Gallery

Kamis, 23 Agustus 2012

Kang Jalal

Tanggal 23 Agustus 2012 sebuah sms masuk di hand phone saya. Saya membaca sms tersebut yang intinya meminta saya untuk memberi komentar terhadap pemikiran "syi'ah" K.H. Jalaluddin Rakhmat--yang lebih populer dengan Kang Jalal--. Saya merenung sebentar, dan dalam hati bertanya-tanya: mengapa mesti saya yang diminta? Bukankah di republik ini ada banyak pakar yang mumpuni dan lebih representatif untuk mengomentari atau bahkan membedah pikiran-pikiran keislaman Kang Jalal. Setelah itu, baru saya mengiyakannya. Saya pikir, berdialog dan perdebatan ilmiyah tentu sesuatu yang sangat menggairahkan dan sekaligus ingin berguru dan mempertajam analisis. Dengan bersentuhan dengan unsur lain tentu akan dapat memberi manfaat. Setidaknya, dari dialog tersebut, saya dapat "menakar" belantika pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Kang Jalal memang identik dengan syi'ah. Persentuhan saya dengan pemikiran Kang Jalal dimulai sejak saya masih mahasiswa, awal tahun 1990-an. Kala itu, Kang Jalal mempublikasikan pemikirannya tentang Islam Aktual. Buku ini langsung saja mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Ada yang positif, tapi tidak sedikit yang negatif bahkan mengajukan "hujatan". pada tahun 1995, ketika saya sebagai Ketua Senat Fakultas Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang, saya menggelar seminar nasional dengan tema: Dialog Sunnah-Syi'ah. Pada waktu itu, panitia sudah berupaya untuk meminta Prof. H. M. Syuhudi Ismail sebagai salah seorang nara sumber pembanding. Akan tetapi beliau tidak bersedia. Komentar yang kami dengar adalah Prof Syuhudi tidak setuju dengan tema seminar tersebut karena tidak mungkin "mendamaikan" sunnah-syi'ah. Sunnah-Syi'ah adalah produk sejarah "berdarah-darah" umat Islam. Kemudian, Kang Jalal adalah seorang orator ulung yang sulit untuk "ditaklukkan". Seminar tersebut berlangsung hidmat dan pesertanya sangat membludak, sekitar seribuan orang. Bahkan peserta seminar rela untuk berdiri yang penting ikut seminar. Seminar berjalan lancar. Hasil-hasil seminar dengan wawancara khusus Kang Jalal dipublikasikan oleh Jurnal Ulumul Qur'an asuhan Prof. Dawam Rahardjo. Hari ini kita melaksanakan kegiatan dialog yang bertemakan kurang-lebig sama dengan 17 tahun yang lalu. Pertanyaannya, adakah kemajuan dialog yang kita sedang gagas ini? Apakah tema dialog, cara berdialog, isu-isu yang diusung sudah ada kemajuan? Atau sama saja? Kalau demikian, benarlah Ali A. Allawi dalam bukunya: The Crisis of Islamic Civilization (2009). Oleh karenya, kita berharap bahwa dialog ini lebih akademik dan mengedepankan nalar. Kita sudah harus mengakhiri dialog yang tidak cerdas. apalagi saling mengkafirkan antara sesama muslim. Bukankah pada masa Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama setiap orang yang telah menyatakan syahadat sudah masuk dalam komunitas muslim. Sekarang justeru sebaliknya. Ada banyak orang yang sudah puluhan tahun shalat, puasa, zakat, dan haji pula hanya karen perbedaan paham, mereka diklaim sebagai "bukan golongan muslim yang selamat". Bagi saya, Kang Jalal diharapkan sebagai "The Bridge", jembatan emas dialog sunnah-syi'ah. Dulu, kang Jalal biasa ditanya, apakah beliau seorang sunni atau syi'ah? Biasanya beliau menjawab diplomatis: saya adalah ahlussunnah wa al-syi'ah. Saya adalah penganut sunni dan syi'ah sekaligus. Saya tidak tahu, apakah Kang Jalal sekarang sudah berubah menjadi seorang syi'ah yang dapat mengerti sunni. Atau seorang sunni yang dapat memahami syi'ah. Atau Kang Jalal, tidak dapat dikategorikan dari kedua-duanya. Saya teringat, pernah membaca majalah berbahasa Arab. Di dalamnya ada dialog Salman al-Farisi dengan sahabat lainnya yang sedang membangga-banggakan keturunan dan buyut mereka. Sampai ada pertanyaan yang menohok dan menyinggung perasaan Salman al-Farisi. Ibnu man anta? Ente anak siapa? Salman menjawab: ana ibnu al-Islam. Saya adalah anak Islam. Saya menduga dan berharap: K.H. Jalaluddin Rakhmat adalah "Ibnu al-Islam", anak Islam. Beliau bukan sunnah dan bukan pula syi'ah. Memang masih banyak hal yang bisa didialogkan antara sunnah-syi'ah. Umpamanya saja, masih ada buku-buku terbitan Iran yang masih "menyudutkan" sahabat tertentu, bahkan sampai pada A'isyah ummahat al-mukminin. Dr Najah al-Thai' dalam kitabnya: al-Sirah al-Nabawiyah yang sangat tebal, 12 jilid itu masih menulis sesuatu yang kurang pas bagi sahabat Abu Bakar, A'isyah, Umar ibn al-Khattab, dll. Bahkan Najah al-Thai menulis khusus mengenai A'isyah, 2 jilid. Tentu buku seperti ini akan kurang pas bagi kalangan sunni. Di sinilah arti pentingnya "dialog" yang setara. Dalam dialog berbeda itu biasa. Hanya saja, biasanya karena berbeda, maka biasa menjadi meruncing dan ujung-ujugnya "berselisih". Memang harus dibedakan antara ikhtilaf yang bermakna perbedaan, dengan al-khilaf yang berarti berselisih. Mungkin juga harus dibedakan antara berdialog dengan berdebat kusir atau bertengkar. Ada etika sendiri. Kita biasanya belum cakap dalam membedakan antara mengkritik dengan menghujat. Biasanya dalam prakteknya sama saja. Semoga kita dapat berdialog yang setara agar kebenaran dan cahaya Islam menyinari kehidupan kita. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: