodoh dengan anak seorang Kyai di Bandung. Ada juga kisah inspiratif seorang dokter (bidan) yang dilanda rindu pulang ke Padang setelah sekian lama tidak pulang kampung. Malam lebaran matanya tidak bisa tidur. Begitu rasa kantuk menderanya ternyata, seorang tukang becak mengetuk pintu kliniknya dengan kerasnya. Dan ternyata si tukang becak membawa Mini isterinya yang sudah mengerang kesakitan. Tolong bu dokter, pintanya. Rupanya ia hendak melahirkan, dan sudah pintu tujuh. Sebentar lagi Mbak Mini akan melahirkan. Setelah diperiksa dan istirahat sebentar, sang dokter membantunya untuk melahirkan. Dan Alhamdulillah, ia dan bayinya selamat. Dan Mbak Mini melahirkan bayi laki-laki. Sehat, dan ganteng. Tidak lama kemudian, si tukang becak, dan juga suaminya itu, dengan tersipu-sipu malu merogoh kantongnya, seraya berucap: ma’af bu dokter, hanya ini uang saya. Selembar uang dua puluh ribu rupiah. Bu dokter berpikir sejenak. Uang dua puluh ribu rupiah tentu sangat tidak mencukupi untuk ongkos mudik ke Padang, pikirnya. Segera ia mengambil uang dua puluh ribu rupiah tersebut, dan memasukkannya di amplop. Lalu amplop tersebut ditambahkannya dengan uang seratus ribu rupiah, dan menyerahkannya kepada si tukang becak, sambil berucap: ini hadiah lebaran untuk si kecil!. Allah akbar, Allah akbar. Maha besar Allah yang telah mengatur segalanya sehingga saya masih bisa menolong kelahiran baru bagi si kecil tadi. Ini adalah sebuah keajaiban. Demikian kisah-kisah menarik mudik lebaran. Ada kisah sukses. Ada kisah inspiratif. Ada kisah lucu. Ada kisah pilu tentunya. Mudik sebagai pengejewantahan eksistensi diri. Sukses di rantau. Mereka akan berbagi cerita di kampung. Baik mereka yang sukses, atau mereka yang belum eksis juga tetap memiliki kerinduan akan kampung halaman. Ada masa-masa indah di kampung. Ada kearifan di sana. Tentu pemandangan kampung sangat berbeda dengan kota metropolis seperti Jakarta. Jakarta yang bising, hiruk-pikuk, penuh godaan. Kejamnya ibu tiri lebih kejam ibukota Jakarta. Sebaliknya, di desa, hidup sederhana, apa adanya, jujur, udara bersih, sawah ladang, air bersih, muka berseri-seri. Penduduknya hidup dengan tulus, bertutur kata yang sopan. Tutur katanya selaras dengan perangainya. Berbeda dengan orang kota yang hidup penuh dengan intrik. Sehingga kita sulit membedakan mana kawan, mana lawan. Hari ini sahabat, besok musuh bebuyutan. Demikian seterusnya. Ada juga yang berpendapat, bahwa dengan tradisi mudik sangat berdampak pada distribusi dan pemerataan hasil pembangunan. Selama ini sekitar 70% uang hanya beredar di Jakarta. Dengan mudik, uang dapat merata ke seantero nusantara. Sebab, para pemudik biasanya pulang kampung dengan buah tangan, mereka pulang tentu bukan dengan sepuluh jari. Tangan kosong. Mereka biasanya membawa ole-ole, baju baru, kacamata baru, hand phone baru, dan mungkin juga membawa makanan ringan khas daerah tempat rantau. Pendek kata, para pemudik telah melakukan distribusi keuangan secara merata. Hasil-hasil pembangunan juga dirasakan oleh banyak orang. Dan sangat boleh jadi, para pemudik yang sukses akan membawa handai taulan, sanak family yang tertarik bertarung hidup di kota-kota metropolis. Atau setidaknya bagi para tetangga di kampung dapat menjadi spirit untuk masa depan mereka. Mereka para pemudik itu tentu akan berbagi cerita sukses atau kisah-kisah inspiratif lainnya. Suasana lebaran, betul-betul mereka manfaatkan untuk berbagi dengan sanak keluarga di kampung. Dan dengan melihat penampilan mereka yang kece-kece dengan segala pernik-pernik dan asesoris yang melengket pada dirinya, mungkin juga dengan hand phone dengan aneka merek juga cukup menaruh perhatian bagi orang kampung. Mungkin juga dengan merek kendaraan yang mereka bawah. Entah itu milik sendiri, atau masih kendaraan dinas, atau mobil rental. Yang dulunya, sang pemudik itu, jangankan mobil mewah sepeda ontelpun mungkin sulit dimilikinya. Tentu dengan pemandangan demikian akan memberi pandangan lain bagi masyarakat kampung yang terbiasa dengan hidup dengan kesederhanaan, kebersahajaan. Entah itu positif, atau justeru sebaliknya. Tradisi mudik pasca lebaran Idul Fitri juga terjadi di Turki, China-muslim. Mereka juga memiliki kebiasaan ziarah ke makam para leluhur. Seperti halnya di Jawa ada tradisi “nyekar”. Menjelang memasuki bulan Ramadhan, orang Jawa pulang kampung untuk ziarah ke makam orang tua. Atau bagi mereka yang masih meiliki orang tua, mereka berkunjung dan menyatakan berbakti kepada kedua orang tuanya. Jadi, dalil syar’i secara eksplisit, tradisi mudik tidak ada. Tetapi substansi mudik yaitu birr al-walidain, berbakti kepada kedua orang tua dapat ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S. al-Isra’(17): ayat 23-24): (23) Tuhanmu telah memutuskan, janganlah menyembah yang selain Ia. Berbuatlah baik kepada ibu bapakmu—jika salah seorang dari keduanya, atau keduanya mencapai usia tua padamu. Janganlah katakana kepada mereka, “Cis!” dan janganlah bentak mereka, Tapi berkatalah dengan kata-kata yang hormat kepada mereka. (24) Rendahkanlah hati terhadap keduanya karena kasih. Dan katakanlah, “Tuhanku! Kasisilah mereka (dengan kasih) Sebagaimana mereka mendidik aku semasa kecil. Berbakti kepada kedua orang tua inilah yang sangat penting. Ada banyak orang sukses karena senantiasa memelihara dan memupuk birr al-walidain. Sebaliknya, ada banyak orang sukses yang “terjatuh”, bahkan bangkrut, biasanya karena sudah melupakan “asal-muasalnya. Mereka sudah melupakan jasa-jasa orang yang telah berbuat baik kepadanya. Puasa ramadhan mengajarkan untuk meningkatkan silaturahim dengan sesama, handai tolan, sahabat karib, dan terutama kedua orang tua. Pada suatu hari, seorang pemuda menghadap kepada rasulullah Saw perihal ayahnya yang sering mencuri uangnya. Nabi berkata: tolong panggilkan ayahmu kemari. Datanglah pemuda tadi dengan ayahnya. Nabi bertanya, apa betul anda telah mengambil uang putramu. Jawab sang ayah, ya rasul: silahkan Tanya kepadanya, saya apakan uangnya, apakah saya berikan bibinya atau saya makan sendiri. Tanya Nabi, saya tidak mau membahas hal ini. Tapi, tolong sampaikan sesuatu yang terbersit dalam hatimu yang berbeda dengan ucapanmu tadi. Sang ayah membaca sebuah gubahan syair/ puisi yang telah dipersiapkannya untuk si buah hati ang tidak tahu diri, dan tidak tahu balas budi baik orang tuanya. Saat engkau lahir, aku memberimu makan Saat engkau beranjak besar, aku selalu setia menjagamu Engkau diberi minum atas jerih payahku Jika engkau sakit, di malam hari, mataku tak terpejam Aku tidak bisa tidur karena memikirkan sakitmu Hingga tubuhku limbung, sebab kantuk yang menyerang Seolah akulah yang sakit, bukan engkau Wahai anakku, aku meneteskan air mata, Jangan sampai engkau meninggal Padahal aku tahu bahwa ajal manusia telah ditakdirkan Saat engkau beranjak dewasa, saat di mana telah pantas aku menggantungkan Hidupku padamu. Kau balas kebaikan diriku dengan kekerasan demi kekerasan Seakan engkau adalah satu-satunya pemberi kebaikan kepadaku Andai saja, ketika itu aku tidak dapat melaksanakan kewajibanku sebagai ayah Kau perlakukan aku, tak ubahnya sebagai seorang yang hidup bertetangga. Setelah selesai membaca gubahan syair tersebut, rasulullah saw menghardik anak tadi dengan sabdanya: anta wa maluka li-abika ( engkau dan hartamu adalah milik ayahmu, Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadirin yang berbahagia, bagi yang masih memiliki orang tua, maka muliakanlah mereka, berikanlah pelayanan dan service yang prima kepada mereka, dengarkan keluhan dan harapan-harapannya. Jika ada kekeliruan, maka bersegeralah meminta dan memohon ridhonya. Bagi yang kedua orang tuanya, telah meninggal, maka mohonkanlah ampun dan do’a kepada keduanya, carilah sahabat karib kedua orang tua kita, mintalah nasehat dari kerabat orang tua kita, jalinlah silaturahim dengan mereka. Penuhi dna lanjutkan cita-cita kedua orang tua kita yang belum sempat diwujudkannya selama beliau masih hidup. Jama’ah Idul Fitri yang dirahmati Allah Mudik, kembali ke asal-muasal. Mudik memiliki makna spiritual yang lebih mendalam lagi. Sesungguhnya mudik itu bisa dimaknai sebagai proses perjalanan ke asal. Mudik mengingatkan kita, bahwa siapa pun kita, dan sudah seberapa jauh kita melangkah, dan sudah berapa benua yang telah kita jajaki, pasti pada akhirnya kita akan kembali ke asal. Itulah makna Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan suatu waktu nanti pasti akan kembali kehadirat-Nya. Suatu malam, A’isyah—isteri terkasih Nabi-- menghidupkan lampu (lilin). Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan memadamkan lampu (lilin) tersebut. Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama langsung berucap: Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. A’isyah bertanya, bukankah kalimat tersebut hanya diucapkan pada saat ada yang kematian? Api tadinya dari tiada, kembali kepada tiada, jawab Nabi. Semoga tradisi mudik lebaran dapat memberi penyadaran baru kepada kita bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk kembali kepada Yang Abadi. Semoga Allah Swt tetap menuntun kita menjadi hamba yang selalu kembali ke jalan-Nya, dan menuai kehidupan sorgawi. Wa ja’alana wa iyyakum minal a’idin wa al-fa’izin. Taqabbal ya kariem. Marilah kita saling mema’afkan kesalahan dan kekhilafan masa lalu. Marilah kita membuka lembaran baru dalam kehidupan kita di dunia yang fana ini. Marilah kita menyongsong fajar kehidupan yang baru dengan kebeningan hati terbebas dari dosa dan noda. Amin. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Senin, 13 Agustus 2012

Lapar

Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama menasehati salah seorang isterinya agar mengetuk pintu surga setiap harinya. Isterinya lalu bertanya, dengan apa? Dengan lapar, sabda Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama. Demikianlah ternyata lapar memiliki kekuatan dahsyat. Mungkin itulah sebabnya, sehingga puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat istimewa. Konon, pada masa dahulu kala, kalau ada jawara yang mau meningkatkan kesaktiannya, biasanya ia menempuh dengan berpuasa dengan ritual tertentu. Firman Allah dalam salah satu hadis qudsi, al-shaumu li wa ana ajzi bihi. Puasa adalah milik-Ku, dan aku pulalah yang akan membalas atas ganjaran puasa tersebut. Ada apa dengan puasa? Bukankah seluruh ibadah addalah milik Allah? Bukankah seluruh amal ibadah seorang hamba juga dibalas oleh Allah swt? Rupanya puasa ini memiliki sifat-sifat dan pesan-pesan ketuhanan yang mendalam. orang yang berpuasa adalah sedang mencontoh sifat-sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum. Orang yang berpuasa, dan selanjutnya berderma dengan memberi makan kepada mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa juga sedang mencontoh sifat Allah swt. Yakni, Allah yang selalu menyiapkan seluruh kebutuhan hamba-hamba-Nya. Itulah sebabnya, al-Barr--Allah Maha Baik--salah satu asma' al-husna--nama-nama terbaik bagi Allah. sebagai al-Barr, Allah swt menyiapkan seluruh yang dibutuhkan semua makhluk-Nya, sementara Allah sendiri tidak menikmatinya. Mungkin inilah salah satu pesan spiritual ayat al-Qur'an yang berbunyi: lan tanalu al-birr hatta tunfiqu mimma tuhibbun...Kalian belum mendapatkan derajat kebajikan, sebelum kalian menafkahkan harta yang sangat engkau cintai... Orang yang lapar akan merasakan betapa sulitnya bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dalam menjalani kehidupan ini. dengan lapar diharapkan,seseorang memiliki kepekaan sosial. Di sinilah, hikmah puasa yang di dalamnya mengandung ibadah mahdhah sekaligus ibadah sosial. Mestinya, seseorang yang berpuasa memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Wa Allah a'lam.

Kebaikan

Dalam buku The Power of Nice dikisahkan tentang seorang satpam sebuah perusahaan yang setiap paginya selalu menyebarkan energi positif. Frank namanya. Frank selalu melempar senyum kepada siapa pun yang bertamu di perusahaan tempatnya bekerja. Suatu pagi, seseorang yang tidak dikenal datang dan mau bertemu dengan pemimpin puncak perusahaan tempat Frank bekerja. Seperti biasanya, Frank melayaninya dengan baik, menanyakan kabar orang tersebut dengan penuh ketulusan. Pikir sang tamu, betapa hebatnya perusahaan ini yang memiliki pegawai yang demikian baik. Dari pertemuan singkat tersebut, sang tamu sangat terkesan dengan kebaikan dan energi positif Frank. Dan rupanya sang tamu adalah wakil Bank U.S.A yanG akan memberikan proyek raksasa kepada perusahaan tempat Frank. Wal hasil, proyek prestisius itupun diberikan kepada perusahaan tempat Frank bekerja. Demikianlah, kebaikan dan energiositif itu sangat besar pengaruhnya bagi keberlangsungan hidup sebuah perusahaan. Demikian pula halnya dengan keberlangsungan hidup ini. Allah SWT berfirman dalam AL.Qur'an, Surah AL.Zalzalah: ....fa man ya'mal mithqal zarrat-im khairan yarah. Wa man ya'mal mithqal zarratin syarran yarah. Batang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarrah, maka pasti Ia akan melihat dan merasakan ganjaran pahalanya. Sebaliknya, barang siapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarrah, maka Ia pun akan merasakan ganjaran dosanya itu. Sesungguhnya, tugas pimpinan adalah menyebarkan energi positif dalam lingkup kepemimpinannya. Apabila seorang pimpinan baik, dan murah senyum serta tulus, maka perusahaan atau kantor yang dipimpinnya lambat laun akan melejit. Demikian pula sebaliknya. Pilihan seorang pemimpin adalah apakah Ia mau sebagai Good bos atau bad bos. Bos yang baik dan dikenang, atau Ia memilih sebagai bos yang bermuka masam dan kecut. Wa Allah a'lam.

Minggu, 12 Agustus 2012

Mudik Lebaran

Tidak ada Lebaran tanpa mudik, sebagaimana tidak ada Ramadhan tanpa tarawih. (Andre Moller) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mudik bermakna (1) berlayar, pergi ke udik (hulu sungai atau pedalaman). Ada yang berpendapat bahwa mudik berasal dari kata udik, bahasa Betawi yang berarti kampung. (2) cak—bahasa Madura—pulang ke kampung halaman; seperti pada ungkapan: Seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. (3) memudik; berlayar mudik; tiga buah perahu nelayan berlayar memudik sungai; (4) memudikkan; menjalankan perahu ke arah hulu; seperti pada ungkapan: Para nelayan itu memudikkan perahunya ke daerah pedalaman. (5) pemudik, orang yang pulang ke kampung halaman. Sesungguhnya Idul Fitri adalah idul shagir, perayaan kecil dalam Islam. Justeru Idul Adhha yang merupakan idul kabir, perayaan besar. Tapi tidak demikian di Indonesia. Yang terjadi justeru sebaliknya. Idul Fitri merupakan “puncak pengalaman hidup sosial keagamaan rakyat Indonesia”, demikian pandangan cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Nurcholish Madjid. Itulah sebabnya, sehingga krisis moneter, atau apapun namanya tidak mampu menghambat mobilitas massa umat Islam kembali ke kampung halaman. Tidak ada lebaran tanpa mudik, sebagaimana tidak ada Ramadhan tanpa tarawih. Demikian pendapat Andre Moller dalam karyanya: Ramdan di jawa, 2005, h. 258. Heboh mudik lebaran. Sepertinya hanya di Indonesia yang memiliki tradisi mudik dan mobilitas massa kota ke desa demikian masifnya. Di belahan dunia muslim lainnya seperti Mesir, Maroko tidak semeriah Indonesia. Di Maroko, Arab Saudi, justeru pada perayaan Idul Qurban-lah demikian semaraknya. Bahkan di Maroko terkadang terlihat pemandangan yang unik, yakni mobil-mobil mewah mengangkut hewan-hewan kurban, kambing dan domba. Orang kayanya tidak peduli dengan mobil mewahnya yang penting mereka dapat segera menyembelih hewan kurban kepada yang lebih berhak menerimanya. Pejabat pemerintah, wirausaha, maasyarakat biasa atau siapa pun dia, maka dengan senang hati mengangkut hewan kurban dengan cara mereka masing-masing. Strata sosial dan perbedaan lainnya tidak terlihat di kala perayaan Idul Qurban. Heboh mudik lebaran ada banyak dikisahkan. Bahkan Elie Mulyadi menceritakan pengalaman mudik dan rindu kampung halaman dalam buku yang ditulisnya dengan judul: Ramadhan di Musim Gugur, 2009. Buku ini menceritakan kisah-kisah seru, lucu, dan inspiratif sekitar mudik lebaran. Ada kisah pekerja kebun sawit yang sudah bertahun-tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Ketika mereka sudah memiliki cukup uang untuk pulang, merekapun bersepakat untuk mudik lebaran. Ada di antara mereka yang tak tahan dengan penderitaan yang melilit selama di rantau orang, sehingga ia memutuskan untuk membeli pakaian baru, baju baru, celana baru, kacamata baru. Parlente, kesannya. Ada juga yang tetap berpenampilan biasa-biasa saja agar tidak terlalu menyolok. Karuan saja, Paijo dan Jupri yang necis itu kehilangan koper pakaian dan berisi uang titipan kawannya dalam perjalanan kapal laut menuju Tanjung Priok. Jupri juga kehilangan dompet ketika naik metro mini dari Tanjung Priok menuju kampungnya. Hanya yang berpakaian lusuh yang selamat dari copet. Demikian seterusnya. Ada juga kisah Mbak Nurmala yang mudik ke Garut, tak tahunya ketemu jodoh dengan anak seorang Kyai di Bandung. Ada juga kisah inspiratif seorang dokter (bidan) yang dilanda rindu pulang ke Padang setelah sekian lama tidak pulang kampung. Malam lebaran matanya tidak bisa tidur. Begitu rasa kantuk menderanya ternyata, seorang tukang becak mengetuk pintu kliniknya dengan kerasnya. Dan ternyata si tukang becak membawa Mini isterinya yang sudah mengerang kesakitan. Tolong bu dokter, pintanya. Rupanya ia hendak melahirkan, dan sudah pintu tujuh. Sebentar lagi Mbak Mini akan melahirkan. Setelah diperiksa dan istirahat sebentar, sang dokter membantunya untuk melahirkan. Dan Alhamdulillah, ia dan bayinya selamat. Dan Mbak Mini melahirkan bayi laki-laki. Sehat, dan ganteng. Tidak lama kemudian, si tukang becak, dan juga suaminya itu, dengan tersipu-sipu malu merogoh kantongnya, seraya berucap: ma’af bu dokter, hanya ini uang saya. Selembar uang dua puluh ribu rupiah. Bu dokter berpikir sejenak. Uang dua puluh ribu rupiah tentu sangat tidak mencukupi untuk ongkos mudik ke Padang, pikirnya. Segera ia mengambil uang dua puluh ribu rupiah tersebut, dan memasukkannya di amplop. Lalu amplop tersebut ditambahkannya dengan uang seratus ribu rupiah, dan menyerahkannya kepada si tukang becak, sambil berucap: ini hadiah lebaran untuk si kecil!. Allah akbar, Allah akbar. Maha besar Allah yang telah mengatur segalanya sehingga saya masih bisa menolong kelahiran baru bagi si kecil tadi. Ini adalah sebuah keajaiban. Demikian kisah-kisah menarik mudik lebaran. Ada kisah sukses. Ada kisah inspiratif. Ada kisah lucu. Ada kisah pilu tentunya. Mudik sebagai pengejewantahan eksistensi diri. Sukses di rantau. Mereka akan berbagi cerita di kampung. Baik mereka yang sukses, atau mereka yang belum eksis juga tetap memiliki kerinduan akan kampung halaman. Ada masa-masa indah di kampung. Ada kearifan di sana. Tentu pemandangan kampung sangat berbeda dengan kota metropolis seperti Jakarta. Jakarta yang bising, hiruk-pikuk, penuh godaan. Kejamnya ibu tiri lebih kejam ibukota Jakarta. Sebaliknya, di desa, hidup sederhana, apa adanya, jujur, udara bersih, sawah ladang, air bersih, muka berseri-seri. Penduduknya hidup dengan tulus, bertutur kata yang sopan. Tutur katanya selaras dengan perangainya. Berbeda dengan orang kota yang hidup penuh dengan intrik. Sehingga kita sulit membedakan mana kawan, mana lawan. Hari ini sahabat, besok musuh bebuyutan. Demikian seterusnya. Ada juga yang berpendapat, bahwa dengan tradisi mudik sangat berdampak pada distribusi dan pemerataan hasil pembangunan. Selama ini sekitar 70% uang hanya beredar di Jakarta. Dengan mudik, uang dapat merata ke seantero nusantara. Sebab, para pemudik biasanya pulang kampung dengan buah tangan, mereka pulang tentu bukan dengan sepuluh jari. Tangan kosong. Mereka biasanya membawa ole-ole, baju baru, kacamata baru, hand phone baru, dan mungkin juga membawa makanan ringan khas daerah tempat rantau. Pendek kata, para pemudik telah melakukan distribusi keuangan secara merata. Hasil-hasil pembangunan juga dirasakan oleh banyak orang. Dan sangat boleh jadi, para pemudik yang sukses akan membawa handai taulan, sanak family yang tertarik bertarung hidup di kota-kota metropolis. Atau setidaknya bagi para tetangga di kampung dapat menjadi spirit untuk masa depan mereka. Mereka para pemudik itu tentu akan berbagi cerita sukses atau kisah-kisah inspiratif lainnya. Suasana lebaran, betul-betul mereka manfaatkan untuk berbagi dengan sanak keluarga di kampung. Dan dengan melihat penampilan mereka yang kece-kece dengan segala pernik-pernik dan asesoris yang melengket pada dirinya, mungkin juga dengan hand phone dengan aneka merek juga cukup menaruh perhatian bagi orang kampung. Mungkin juga dengan merek kendaraan yang mereka bawah. Entah itu milik sendiri, atau masih kendaraan dinas, atau mobil rental. Yang dulunya, sang pemudik itu, jangankan mobil mewah sepeda ontelpun mungkin sulit dimilikinya. Tentu dengan pemandangan demikian akan memberi pandangan lain bagi masyarakat kampung yang terbiasa dengan hidup dengan kesederhanaan, kebersahajaan. Entah itu positif, atau justeru sebaliknya. Tradisi mudik pasca lebaran Idul Fitri juga terjadi di Turki, China-muslim. Mereka juga memiliki kebiasaan ziarah ke makam para leluhur. Seperti halnya di Jawa ada tradisi “nyekar”. Menjelang memasuki bulan Ramadhan, orang Jawa pulang kampung untuk ziarah ke makam orang tua. Atau bagi mereka yang masih meiliki orang tua, mereka berkunjung dan menyatakan berbakti kepada kedua orang tuanya. Jadi, dalil syar’i secara eksplisit, tradisi mudik tidak ada. Tetapi substansi mudik yaitu birr al-walidain, berbakti kepada kedua orang tua dapat ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S. al-Isra’(17): ayat 23-24): (23) Tuhanmu telah memutuskan, janganlah menyembah yang selain Ia. Berbuatlah baik kepada ibu bapakmu—jika salah seorang dari keduanya, atau keduanya mencapai usia tua padamu. Janganlah katakana kepada mereka, “Cis!” dan janganlah bentak mereka, Tapi berkatalah dengan kata-kata yang hormat kepada mereka. (24) Rendahkanlah hati terhadap keduanya karena kasih. Dan katakanlah, “Tuhanku! Kasisilah mereka (dengan kasih) Sebagaimana mereka mendidik aku semasa kecil. Berbakti kepada kedua orang tua inilah yang sangat penting. Ada banyak orang sukses karena senantiasa memelihara dan memupuk birr al-walidain. Sebaliknya, ada banyak orang sukses yang “terjatuh”, bahkan bangkrut, biasanya karena sudah melupakan “asal-muasalnya. Mereka sudah melupakan jasa-jasa orang yang telah berbuat baik kepadanya. Mudik, kembali ke asal-muasal. Mudik memiliki makna spiritual yang lebih mendalam lagi. Sesungguhnya mudik itu bisa dimaknai sebagai proses perjalanan ke asal. Mudik mengingatkan kita, bahwa siapa pun kita, dan sudah seberapa jauh kita melangkah, dan sudah berapa benua yang telah kita jajaki, pasti pada akhirnya kita akan kembali ke asal. Itulah makna Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan suatu waktu nanti pasti akan kembali kehadirat-Nya. Suatu malam, A’isyah—isteri terkasih Nabi-- menghidupkan lampu (lilin). Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan memadamkan lampu (lilin) tersebut. Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama langsung berucap: Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. A’isyah bertanya, bukankah kalimat tersebut hanya diucapkan pada saat ada yang kematian? Api tadinya dari tiada, kembali kepada tiada, jawab Nabi. Semoga tradisi mudik lebaran dapat memberi penyadaran baru kepada kita bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk kembali kepada Yang Abadi. Semoga Allah Swt tetap menuntun kita menjadi hamba yang selalu kembali ke jalan-Nya, dan menuai kehidupan sorgawi. Wa ja’alana wa iyyakum minal a’idin wa al-fa’izin. Taqabbal ya kariem. Wa Allah a’lam.

Katakan Tidak!

William Ury menulis buku dengan judul The Power of Positive No. Sebelumnya, Ury bersama Roger Fisher menulis buku dengan judul Getting to Yes. Buku ini memuat teknik bernegosiasi menuju kesepakatan tanpa memaksakan kehendak. Buku ini merekompendasikan bahwa semua pertikaian dan konflik pasti dapat diselesaikan. Mencapai kesepakatan tanpa mengorbankan kepentingan dan posisi kita. Win-win solution. Bahkan kitapun bisa berunding dengan teroris. Sedang pada buku the Power of Positive No justeru mengajak kita untuk mengatakan TIDAK dengan santun, tanpa menyinggung perasaan orang lain atau lawan bicara kita. Kita dapat menolak sesuatu dengan cara positif. Buku ini ditulisnya sebagian karena dilatari oleh pengalaman pahit dalam pengobatan puterinya yang mengalami kelainan padaunggungnya sejak kecil. Ia melihat bahwa dari puluhan kali konsultasi dan tujuh kali operasi untuk puterinya, Ury ,engalami semacam penolakan terhadap kemauan dokter. Atau penolakan terhadap kalimat ketus yang dilontarkan dokternya itu. tapi, Ia tentu pada posisi sangat sulit untuk mengatakan TIDAK. Buku ini dahsyat dan sangat penting terutam seni mengatakan Tidak di meja kerja, di rumah, atau dimanapun kita berada. Buku ini menuntun kita untuk bertindak secara positif, pada situasi dan posisi apa pun kita.

Imam AL.Jahiz

Nama lengkap imam AL.Jahiz ialah Abu Usman Amr ibn Bahri ibn Mahbub AL.Kinani. beliau lahir pada tahun 159 H di Basrah dan wafat pada tahun 255 H. Beliau berumur 93 tahun. Konon, beliau wafat karena tertimpa buku-bukuny di perpustakaan miliknya. Beliau pada kecilnya hanyalah seorang penjual ikan. Dan waktu-waktu senggangnya dimanfaatkannya untuk ke mesjid dan bergabung dengan para pelajar yang menekuni ilmu pada waktu itu. Beliau dikenal sangat cinta ilmu. Pata tahun 204 H, Ia pindah ke kota Baghdad yang metropolis itu. Dari sinilah beliau semakin berkembang pengetahuannya dalam berbagai ilmu yang digelutinya. AL.Jahiz sangat terkenal dengan kitab AL.Hayawan yang ditulisnya. Kitab ini terdiri dari delapan jilid yang memuat perilaku binatang. Dengan kitab ini, AL.Jahiz dijuluki sebagai zoolog muslim. Pakar tentang kehidupan binatang. Bahkan pada jilid kedua kitabnya, AL.Jahiz menulis khusus mengenai sifat-sifat baik anjing. Kitab lain yang ditulisnya adalah kitab AL.Bukhala', yang memuat kisah orang-orang pelit. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Misers. Kitab ini memuat kisah seputar kebakhilan AL.Kindy. AL.Kindy terkenal pelitnya. Jika seseorang datang bertamu ke rumahnya dan sudah melewati batas-batas normal sebagai tamu, tiga hari, maka pada hari keempatnya, AL.Kindy menghitungnya sebagai orang yang menyewa kamarnya. biasanya dikenakan harga 40 dirham perharinya. AL.Kindy juga kalau sedang ,enjamu tamunya, secepatnya mengambil tusuk gigi. Hal ini dilakukannya agar tamunya segera selesai makan hidangan yang disiapkan sang tuan rumah. Dalam kitab ini dikisahkan juga kebakhilan Mu'awiyah ibn Abu Sufyan. Suatu waktu, Ia menjamu seseorang di tengah berlangsungnya peperangan. Orang tersebut tidak dikenalnya dari suku dan keluarga mana. Ketika, tamu tak dikenal itu makan hidangan yang disuguhkan oleh Mu'awiyah, sang khalifah memelototinya. Sampai-sampai sang tamu tersinggung. Mu'awiyah meminta sang tamu agar mengambil sehelai rambut dari makanannya. Sebegitu detailnya Mu'awiyah memperhatikan makanan yang dihidangkannya.demikian seterusnya.

Rabu, 08 Agustus 2012

Nikmatnya Berbuka

Bagi orang yang puasa terdapat dua kegembiraan. Kegembiraan ketika dia berbuka, dan ketika bertemu dengan Tuhannya. Berbuka ada momen yang sangat penting bagi orang yang menunaikan puasa ramadhan. Ada masa masa indah ketika berbuka bersama dengan keluarga di rumah atau dengan teman kantor. Atau sangat boleh jadi berbuka dirangkaikan dengan kerukunan keluarga suku atau daerah tertentu. Atau organisasi tertentu. Atau alumni sekolah atau perguruan tinggi tertentu. Ada kenangan tersendiri dalam berbagi kisah dan cerita. Suasana berbuka bagi keluarga yang super sibuk tentu memiliki makna tersendiri. Halmana dalam kehodupan di hari hari biasa mereka jarang bertemu dengan keluarga, justeru waktu sahur dan berbuka merupakan momentum yang memiliki makna yang dalam. Keluarga sakinah. Puasa ramadhan dapat meningkatkan kohesi antar keluarga. Ada lagi ta'jil yang disponsori oleh perusahaan tertentu sambil promosi produk produknya, mereka juga menyampaikan pesan pesan religius. Seperti Ta'jil: indahnya berbagi.

Selasa, 07 Agustus 2012

....Meskipun Satu Ayat

Dalam suasana Ramadhan, dan bahkan di luar ramadhan para muballig biasanya mensetir hadis Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama yang berbunyi:...ballighu 'anni wa lau ayat-an...sampaikanlah apa yang kalian dapatkan dari-ku, meskipun satu ayat. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary. Hadis ini biasanya hanya dikutip demikian. Padahal, hadis tersebut sesungguhnya memiliki kalimat lanjutan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Ismail ibn Kasir al-Dimasyqy dalam kitabnya: al-Bidayah wa al-Nihayah.hadis dari 'Amr ibn al-'Ash: ballighu 'anni wa lau ayat-an, wa haddithu 'an bany Isra'il wa la haraj. wa haddithu 'anni wa la taktzibu 'alayya, wa man kazaba 'alayya muta'ammidan, fal-yabawwa' maq'adahu min al-nar. Sabda Nabi lagi, dan sampaikanlah berita tentang Bani Isra'il, dan sampaikanlah berita dariku, tapi jangan sekali-kali kalian berbuat dusta kepada-ku (atau atas namaku). Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka sesungguhnya ia telah menyiapkan tempatnya di neraka. Maksudnya, seseorang yang hendak menyampaikan pesan-pesan agama mestinya belajar dulu dengan baik baru menyampaikannya kepada umat. Itulah sebabnya, sehingga sekarang ini sering kita melihat ustaz atau muballigh lewat layar TV yang menyampaikan pesan-pesan agama yang terkesan sangat dangkal. Seperti, suatu waktu saya mendengarkan ustaz yang sudah kondang yang menggambarkan siksaan neraka seperti cerita Karma dan Sholeh. Padahal, hakikat siksa neraka itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt. Demikian pula halnya dengan kenikmatan surga sebagaimana sabda Nabi shalla Allah alih wa sallama: ma la 'ain-un ra'at wa la uzhun-un sami'at, wa la khathara 'ala qalbi basyar-in...kenikmatan surgawi adalah belum pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbayangkan oleh hati dan pikiran manusia. Mestinya para muballigh atau siapapun kita sebelum menyampaikan pesan-pesan suci agama harus dibarengi dengan pengetahuan yang memadai. Agar umat lebih menikmati "hidangan" petunjuk agama. Agar umat ini tidak salah paham yang akan menyeret mereka kedalam paham salah. Dan akhirnya mereka akan tersesat. Kita mengharapkan dengan maraknya dakwah, umat semakin cerdas. Wa Allah a'lam.

Jumat, 03 Agustus 2012

Layla Majnun

Layla Majnun adalah kisah cinta yang sangat melegenda dari Arab yang muncul pada awal Islam. Meskipun ada yang berlendapat bahwa kisahnya hanyalah fiktif belaka. demikian pandangan Dr Thaha Husain. ada juga yang berpendapat bahwa merupakan suatu fakta nyata yang dialami oleh Qais ibn al.Mulawwah dengan sepupunya yang bernama Layla.

Islamisasi di Jawa

Prof Recklefs baru saja meluncurkan buku dengan judul:Islamization and its opponents in Jawa c. 1930 to the present. Buku ini menarik karena menguak sejarah islamisasi di jawa sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Recklefs menegaskan bahwa polarisasi santri-abangan sudah berlangsung sejak zaman Belanda, pendudukan Jepang. Pada masa rezim Soeharto malah ada kebatinan. Hal lain yang menarik adalah bahwa pendirian IAIN dan Stain sebagai upaya untuk melahirkan Islamist Intellegentsia, cendekiawan muslim. Sedang LIPIA didirikan untuk menghadang pemikiran liberal islam. Adapun munculnya isu terorisme hanyalah merupakan pheriferial issue. Isu terorisme hanyalah isu pinggiran, dan bukan mainstriming. Walhasil, islamisasi di Jawa sangat sarat dengan mistisisme Jawa. Buku ini, saya belum baca tuntas. Tentu ada banyak tesis yang masih perlu pendalaman. wa Allah a'lam.

Rabu, 01 Agustus 2012

PRT

Pembantu rumah tangga. Kalau zaman Belanda dulu biasa disebut babu. Sebutan babu memang sangat merendahkan dan menyakitkan. Sekarang PRT masih saja ada, bahkan Indonesia adalah negara yang cukup besar menyumbang jumlah PRT ke negara-negara Arab yang biasa disebut TKW (Tenaga Kerja Wanita). Oleh karena mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan biasanya juga dengan keterampilan yang pas-pasan, maka mereka menjadi PRT. Mereka tidak menjadi pekerja profesional dan bergerak di bidang jasa, seperti kasir pada bank-bank tertentu, pada mall-mall, atau perawat, dll. Biasanya mereka mengerjakan pekerjaan yang domestik, cuci piring, baby sitter, dll. Fenomena ini berbeda dengan TKW asal Filipina yang biasanya keterampilan dan penguasaan bahasa Inngris yang memadai sehingga mereka bisa bekerja di bidang jasa. Di samping itu, TKW asal Filipina biasa mendapatkan bayaran yang lebih tinggi. Suatu waktu, saya berkunjung ke Mesir. Ketika ke bandara menuju pulang ke Indonesia, saya sudah check-in. Tiba-tiba seorang ibu separoh baya mendekati saya dan minta pertolongan agar dipulangkan ke KBRI Indonesia di Mesir. Saya tanya, mengapa ibu masih mau bekerja di Mesir? Apa daya tariknya di negeri Mesir yang gersang dan penuh debu ini? Lalu dia menjawab sekenanya, bahwa meskipun saya bekerja susah payah, dan terkadang bekerja 19 jam perharinya, tapi saya mendapat upah sekitar 2 juta pertahun. Saya harus membiayai empat orang putera saya. Mereka harus sekolah agar kelak dapat hidup layak. Saya bertanya lagi, apakah ibu masih punya suami? Ya, jawabnya. Suaminya ke mana dan sedang bekerja apa? Suami saya sudah lama lumpuh, pak! Konon, suaminya lumpuh karena kena guna-guna (semacam santet). Si ibu tadi bercerita lagi, bahwa sebenarnya kalau ada perlindungan dari KBRI, saya akan mencari pekerjaan dan majikan yang baik hati. Sebab, kalau saya pulang, maka saya akan menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi keluarga saya di kampung. Siibu tadi, masih bersikeras untuk balik lagi ke Mesir. Menurut ceritanya, ia sering mendapat perlindungan dari mahasiswa Indonesia jika ia mendapatkan perlakuan yang kasar dari sang majikan. Mahasiswa Indonesia di Mesir memiliki kepedulian kepada para TKW kita itu. Si ibu tadi, sudah memiliki pengalaman 7 tahun di Saudi Arabiyah. Kepulangannya ke Indonesia waktu itu, sesungguhnya hanya ingin mengganti majikan baru. Sebab, ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan majikannya yang sekarang ini. Saya berusaha mengontak kawan-kawan Mesir dan KBRI agar dapat membantu si Ibu tadi. tapi jawaban dari pihak KBRI, si ibu tadi lebih baik balik ke Indonesia. Sebab, nanti bermasalah di Mesir. Singkat cerita, waktu boarding sudah dekat, saya pun mengajak ibu tadi agar naik pesawat saja. Siapa tahu kepulangannya itu ada hikmahnya. Sebab, tiket dan boarding-pass juga sudah di tangan. Dan ibu itupun menurut saja. Demikian, sekelumit kisah suka-duka TKW kita di tanah seberang. Sudah barang tentu ada banyak kisah pilu dan penderitaan mereka di rantau orang. Kisah PRT di Indonesia lain lagi. Ada cerita dari organisasi