Gallery

Jumat, 31 Agustus 2012

Kang Jalal: "The Bridge"

Kang Jalal—K.H. Jalaluddin Rakhmat—bagi saya sebagai “The Bridge” ( Jembatan umat). Saya terinspirasi oleh tulisan David Remnik, The Bridge, The Life and Rise of Barack Obama, 2010. Buku ini ditulis untuk menggambarkan Obama secara utuh berdasarkan wawancara mendalam dari teman, keluarga, mentor, kenalaln dan orang yang mengenal Barack Obama. Saya berharap pada kesempatan ini kita dapat menjadikan momentum peringatan ulang tahun Kang Jalal yang ke 63—sudah mencapai umur Nabi Muhammad shalla Allah ‘alaih wa alih wa sallama. sebagai peristiwa penting untuk “memosisikan” Kang Jalal sebagai “The Bridge”. Sesungguhnya Kang Jalal tidak membuthkan lagi lembaga yang diharapkan akan “membesarkan” dirinya. Sebab, Kang Jalal sudah melampaui atau lebih besar dari lembaga atau organisasi tertentu yang “dilekatkan” pada diri beliau. Saya ingat Prof. Dr. Baharuddin Lopa—sang pendekar hukum itu—ketika dilamar oleh organisasi politik tertentu. Ada yang berkomentar bahwa Pak Lopa tidak membutuhkan lembaga politik tersebut dan mestinya beliau tidak menerima pinangan untuk bergabung dalam organisasi politik tersebut. Bukankah nama beliau sudah lebih besar dari organisasi politik itu? Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah Kang Jalal harus melepaskan semua baju kebesaran yang telah terlanjur “dilekatkan” pada beliau. Seperti tokoh Mata Hari dalam novel Namaku Mata Hari karya Remy Silado yang sebelum eksekusi mati, ia meminta agar ia harus “telanjang” . Ia ingin menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa beban peradaban Barat yang dinilainya “gelap”, yang hedonistik dan penuh intrik-intrik politik impreliasme. Kang Jalal adalah seorang cendekiawan muslim yang multitalenta. Ia seorang pakar komunikasi yang handal. Ia menulis buku kecil tapi berdampak besar dengan judul: Retorika Modern. Buku ini dibaca oleh jutaan orang, dan tentu sudah memberi banyak manfaat terutama para muballig pemula atau politisi atau birokrat dalam menyampaikan pidato yang baik dan berkesan. Kang Jalal juga menulis tentang bidang yang luas terutama kajian keislaman seperti tafsir, hadis, fiqh, sejarah Islam (tarikh), tasawuf, psikologi, dll. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya beliau antara lain sebagai berikut: 1. Psikologi Komunikasi (1985) 2. Islam Alternatif (1986). 3. Islam Aktual, Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, 1991. 4. Retorika Moderen (1992) 5. Renungan-Renungan Sufistik, Mizan, 1994. 6. Catatan Kang Jalal (1997). 7. Reformasi Sufistik (1998). 8. Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998). 9. Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999). 10. Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999). 11. Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, Rosda, 1999. 12. Rindu Rasul, Bandung, Rosda, 2001. 13. Dahulukan Akhlaq di atas fikih, Bandung, Mizan, 2002. 14. Psikologi Agama (2003) 15. Meraih Kebahagiaan (2004), 16. Khotbah-Khotbah di Amerika 17. Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005). 18. Islam dan Pluralisme, Akhlaq Al-quran menyikapi perbedaan, Jakarta, Serambi, 2006.. 19. Memaknai Kematian, 2006. 20. The Road to Allah, Bandung, Mizan, 2008. 21. Al-Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan). Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008. Pada Tanggal 23 Agustus 2012 sms Mbak Nike Jalal masuk di hand phone saya. Saya membaca sms tersebut yang intinya meminta saya untuk memberi komentar terhadap pemikiran "syi'ah" K.H. Jalaluddin Rakhmat yang sekaligus untuk memperingati hari ulang tahun beliau pada tanggal 29 Agustus 2012. Saya merenung sebentar, dan dalam hati bertanya-tanya: mengapa mesti saya yang diminta? Bukankah di republik ini ada banyak pakar yang mumpuni dan lebih representatif untuk mengomentari atau bahkan membedah pikiran-pikiran “Syi’ah”Kang Jalal. Setelah itu, baru saya mengiyakannya. Saya pikir, berdialog dan perdebatan ilmiyah tentu sesuatu yang sangat menggairahkan dan sekaligus ingin berguru dan mempertajam analisis. Dengan bersentuhan dengan unsur lain tentu akan dapat memberi manfaat. Setidaknya, dari dialog tersebut, saya dapat "menakar" belantika pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Kang Jalal memang identik dengan syi'ah. Persentuhan saya dengan pemikiran Kang Jalal dimulai sejak saya masih mahasiswa, awal tahun 1990-an. Kala itu, Kang Jalal mempublikasikan pemikirannya tentang Islam Aktual. Buku ini langsung saja mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Ada yang positif, tapi tidak sedikit yang negatif bahkan mengajukan "hujatan". pada tahun 1995, ketika saya sebagai Ketua Senat Fakultas Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang, saya menggelar seminar nasional dengan tema: “Rekonsiliasi Sunnah-Syi'ah”. Pada waktu itu, panitia sudah berupaya untuk meminta Prof. H. M. Syuhudi Ismail sebagai salah seorang nara sumber pembanding. Akan tetapi beliau tidak bersedia. Komentar yang kami dengar adalah Prof Syuhudi tidak setuju dengan tema seminar tersebut karena tidak mungkin "mendamaikan" sunnah-syi'ah. Sunnah-Syi'ah adalah produk sejarah "berdarah-darah" umat Islam. Kemudian, Kang Jalal adalah seorang orator ulung yang tidak mudah untuk "ditaklukkan". Seminar tersebut berjalan lancar dan pesertanya membludak, sekitar seribuan orang. Bahkan banyak peserta seminar rela untuk berdiri yang penting ikut seminar. Hasil-hasil seminar dengan wawancara khusus Kang Jalal dipublikasikan oleh Jurnal Ulumul Qur'an asuhan Prof. Dawam Rahardjo. Hari ini kita melaksanakan kegiatan dialog yang bertemakan kurang-lebih sama dengan 17 tahun yang lalu. Bahkan dengan suasana “hangat” secara nasional jika dikaitkan dengan “bentrok sunni-syi’ah di Sampang, Madura. Pertanyaannya, adakah kemajuan dialog yang kita sedang gagas ini? Apakah tema dialog, cara berdialog, isu-isu yang diusung sudah ada kemajuan? Atau sama saja? Kalau demikian, benarlah Ali A. Allawi dalam bukunya: The Crisis of Islamic Civilization (2009). Ali Allawi menegaskan akan rendahnya kontribusi umat Islam bagi percaturan dunia sekarang ini, baik dari segi ekonomi, politik, dll. Oleh karenanya, kita berharap bahwa dialog ini lebih akademik dan mengedepankan nalar. Kita sudah harus mengakhiri dialog yang tidak cerdas. Apalagi diskusi yang sudah mengarah pada saling mengkafirkan antara sesama muslim. Bukankah pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa alih wa sallama setiap orang yang telah menyatakan syahadat sudah masuk dalam komunitas muslim. Sekarang justeru sebaliknya. Ada banyak orang yang sudah puluhan tahun shalat, puasa, zakat, dan haji pula hanya karena perbedaan paham, mereka diklaim sebagai "bukan golongan muslim yang selamat". Bagi saya, Kang Jalal diharapkan sebagai "The Bridge", jembatan emas dialog sunnah-syi'ah. Dulu, kang Jalal biasa ditanya, apakah beliau seorang sunni atau syi'ah? Biasanya beliau menjawab diplomatis: saya adalah ahlussunnah wa al-syi'ah. Saya adalah penganut sunni dan syi'ah sekaligus. Saya tidak tahu, apakah Kang Jalal sekarang sudah berubah menjadi seorang syi'ah yang sangat mengerti sunni. Atau seorang sunni yang dapat memahami syi'ah. Atau Kang Jalal, tidak dapat dikategorikan dari kedua-duanya. Karena Kang Jalal telah “melampaui” sunnah-syi’ah. Saya teringat, pernah membaca majalah berbahasa Arab. Di dalamnya ada dialog Salman al-Farisi dengan sahabat lainnya yang sedang membangga-banggakan keturunan dan buyut mereka. Sampai ada pertanyaan yang menohok dan menyinggung perasaan Salman al-Farisi. Ibnu man anta? Ente anak siapa? Salman menjawab: ana ibnu al-Islam. Saya adalah “putera Islam”. Saya menduga dan berharap: K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah "min abna’ al-Islam". Memang masih banyak hal yang bisa didialogkan antara sunnah-syi'ah. Umpamanya saja, masih ada buku-buku terbitan Iran yang masih "menyudutkan" sahabat tertentu, bahkan sampai pada A'isyah ummahat al-mukminin. Dr Najah al-Thai' dalam kitabnya: al-Sirah al-Nabawiyah yang sangat tebal, 12 jilid itu masih menulis sesuatu yang kurang pas bagi sahabat Abu Bakar, A'isyah, Umar ibn al-Khattab, dll. Bahkan Najah al-Thai menulis khusus mengenai A'isyah, 2 jilid. Tentu buku seperti ini akan kurang pas bagi kalangan sunni. Di sinilah arti pentingnya "dialog" yang setara. Dalam dialog, berbeda itu biasa. Hanya saja, biasanya karena berbeda, maka biasa menjadi meruncing dan ujung-ujugnya "berselisih". Memang harus dibedakan antara ikhtilaf yang bermakna perbedaan, dengan al-khilaf yang berarti berselisih. Mungkin juga harus dibedakan antara berdialog dengan berdebat kusir atau bertengkar. Ada etika sendiri. Kita biasanya belum cakap dalam membedakan antara mengkritik dengan menghujat. Yang dilarang oleh Nabi shalla Allah ‘alaih wa alih wa sallama adalah ….la tasubbu ashhabi….jangalah kalian mencaci-maki sahabatku…Mencaci-maki tentu berbeda dengan mengkritik. Sebab, di kalangan sahabat sendiri biasa saling mengkritik. Seperti Abu Hurairah mengkritik A’isyah yang dianggap kurang mengerti suatu perkara karena hanya cakap berdandan di depan cermin. Hal ini sebagaimana laporan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat al-Kubra-nya. Semoga kita dapat berdialog yang setara agar kebenaran dan cahaya Islam menyinari kehidupan kita. Untuk maju, kita harus memiliki "jiwa yang kaya" akan perbedaan. Kita memang hidup di tengah pluralitas, ras, agama, dan suku serta budaya. Kembali kepada sunnah-syi'ah tadi, yang perlu digagas adalah al-taqrib bain al-mazahib", upaya rekonsiliasi berbagai mazhab yang ada. Bukan dengan memicu perbedaan yang ada. Hidup harmoni ibarat melodi yang setiap petikan, getaran nadanya berbeda-beda. Ada nada rendah, nada sedang, dan nada tinggi. Apabila disinergikan semuanya, maka akan terdengar suara indah nan elok. Walhasil, semoga Kang Jalal dianugerahi umur panjang. Semoga hidup beliau semakin berkah. Ada sebuah hadis Nabi yang maknanya, bahwa orang yang dikaruniai umur 40 tahun berarti yang bersangkutan fisiknya kuat. Kalau seseorang sudah berumur 60 tahun ke atas, maka urusannya dimudahkan Allah Swt dan semakin diberkahi. Amin. In uridu illa al-ishlah ma istatha’tu. Wa ma taufiqi illa billah. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar: