Gallery

Jumat, 21 Agustus 2020

Life Free or Die

Life Free or Die adalah judul film dokumenter National Geographic. Film dokumenter ini memotret kehidupan liar Colbert, Thorn, Derik, Tony dan Amelia. Mereka ini memilih menempuh hidup yang sangat ekstrim dan liar. Colbert memiliki tantangannya dengan mencari kayu dari reruntuhan rumahnya yang hancur dihajar banjir. Ia membangun rumah di atas rawa yang menantang. Derik bergelut dengan pemenuhan kebutuhan air bersih di pegunungan Rocky. Thorn hidup sendirian di tengah hutan tempat beruang berkeliaran. Ia membuat rumah yang aman binatang liar. Dan bahkan menyimpan makanan yang aman dari serangan beruang. Tony dan Amelia bergulat dengan mulsa agar kediamannya aman dari longsor. Mulsa adalah tanaman budidaya untuk menjaga kelembaban tanah. Dan membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Contohnya alang-alang, jerami atau cacahan batang dan daun dari tanaman jenis rumputan lainnya. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan hidup mereka. Hidup itu sesungguhnya bisa dijalani dengan cara yang sangat sederhana. Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern. Mereka menempuh hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sesungguhnya mereka menentang konsumerisme kehidupan modern yang telah merusak dan mengeksploitasi alam. Beberapa pernyataan Colbert dan Derik dari National Geographic yang dapat menjadi pelajaran bagi kita, sebagai berikut: 1. Dia menua, dia mengandalkan kecerdikan daripada kekuatan, Colbert. 2. Aku membangun rumah pribadiku, laksana surga. Aku bekerja sendirian, memang lebih lambat tetapi lebih bahagia ketika selesai mengerjakannya, Colbert. 3. Kami hidup di masa depan. Kami harus beradaptasi dengan kehidupan modern yang kami alami, Derik. 4. Kita selalu berasumsi bahwa kita ini tidak tua. Padahal, setiap kali kita bangun dari tidur, kita sudah satu hari lebih tua, Golbert. Tony dan Amelia juga menikmati kehidupannya di pegununngan Rocky. Dan mereka berucap:....Ini pekerjaan yang bisa kulakukan dalam sehari. Bagiku, hal terpenting untuk sukses dengan gaya hidup ini adalah kau menyadari bahwa kau menginginkannya. Kau harus berani menghadapi kegagalan. Jika aku gagal, aku merasa percaya diri untuk bangkit....dan aku mencoba kembali melalui banyak percobaan Sampai aku menemukan cara. ( Tony). Dan Amelia melanjutkan percakapan....Kehidupan mandiri yang kami bangun untuk diri kami memberi banyak kebebasan. Sangat memberdayakan saat kami sanggup menyediakan segala kebutuhan kami demi keberlanjutan (sustainability). Perasaan yang menyenangkan. Aku merasa kuat. Di Penghujung film dokumenter National Geographic itu, Colbert setelah menyelesaikan pembangunan rumahnya yang juga terpaksa meminta bantuan dari dua sahabat lamanya, dia berucap:.....Perjalanan ini panjang dan berat..Masih ada banyak pekerjaan yang belum selesai. Tetapi aku telah memiliki sebuah rumah utuh dan tempat yang aman. Aku merasa kaya, karena punya tempat tinggal. Aku punya rumah. Ada kepuasan tertentu dari hidup bebas. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa puas. Saat kau bisa memenuhi kebutuhanmu sendiri. Bagiku, itu adalah intisari hidup.

Kamis, 13 Agustus 2020

Literasi Mitigasi Bencana

Desember kelabu tahun 2004, Banda Aceh dilanda Tsunami yang merenggut nyawa lebih 250-an ribu. Namun ada juga kisah suka, orang yang ditakdirkan lolos dari bencana tsunami. Tersebutlah seseorang yang memiliki pengetahuan mitigasi tsunami. Begitu mengetahui bencana tsunami datang, ia berlari sekencang-kencangnya ke dataran tinggi. Alhamdulillah, ia selamat. Pada tahun 2018, orang yang sama mengalami tsunami di kota Palu. Ia kebetulan berada pada sebuah hotel. Begitu gempa bertubi- tubi melanda kota Palu, penghuni hotel berlarian ke lantai dasar. Dan orang Aceh ini justeru berlari ke lantai atas. Tidak lama kemudian hotel ambruk, dan ia pun selamat. Demikian pentingnya pengetahuan mitigasi bencana alam, gempa bumi dan tsunami sekalipun. Inilah sepotong kisah anak manusia yang selamat dua kali dari bencana tsunami berkat pengetahuannya yang memadai. Penguatan literasi bencana alam sangatlah urgen. Sebab, Indonesia berada pada negara yang rentan bencana alam. Banjir, tsunami, gunung meletus adalah bencana alam yang terjadi berulang-ulang. Manuskrip pun tak luput mencatatnya. Bahkan leluhur kita menulis gejala bencana alam demikian detailnya. Kehadiran buku mitigasi bencana alam berbasis riset manuskrip adalah timely, tepat waktu. Sebab, Indonesia berada pada negara ring of fire, cincin gunung berapi. Itulah sebabnya negara kita dekat dengan bencana alam banjir, letusan gunung berapi, tsunami, dst. Barangkali kita sempat membaca novel yang ditulis J.S Simon, The Eruption of Krakatau. Simon menulis, bahwa pada tahun 1884, letusan pertama gunung Krakatau. Setahun berikutnya, tepatnya tahun 1884 terjadi tsunami besar setinggi 70 meter. Bahkan pasir debu letusan Krakatau menghitamkan langit Eropa. Dahsyatnya letusan Gunung Krakatau itu tertulis apik dalam manuskrip Syair Lampung Karam. Adalah Dr Suryadi, peneliti Indonesia dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda yang berjasa menemukan kembali Syair Lampung Karam ini. Ia menemukan naskah tersebut pada enam negara dan menerbitkannya pada tahun 2009 dengan judul: Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883. Syair Lampung Karam karya Muhammad Shaleh ini terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu, edisi kedua dengan judul: Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut dan edisi ketiga berjudul Syair Negeri Anyer Tenggelam. Syair Lampung Karam ini semacam reportase tragedi Krakatau yang konon menewaskan lebih dari 120 ribu jiwa. Orang Banten yang bermukim pada radius 13 km dari Krakatau semuanya tewas. Mari kita simak potongan Syair Lampung Karam, sebagai berikut: Pulau Sebuku dikata orang, ada seribu lebih dan kurang, orangnya habis nyatalah terang, tiadalah hidup barang seorang.” Ada yang lari nyatalah terang, anak didukung ada di belakang, dipukul air tunggang-langgang, anak dilihat nyawanya hilang.” “Air di situ sahaya khabarkan, naik ke darat bukan buatan, dua belas pal nyatalah, Tuan, dari tepi laut sampai daratan.” Betapa dahsyatnya tsunami dan letusan Krakatau tersebut. Namun ada hal yang sangat menarik dan perlu kita teladani. Bahwa sedahsyat apa pun keadaan mereka, kekacauan dan ketiadaan harapan, tetapi tampak mereka masih sempat menolong sesamanya sambil berlari menyelamatkan diri. Pemandangan seperti ini tentu sangat kontras dengan peristiwa tsunami dan likuivaksi di Palu. Bahwa di tengah-tengah himpitan hidup yang mendera, suasana chaos yang melanda ternyata masih ada segelintir orang yang datang "menjarah" harta orang. Dalam suasana gamang, meskipun bantuan pemerintah dan NGO datang bertubi-tubi, nyatanya Kampus IAIN Datok Karama Palu kehilangan AC, bangku-bangku kuliah, alat tulis menulis, lemari, dan sejumlah peralatan kantor lainnya juga raib. Berselang dua ratus, karakter bangsa kita telah mengalami pergeseran yang drastis. Dulu, tolong menolong, gotong-royong terus mewarnai kehidupan keseharian mereka. Menolong antar sesama adalah sebuah habit yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Sekarang, di era milenium, karakter baik itu sirna sudah. Barangkali itulah hal yang menarik dari hasil riset Susan Pinker, The Village Effect: How Face-to-Face Contact Can Make Us Healthier and Happier. Bahwa ternyata komunikasi langsung secara tulus berdampak menyehatkan dan lebih bahagia. Suasana kontak langsung, senyum yang tulus, membangun silaturahim sebagaimana halnya yang terjadi bagi masyarakat desa dapat memperpanjang umur, lebih sehat dan bahagia. Semoga dengan kehadiran buku Mitigasi Bencana Alam ini dapat memberikan sedikit pencerahan bagi anak- anak bangsa agar mereka kelak menjadi generasi penerus yang berkarakter baik dan kuat. Sedini mungkin, mereka harus mengenal lebih mendalam bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur yang terekam dalam berbagai manuskrip. Nilai-nilai kejujuran, tenggang rasa, gotong-royong, kerja sama, toleransi, saling menghargai, saling menghormati adalah sederetan nilai yang harus "ditanamkan" untuk generasi milenial kita. Semoga Indonesia menjadi negara maju dengan Sumber Daya Manusia yang unggul.

Selasa, 11 Agustus 2020

Pidato Cornelis Lay

Harumkan NTT, Ini Pidato Lengkap Profesor Cornelis Lay Saat Dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM POS-KUPANG.COM | KUPANG - Putra Nusa Tenggara Timur atau NTT, Cornelis Lay, dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (6/2/2019). Sebagai guru besar, ia pun memberikan pidato di hadapan senat. Berikut pidato lengkap Prof Dr Cornelis Lay MA: Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan Universitas Gajah Mada Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah waktu dan kesehatan sehingga hari ini kita bisa berkumpul bersama di ruang yang sangat bersejarah ini: Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Hari ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan tema Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan sebagai pertanggungjawaban ilmiah saya Tema yang tak lekang dimakan waktu; tema yang terus mampu mereproduksi relevansi dan urgensinya untuk dikaji dari generasi ke generasi, bahkan hingga hari ini. Hadirin yang saya muliakan, Izinkan saya mengawali pidato ini dengan membuka kembali secara acak sejumlah pemberitaan media dan catatan lama, ketika nama Universitas Gadjah Mada (UGM) disebut baik dengan rasa takzim dan hormat, maupun sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk mendemonstrasikan dilema yang melekat dalam relasi antara intelektual, kekuasaan, dan politik pengetahuan. Tim peneliti Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan dengan pendanaan Yayasan Tahija berhasil mengembangkan nyamuk Aedes Aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia, satu-satunya penelitian guna mengendalikan penyakit endemik di Indonesia: Demam Berdarah Dengue (Wardani, 2016). Kepala Laboratorium Rekayasa Biomaterial, Fakultas Kehutanan, Ragil Widyorini, menemukan inovasi pengolahan limbah serat kotoran gajah menjadi papan komposit, sebagai alternatif papan komposit pabrikan, yang aman dan ramah lingkungan. Inovasi ini sekaligus diarahkan guna kepentingan konservasi gajah (Kusuma, 2018). Fakultas Peternakan menyelenggarakan sekolah gratis bagi peternak dengan materi perkuliahan di sekitar sapi perah, sapi potong, unggas potong, unggas petelur, ransum ternak berkualitas, penyembelihan halal, kambing dan domba, integrated farming, serta diversifikasi hijauan pakan (Rahayu, 2017). Pada level individual, UGM telah melahirkan sederet intelektual besar, seumpama Prof Mubyarto dengan gagasan Ekonomi Pancasila Prof Kuntowijoyo, pionir pendekatan prophetic science kombinasi ilmu pengetahuan dan agama sebagai pandangan baru dalam melihat dan memahami perubahan sosial dan pembangunan di Indonesia Prof Koesnadi Hardjasoemantri, pendekar lingkungan terkemuka dan pionir gagasan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Prof Sudarsono, penggagas Koperasi Unit Desa (KUD), Prof Masri Singarimbun, pakar antropologi sosial dan ahli kependudukan yang banyak meneliti mengenai Keluarga Berencana Dr Samsu Rizal Panggabean, ahli resolusi konflik yang terlibat jauh dalam rangkaian usaha pembebasan 10 Warga Negara Indonesia yang disandera kelompok separatis Abu Sayyaf pada April - Mei 2016 di Filipina Selatan. Dari generasi awal, UGM memiliki Prof Sardjito, yang tidak hanya seorang intelektual, tetapi juga tokoh pergerakan Boedi Oetomo, pembuat biskuit ransum tentara di masa perang dikenal dengan Biskuit Sardjito. Prof Notonagoro, Bapak Pendidikan Filsafat Pancasila Prof Sartono Kartodirdjo, begawan historiografi yang mentransformasi penyusunan historiografi baru pasca-kemerdekaan dari visi Eropasentrisme yang mendewakan peran Eropa dalam sejarah Indonesia ke Indonesiasentrisme (Nursam, 2008, hal. x). Hanya saja, kisah indah ketika UGM dikenang dengan rasa hormat berjalan bersisian dengan pemberitaan yang bersifat negatif, Jumat, 20 Maret 2015, puluhan petani dan perempuan dari Kabupaten 3 Rembang dan Pati melakukan orasi di depan Gedung Pusat menuntut penyelamatan kelestarian Pegunungan Kendeng dan menolak kehadiran PT Semen Indonesia (Apriando, 2015). Nama UGM juga muncul dalam pusaran kontroversi di sejumlah kasus: sengketa petani Desa Pagilaran, Bismo, Kalisari, Keteleng, dan Gondang di Kecamatan Blado, Batang dengan perkebunan teh PT Pagilaran (Prayitno, 2003), penolakan konversi lahan pertanian menjadi lokasi penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo (Kuntadi, 2012), reklamasi Pantai Utara, Jakarta (Syarif, 2017). Rangkaian peristiwa yang terbagi ke dalam dua bilahan besar di atas tidak saja menggambarkan wajah kontroversial pilihan-pilihan sikap kaum intelektual dalam memproyeksikan disiplin ilmu yang dikaji ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang konkret, tetapi sekaligus menggambarkan kompleksitas dan sifat interlocking di antara kekuasaan, intelektual, dan ilmu pengetahuan yang tidak mudah diurai. Hadirin yang berbahagia, Rangkaian kasus di atas sekaligus merepresentasikan sifat biner pemahaman umum mengenai posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan dan implikasinya pada pilihan jalan intelektual ke kekuasaan. Intelektual di sini didefinisikan sebagai akademisi yang memiliki kemampuan berpikir bebas (Soemardjan, 1976) dan kearifan dalam bertindak, serta aktif dalam proses produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan; dan, karenanya, memiliki reputasi tinggi. Seolah-olah dihadapkan hanya pada dua pilihan jalan yang saling meniadakan. Yaitu pertama, mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya Kedua menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan. Tidak tersedia jalan lain bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan. Soedjatmoko (1980) intelektual, diplomat, dan politikus terkemuka Indonesia.menempatkan dua pilihan di atas sebagai dilema intelektual dalam berelasi dengan kekuasaan. Pembilahan yang paralel dilakukan Dhakidae (2015) yang mengontraskan technical intellegentia dengan humanistic intellectual, meskipun ia memberikan 4 catatan penting bahwa keduanya tidak bisa dibaca hitam-putih. Gramsci (1971) membedakan intelektual ke dalam dua kelompok, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional akan bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka bersikap kritis terhadap status quo penguasa. Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. Hal yang sama terlihat dalam pembilahan Kleden (1987) mengenai relevansi sosial versus relevansi intelektual sebagai dua pilihan dilematis intelektual dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Pembilahan yang bersifat dikotomis di atas membuat kemampuan berpikir bebas sebagai karakter pokok intelektual tidak mendapat ruang ekspresi memadai. Intelektual secara dangkal dinilai hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang secara hampir absolut diwakili negara yang dalam kebanyakan kasus direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah. Mengontrol perangai kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah, dengannya, menjadi satu-satunya pilihan. Pilihan ini, sudah tentu, adalah sahih karena memiliki justifikasi empiris sangat kuat. Sejarah panjang peradaban manusia mendemonstrasikan keganasan tak terbayangkan yang berulang dipamerkan rezim politik di sembarang era; di sembarang peradaban atas nama negara dan keselamatan publik. Namun, obsesi ini juga punya sisi gelap: ia dengan mudah mengantarkan imajinasi publik memberikan penekanan berlebihan pada sentralitas konflik sebagai sifat pokok relasi antara intelektual, ilmu pengetahuan, dan negara. Sifat yang mengawetkan pemisahan ekstrem antara ilmu pengetahuan, intelektual dan negara menutup peluang bagi persinggungan apalagi kolaborasi. Karenanya, tidak mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual dan kekuasaan, dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi sebagai pengkhianatan Pada saat bersamaan, obsesi ini membuat sebagian intelektual kehilangan kepekaan untuk menangkap argumen sekaligus peringatan Russell (1938, hal.10) bahwa kekuasaan yang merupakan konsep fundamental dalam ilmu sosial, sebagaimana energi menjadi fundamental dalam ilmu fisika memiliki raut beragam. Kekuasaan bisa memanifestasikan diri ke dalam wajah yang berbeda-beda (Lukes, 1974), tidak sebatas pengorganisasian dalam bentuk negara atau rezim/pemerintah; dan bahkan tidak memiliki wajah sama sekali (Hayward, 2000) meski tidak bisa menyembunyikan naluri dasarnya, meminjam perkataan Russell, untuk mensubordinasi yang lain. Secara subjektif, kontruksi berpikir di atas berakibat pada munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas, intelektual yang secara bangga mempersepsikan diri dan, karenanya, mudah tunduk pada represi opini publik.sebagai makhluk apolitis. Posisi yang dikemas dalam jargon seumpama netral, profesional, dan sederet pendakuan lainnya. Ironisnya, bahkan setelah terlibat jauh menjadi instrumen teknokratis dari kekuasaan lewat berbagai proyek kajian teknis yang dimintakan oleh kekuasaan, sejumlah intelektual masih gegabah mendapuk diri sebagai netral dan profesional dan terus bersembunyi di balik argumen kabur bahwa kekuasaan adalah dunia menjijikkan yang tidak pantas dimasuki. Hal ini, mengisolasi kaum intelektual dari kekuasaan dan menempatkannya dalam posisi rapuh, mudah dimanipulasi kekuasaan, atau mengikuti alur pemikiran Gramsci, mudah dihegemoni. Secara objektif, persepsi yang sama mengakibatkan mayoritas intelektual gagal memahami fungsinya sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan. Ipsa scientia potestas est., knowledge itself is power, pengetahuan adalah kekuasaan, adagium yang pertama kali dideklarasikan Bacon filsuf, ilmuwan, dan politisi berkebangsaan Inggris, menggarisbawahi sifat dari kedekatan dan relasi simbiotik antara pengetahuan dan kekuasaan. Di tengah-tengahnya berdiri kaum intelektual dan institusi-institusi pendidikan seperti UGM sebagai mata rantai utama yang menghubungkan keduanya, seperti tersirat dalam postulat filsafat Descartes, filsuf dan matematikawan Perancis: Aku berpikir maka Aku ada. cogito, ergo sum. Hadirin yang saya hormati, Bagi Indonesia, konstruksi biner tersebut punya akar empiris cukup panjang. Persentuhan dan proses awal pembentukan kelas intelektual Indonesia melalui sistem pendidikan kolonial sebagai bagian Politik Etis menggarisbawahi sifat instrumentalistis ilmu pengetahuan di hadapan kekuasaan. Di fase formatif pembentukan negara bangsa, peran intelektual dan ilmu pengetahuan bahkan menyatu dengan gerak kekuasaan, menjadi instrumen sekaligus pelaku aktif proses nation and character building. Sudjatmoko melabeli mereka sebagai activists-intelectual yang mendapatkan penerimaan luas karena kesediaannya mengambil risiko menghadapi kekuasaan kolonial. Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, memberikan penekanan bentuk ideal interaksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang menandai periode formatif ini. Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum, yang berjudul Ilmu dan Amal (1986), enam puluh delapan tahun lalu, 19 September 1951, di ruang yang kita tempati hari ini, Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Bung Karno berujar, Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!. Hanya saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat. Pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian Orde Baru (Orba) membangkitkan kembali pengalaman traumatik era kolonial yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan dan kaum intelektual dari kekuasaan semakin mengeras dan menjadi agenda politik ilmu pengetahuan. Rekayasa dan pengendalian ilmu pengetahuan guna bisa berfungsi sebagai alat pembenaran pelaksanaan kekuasaan negara mengantar Hadiz dan Dhakidae pada kesimpulan bahwa tantangan pengembangan ilmu sosial pasca-Orba tidak sebatas pada persoalan melipatgandakan jumlah akademisi, tetapi justru pada penciptaan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang memberikan otonomi bagi riset-riset ilmu sosial (Hadiz dan Dhakidae, 2005, hal. 26). Ini sebanding dengan argumen Foucault dan Deleuze (1977) yang menekankan pentingnya mengubah rezim produksi kebenaran yang sifatnya politis, ekonomi, dan institusional sebagai tantangan pokok politik ilmu pengetahuan. Dengannya, otonomi yang dibayangkan bukan saja bermakna terbebas dari belenggu dominasi kekuasaan negara dan perangkat-perangkat institusional yang bekerja dalam masyarakat, tetapi sekaligus dari tirani pasar. Poin kedua menjadi krusial dalam perkembangan Indonesia kontemporer seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara manipulatif argumen-argumen ilmu pengetahuan sebagai instrumen konsolidasi identitas: suku dan agama. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang menjembatani perbedaan antaridentitas guna menemukan basis dan nilai yang merupakan alasan fundamental hadirnya kekuasaan dan ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan intelektual justru semakin mengokohkan pembilahan menurut garis-garis identitas. Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual dengan segala pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan saling mendengar (Lay, 2016) sebagai fondasi sebuah masyarakat yang baik. Intelektual, dan pengetahuan yang dimilikinya, menghasilkan suara, berupa kata-kata dan jargon yang dangkal, gagal mencapai derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu dialektika berbasis ilmu pengetahuan. Kata-kata yang diproduksi semakin memperuncing pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami konsolidasi secara masif dan cepat dengan fasilitasi teknologi sebagaimana didemonstrasikan melalui media sosial akhir-akhir ini. Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik bukan saja semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan masyarakat dari penjara praduga indentitas suku, agama dan gender yang membelenggu masyarakat pada fase kegelapan sejumlah peradaban di masa lalu. Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan menjustifikasi kemunculan post-truth sebagai corak baru masyarakat. Sementara poin terakhir, yakni tirani pasar, bahkan menjadi tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses komersialisasi ilmu pengetahuan dan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya (Washburn, 2005). Sebuah persoalan komersialisasi pendidikan.yang menjadi tema percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Para hadirin yang terhormat, Tuntutan otonomi di atas berangkat dari kombinasi pemahaman mengenai fungsi atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema yang dihadapi berikut bagaimana ilmu pengetahuan didefinisikan dan diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk oleh institusi-institusi sosial dan pasar. Pemahaman yang bisa dilacak dari aneka kajian yang memusatkan perhatian pada intelektual sebagai aktor (Sparingga, 1997; Dhakidae, 2003, 2015; Latif, 2003; Kusman, 2018) dan pemahaman yang memusatkan perhatian pada politik ilmu pengetahuan (Kleden, 1987; Hadiz dan Dhakidae, 2005). Benda (1999) misalnya, menggarisbawahi peran intelektual sebagai pencerah masyarakat yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenaran dan mengupayakan kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kerja intelektual, dengannya, adalah kerja mental. Dan dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya. Seperti diindikasikan di atas, secara empiris, kerasnya tuntutan otonomi merupakan respons atas pengalaman relasi kekuasaan dan intelektual selama Orba yang bersifat instrumentalistis. Orba berkepentingan memengaruhi dan bahkan, mendikte agenda-agenda ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, guna mendukung agenda pembangunan maupun ideologi negara. Peran sebagai alat rekayasa di aneka sektor publik.pendidikan, kebudayaan, hukum serta moral ini, dalam pandangan Kleden (1987, hal. 6.7), menjadi lahan subur bagi berkembangnya budaya ilmu pengetahuan yang tidak reflektif dan ateoretis: budaya yang tidak peduli dengan pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual dalam memproduksi pengetahuan global bagi kepentingan kemanusiaan; budaya yang cenderung birokratis. Sayangnya, pergantian rezim politik menyusul tumbangnya Orba tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif. Dalam realitasnya, posisi instrumentalistis ilmu pengetahuan dan intelektual tidak mengalami perubahan berarti; bahkan mengalami pendangkalan sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang semakin tidak terkendali. Kita sama-sama menyaksikan dengan putus asa.bahkan menjadi bagian darinya.bagaimana proses riset di perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk licik yang tidak bisa dipercayai yang menihilkan kejujuran sebagai fondasi etik paling utama yang melandasi kerja intelektual. Kita sama-sama menyaksikan dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Di tengah-tengah proses birokratisasi yang sangat melelahkan, ajaibnya, volume keterlibatan kaum intelektual Indonesia dalam memproduksi ilmu pengetahuan secara global semakin membesar akhir-akhir ini. Meskipun demikian, posisi tradisional kaum intelektual Indonesia, terutama ilmuwan sosial, tetap tunduk pada logika klasik pembagian kerja global yakni menjadi konsumen dan sekaligus berfungsi terutama sebagai penyedia scientific evidence sebagai bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan yang tetap dihegemoni oleh pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan di negara-negara maju. Hadirin yang saya muliakan, Saya harus menggarisbawahi bahwa fenomena birokratisasi bukanlah monopoli dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Ia menjadi tantangan di banyak negara sebagaimana digambarkan Evans dalam bukunya Killing Thinking: The Death of the Universities (2004) melalui pengalaman di Inggris ketika birokratisasi menjadi monster yang membunuh daya kreativitas intelektual. Dan justru karena wataknya yang semakin mengglobal, persoalan ini harus menjadi kepedulian kita bersama. Pengabaian terhadapnya, bukan saja dapat membuat ilmu pengetahuan rawan terhadap manipulasi dan dengan mudah dijadikan alat pembenar dari tindakan represi dan aneka penyimpangan kekuasaan lainnya, tetapi sekaligus, dan terutama, bisa menjadi pembunuh kreativitas sebagai energi pokok bagi pembangunan peradaban dan kemanusiaan jangka panjang. Terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapatkan perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan. Saya melihat ada perkembangan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, kita menyaksikan secara kuantitas tingkat kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama politik dan pemerintahan semakin tinggi. Label intelektual sering dihadirkan dengan penyebutan beragam seumpama ahli, pengamat, dan seterusnya juga semakin mudah disematkan pada sembarang orang. Di sisi lain, dari sudut kualitas, kita menyaksikan berlangsungnya proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Dari waktu ke waktu kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin monolitik. Sesuatu yang, menurut saya, mengungkapkan kealpaan pertarungan ide, perspektif, apalagi paradigma dalam proses produksi ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer. Kita mencatat, pada fase-fase awal dan tengah Orba, produksi ilmu sosial ditandai oleh lebarnya spektrum perdebatan sekalipun dengan keresahan yang sama, yakni seberapa luas dan dalam kekuasaan menyebar. Jawaban atas keresahan besar ini melahirkan aneka label tentang Orba yang bersifat stereotyping mulai dari negara yang homogen hingga yang lebih plural, sebagaimana diistilahkan oleh McVey (1982) sebagai beamstenstaat hingga bureaucratic pluralism ala Emerson (1983), sekaligus menghasilkan aneka rekomendasi tindakan yang sekalipun harus dibayar dengan harga mahal cukup fungsional dalam mengontrol kekuasaan. Kini, sebaliknya, kita menyaksikan bagaimana ilmu sosial seakan dibangun di atas satu perspektif tunggal. Telah bertahun-tahun kita tenggelam dalam mereproduksi satu perspektif secara terus-menerus. Governance sebagai tema sentral yang diturunkan dari perspektif neo liberal dengan segala ramifikasinya, misalnya, tanpa memberikan ruang refleksi yang cukup terhadapnya. Padahal bertumpuk-tumpuk dokumen abstraksi dan rekomendasi yang sama telah diproduksi dengan akibat yang sangat terbatas bagi pemuliaan kemanusiaan dan pembangunan peradaban. Demikian pula, dalam beberapa tahun terakhir, ketika politik elektoral menjadi corak baru politik Indonesia, kita menyaksikan pergeseran pendulum di mana energi intelektual dan ilmu pengetahuan hampir sepenuhnya terkuras guna melayani dan memahami isu ini. Luar biasanya, kaum intelektual seakan tidak memiliki daya untuk keluar dari jebakan elektoral dan menempatkannya dalam kerangka mengontrol dan mengkritik kekuasaan. Di Indonesia, kita menyaksikan dengan sedih betapa ilmu politik dan pemerintahan mengalami proses pengerdilan, seolah menjadi penjabaran tunggal dari (frasa) Pemilu dengan segala pernak-perniknya, setelah sebelumnya di-setali-tiga-uang-kan dengan governance dengan segala pernak-perniknya. Pada saat bersamaan, fungsi klasik ilmu pengetahuan dan intelektual yang diwarisi dari pengalaman di era Orba tetap menghantui alam pikir intelektual Indonesia yang tergambar dari pemusatan energi secara berlebihan pada usaha mengontrol kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah atau rezim. Sebuah tema klasik yang menandai pergulatan ilmu pengetahuan di era otoritarian. Padahal, seperti yang akan didiskusikan lebih lanjut, kekuasaan telah, sedang dan, bisa dipastikan, akan mengalami transformasi ke fase ketika negara bukan lagi menjadi satu-satunya lokus kekuasaan yang harus dikontrol. Perkembangan ini sangat mencemaskan karena Indonesia telah melewati tahun ke-20 Reformasi. Dalam rentang waktu antara 1998-2019 awal ini, kekuasaan telah mengalami transformasi berlapis-lapis. Telah terjadi migrasi sekaligus pemajemukan lokus kekuasaan yang mengubah secara mendasar sumber, skala, pola relasi, dan watak hingga agensi serta institusi yang berproses di dalamnya. Kekuasaan bermigrasi dari Jakarta sebagai ruang satu-satunya selama Orba ke lapis-lapis governance yang berbeda mengikuti logika desentralisasi yang menghadirkan multi-layers governance. Kekuasaan bermigrasi dari ruang tradisional.pusat-pusat kekuasaan di tingkat lokal ke ruang baru seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah secara masif (Lay, 2019). Kekuasaan juga bergeser dari penguasaan hampir mutlak di tangan segelintir agensi (institusi dan aktor, seperti presiden dan sejumlah terbatas elit militer, birokrasi teknokrat) di masa lalu ke agensi dan arena baru yang semakin beragam. Arena negara dan politik, misalnya birokrasi, partai politik, dan parlemen tidak lagi menjadi lokus yang memonopoli kekuasaan. Kekuasaan menyebar ke masyarakat sipil (CSO dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya, seperti masyarakat adat, kelompok relawan, kelompok keagamaan), berikut aneka lembaga sampiran negara. Institusi perantara, seperti partai dan pemilu, elit, kelas menengah, hingga kelompok yang termarjinalkan di masa lalu, kini ikut sebagai bagian dari pemilik kekuasaan. Singkat cerita, selama ini telah, sedang, dan akan terus terjadi ramifikasi kekuasaan. Lebih jauh, perkembangan teknologi informasi tampaknya akan menggiring transformasi kekuasaan memasuki tingkatan masa baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Fase ketika kekuasaan nir-rupa, nir-bentuk, menjadi amorf dan cair. Kita telah menyaksikan cukup banyak kasus sebagai prolog ke arah sana: sebuah video testimonial pendek yang menjadi viral bisa menjadi agenda setter dan sekaligus instrumen mobilisasi politik mahadahsyat yang merombak secara mendasar baik lanskap maupun konfigurasi kekuasaan. Kisah Agni yang baru saja mengguncang UGM adalah salah satu ekspresi dari watak amorf dan cair kekuasaan yang mudah bermigrasi secara cepat tanpa bisa diperkirakan. Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti kesiapan dan kapasitas ilmu politik dan pemerintahan berikut intelektualnya untuk merespons secara memadai, apalagi menemukan jalan keluar dari dilema yang dihasilkan proses ini. Ketiganya seakan menjadi true believer dari cara berpikir tradisional mengenai negara sebagai sesuatu yang omnipoten dan, karenanya, menjadi satu-satunya representasi kekuasaan yang harus dipelototi. Rangkaian fenomena di atas mengantarkan saya pada kesimpulan awal bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang membeku di satu titik waktu dengan Orba sebagai simpul referensi utamanya. Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi terminologi yang diperkenalkan oleh Geertz (1963) yang membuatnya kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu politik dan pemerintahan, semakin kehilangan kredibilitas dan kapasitas objektif untuk bisa menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas, mendalam, dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat. Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita kecil yang memberikan penerangan. Hadirin yang saya muliakan, Di samping refleksi seperti digambarkan secara panjang lebar, pidato pengukuhan ini berupaya untuk menemukan jalan ketiga di antara kedua oposisi biner di atas. Seperti diindikasikan pada bagian-bagian sebelumnya, jalan pertama yang mendominasi wacana relasi antara intelektual dan kekuasaan dibangun di atas sikap pemujaan atas dan penaklukan diri pada kekuasaan yang menempatkan kekuasaan sebagai ruang yang nyaman bagi intelektual. Sementara jalan kedua berangkat dari sikap kepura-puraan, pengabaian atau ketidaktahuan atas kekuasaan yang mengandaikan kaum intelektual memiliki kedigdayaan untuk hidup di luar dan terbebas dari jangkauan kekuasaan. Kedua jalan di atas ibarat tiket satu arah, masuk atau keluar. Jalan ketiga yang saya tawarkan, sebaliknya, bersifat timbal balik. Kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan. Jalan ketiga ini berbeda dengan logika berumah di angin ala Rendra si Burung Merak, yang menekankan fungsi resi kaum intelektual yang hadir hanya dalam situasi darurat dalam kerangka memperbaiki, jalan ketiga yang saya tawarkan justru mengharuskan kehadiran intelektual dan ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekuasaan. Jalan ketiga ini menekankan sentralitas voluntarism dalam politik. Jalan timbal balik ini diperlukan karena cukup banyak intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali begitu mereka berada di dalam lingkaran kekuasaan. Mereka seakan tersesat di rimba raya politik yang tak bertepian. Atau sebaliknya, banyak intelektual sedemikian traumatisnya pada politik sehingga membunuh semua alasan untuk kembali memasukinya. Sebagian lainnya, bahkan sejak dini mengharamkan dunia politik yang digambarkan secara stereotyping sebagai dunia kotor.; dunia para pendosa yang tidak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol kebersihan dan kesucian. Sifat homo homini lupus dari dunia politik diikuti watak bengis Leviathan dari kekuasaan (Hobbes, 1982), serta tujuan menghalalkan cara ala Kautilyan (1992) penyusun Arthashastra, sebuah risalah India kuno mengenai keterampilan kenegarawanan, kebijakan ekonomi, strategi militer dan intelijen, serta politik luar negeri atau Machiavellian (2003) yang nasihat-nasihatnya kepada Lorenzo dee Medici, penguasa Florence, Italia, periode 1516.1519 telah didokumentasikan ke dalam karya monumental The Prince menyisakan terlampau sedikit alasan bagi mereka untuk kembali memasuki dunia politik tempat kekuasaan bekerja secara rutin dan lebih kasat mata. Usaha menemukan jalan ketiga ini berangkat dari optimisme saya bahwa gall good things can go together. Dalam hal ini, saya meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan lahir dan bertumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Keduanya bisa menemukan alasan moral yang kuat dan masuk akal untuk jalan bersisian di tengah-tengah pesimisme yang berkembang. Saya sepenuhnya menyadari bahwa jalan ketiga ini bukan jalan yang gampang. Berlapis-lapis jebakan yang bersumber dari kombinasi antara daya merayu berkelanjutan dari kekuasaan yang sangat luar biasa dan sifat alamiah manusia, termasuk dan terutama kaum intelektual yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan atas kontribusinya. Pengakuan dan penghargaan yang ekspresi riilnya dapat berupa jabatan, kekayaan atau sebatas penghormatan sosial. Lebih lagi, setiap lapis jebakan menyediakan alasan pembenar yang secara moral tampak meyakinkan. Hadirin yang saya muliakan, Di sepanjang pergaulan dan interaksi panjang saya dengan banyak pelaku di dunia politik, saya telah cukup menyaksikan bagaimana sebagian mereka bahkan gagal pada jebakan yang paling sederhana ketika mendapatkan kekuasaan, yakni menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal. Begitu banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir dengan perilaku membelakangi akal sehat; menampakkan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat. Ada yang begitu mudah tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang dianggap mewakili derajatnya, ada yang kebingungan mengatur penampilan, ada yang merasa perlu mendeklarasikan kehadirannya secara rutin di jalanan lewat suara ngiung-ngiung voorijder, ada yang membangun jarak sangat panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan panjang, ada yang merasa perlu mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaannya dengan kawin lagi atau memiliki peliharaan dan masih sederetan perangai lainnya. Sejumlah pelaku politik yang mampu melewati fase awal ini kadang gagal melewati jebakan fase berikutnya: penyalahgunaan kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya; bertukar wajah menjadi institusi dan jabatan partisan; bahkan tidak jarang merosot menjadi properti keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Hal ini seakan membangkitkan kembali klaim yang begitu luas dikritik, LEtat Cfest Moi (Negara adalah Aku) ala Louis XIV. Sialnya, bertumpuk alasan yang bisa membenarkan godaan ke arah penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari yang bersifat askriptif (identitas dan kekerabatan) hingga alasan kemanusiaan seumpama membantu orang yang membutuhkan. Saya menyaksikan, cukup banyak pelaku politik yang gugur di fase ini. Bagi yang mampu melewati, di hadapannya telah menghadang jebakan lain: menjadikan kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang. Di fase ini sebagian pelaku politik gagal karena dua alasan yang berada pada aras yang berbeda: mentahnya penguasaan ideologi dan rendahnya penguasaan aspek teknokratik-manajerial yang menandai kebanyakan pelaku politik Indonesia. Keasyikan intelektual Indonesia mengontrol, mengkritik, bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan dan para pelakunya, membikin mayoritas mereka, terutama ilmuwan sosial, alpa dalam menjalankan fungsi empowering dan strengthening yang justru sangat diperlukan para pelaku politik guna menjadikan kekuasaan yang digenggam bermanfaat bagi publik, bangsa, negara, dan, di atas segalanya, bagi kemanusiaan. Bagi pelaku politik yang melewati fase ini, tantangan berikutnya yang tidak mudah dilewati adalah menemukan alasan dan jalan turun dari kekuasaan secara elegan dan bermartabat. Secara subjektif banyak alasan untuk bertahan di kekuasaan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Secara objektif, saya menyaksikan terlampau banyak alasan di luar kontrol sang pelaku politik yang membikin penemuan alasan dan jalan mundur seakan menjadi pekerjaan yang mustahil. Karena alasan tersebut, penting digarisbawahi bahwa jalan ketiga ini, mengandaikan setiap intelektual, terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti, adalah sekaligus zoon politicon dalam pengertian Aristotelian makhluk politik yang bermasyarakat yang bukan saja mempersenjatai diri dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika diperlukan. Bagi intelektual yang ingin memasuki atau keluar dari dunia politik, mereka dituntut senantiasa sadar dan waspada akan bahaya yang melekat dalam kekuasaan, baik yang terbentang di belantara dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahuan sebagai ekosistem di mana proses memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan sekaligus merupakan proses produksi dan reproduksi kekuasaan dalam raut yang lain. Kaum intelektual harus waspada bahwa hukum sederhana power changes people!. berlaku universal, termasuk bagi kaum intelektual. Kaum intelektual harus menyadari bahwa kekuasaan tidak mungkin dihilangkan dan exercise of power tidak melulu merupakan hal yang buruk (Wallace, 2015, hal. 111.113). Seorang intelektual juga harus menyadari bahwa setiap keterlibatannya mempunyai suatu sifat politis seperti yang secara indikatif disampaikan Soedjatmoko (1980). Yang sama pentingnya, kaum intelektual harus menyadari bahwa idealisme sekalipun bukan merupakan jaminan memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan kekuasaan dan sindrom superioritas. Intelektual harus menyadari bahwa, sebagai agen utama untuk memproduksi dan mendesiminasi ilmu pengetahuan, intelektual dan institusi perguruan tinggi sangat terpengaruh oleh politik pengetahuan (Weiller, 2011). Karena itu, intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara. Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Hal terakhir ini perlu digarisbawahi karena saya menyaksikan cukup banyak intelektual yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan. Sindrom yang mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau corong baginya. Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran atau usulannya tidak diakomodasi. Dengan serangkaian alasan ini, saya perlu menggarisbawahi bahwa jalan ketiga yang ditawarkan. masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya.menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan. Hadirin yang saya muliakan, Mengakhiri pidato ini, izinkan saya menggarisbawahi keyakinan saya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan bertumpu pada kehendak yang sama: cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan. Hadirin yang saya muliakan, Jabatan Guru Besar ini telah melalui jalan panjang yang melibatkan begitu banyak individu dan kerja kolektif. Kepada mereka, ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan.

Minggu, 09 Agustus 2020

Perubahan Paradigma Content Fiqih

Pada tahun 2009, pertama kali saya berkunjung ke Belanda, saya ke Perpustakaan Leiden University. Sebelum masuk perpustakaan, kita singgah di depan pintu rumah Dr Snouck Hurgronje yang terkenal orientalis kawakan. Jasa Snouck Hurgronje sangat besar bagi perkembangan studi Islam dan Asia Tenggara. Terlepas dari kontribusi dan nasehat Snouck terhadap pemerintahan Belanda yang merugikan perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Rumah Snouck sudah menjadi semacam perkantoran yang dulunya sebagai perpustakaan. Rumah Snouck dengan mudah dapat dikenali karena terdapat tulisan Dr Snouck Hurgronje. Rumah beliau ini juga terletak di pinggir jalan. Sewaktu mencari sejumlah literatur Islam di lantai 3 perpustakaan Leiden, saya menemukan kitab Ikhtilaf baina Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila Kedua maha guru fiqih ini adalah guru Abu Yusuf. Kitab ini adalah suntingan dari sebuah manuskrip. Maka saya meminta kepada petugas perpustakaan Leiden untuk mencopynya. Di sana untuk kegiatan copy mencopy literatur adalah self service. Sejumlah mesin foto copy sudah berjejer di area perpustakaan. Dan alhamdulillah diizinkan. Saya memiliki kesempatan lima hari untuk mencopy buku-buku koleksi Perpustakaan Leiden. Saya bersyukur karena Mas Mufti Ali, Ph.D dan Mas Suryadi membantu saya untuk mencopy buku-buku penting di Leiden. Patut dicatat bahwa semua proses copy mencopy buku di perpustakaan Leiden adalah gratis dan bagian dari layanan mahasiswa Leiden University. Kitab Ikhtilaf Baina Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab klasik yang disusun oleh Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Abu Yusuf adalah murid yang sangat cemerlang. Abu Yusuf memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim al- Anshary. Beliau wafat pada tahun 182 H. Dalam kitab ini, pembahasan fiqih langsung menukik pada masalah-masalah yang terkait dengan isu-isu aktual yang terjadi di masyarakat. Perdebatan tentang seseorang yang menyerahkan kain jahitan kepada tukang jahit. Lalu tukang jahit menjahit kain tersebut menjadi qaba', semacam baju luar. Si empunya kain berkata, saya menyuruhmu menjahit qamish....amartuka bi qamish-in. Sedang tukang jahit berkata: kamu menyuruhku untuk menjahit qaba'. Perkataan siapa yang diterima, apakah si empunya kain atau di tukang jahit. Imam Abu Hanifah berpendapat, pemilik kain yang diperpegangi sedang si tukang jahit menanggung biaya kain ( pakaian). Ini pendapat yang diperpegangi Abu Yusuf dan Hanafiyah, wa bihi na'khudzu. Sedang Ibn Abi Laila, perkataan tukang jahit yang diperpegangi. Sebab, pekerjaan ada pada dia. Sekiranya kain hilang, maka perkataan si empunya kain yang diterima ( h. 9-10). Lalu ada perkara lain. Bagaimana hukum seseorang yang merampas budak perempuan. Lalu Ia menjualnya. Kemudian si pembeli memerdekakan budak tadi. Abu Hanifah berpendapat bahwa jual-beli dan memerdekakan budak tersebut, dua-duanya batal, tidak sah dan tidak boleh, la yajuzu. Sebab ia sudah menjual barang yang bukan miliknya. Demikian pula yang memerdekakan budak tersebut, bukanlah miliknya. Demikian pendapat yang kami perpegangi, tegas Abu Yusuf. Sedang Ibn Abi Laila berpendapat bahwa memerdekakan budak perempuan itu sah atau boleh. Orang yang merampoklah yang menanggung biayanya. Perkara lain, apabila seseorang membeli budak perempuan, lalu ia berhubungan intim dengannya. Kemudian ia menemukan cacat pada diri sang budak. Ia sesungguhnya tertipu dengan penjual budak itu. Apakah budak tersebut bia ia kembalikan? Abu Hanifah berpendapat, bahwa ia tidak bisa mengembalikan budak tersebut setelah ia bersenggama dengannya. Demikian pandangan yang sampai kepada kami dari Ali ibn Abu Thalib. Demikian seterusnya. Keunikan kitab ini, kita langsung diperhadapkan dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat. Hampir-hampir kita tidak menemukan definisi. Tentu hal seperti ini berbeda dengan kitab-kitab fiqih yang lahir pada abad tengah dan sesudahnya yang dipenuhi dengan definisi. Pembahasan shalat, zakat, puasa, hajji, nikah dan thalak justeru pada pembahasan akhir kitab ini. Ibn Abi Laila adalah guru pertama Abu Yusuf. Abu Yusuf berguru kepada beliau selama 9 tahun. Ketika terjadi perbedaan pendapat tentang wa qad syahida malaaku rajul-in fa lamma nathara al- sakaru, akhadza Abu Yusuf rahimahu Allah ba'dlan. fa karaha lahu zalika Ibn Abi Laila. wa aghladza lahu al-qawlu. wa qala: a ma 'alimta anna hadza la yahillu? fa ja'a Abu Yusuf ila Abi Hanifah. wa qala: la ba'sa bi zalika (h. 4). Abu Yusuf mendapatkan arak yang telah berubah menjadi cuka. Beliau mengambil/meminumnya sebagian. Dan Ibn Abi Laila, sang guru menegurnya dengan sangat keras sambil berucap, itu barang haram. Tidak halal. Lalu Abu Yusuf bergegas kepada Abu Hanifah dan menyampaikan hal tersebut. Abu Hanifah berkata, tidak apa-apa, dan boleh meminum arak yang sudah berubah cuka. Sejak itu, Abu Yusuf berpaling dari Ibn Abi Laila dan menetap di majelis Abu Hanifah. Abu Yusuf sangat mengagumi Abu Hanifah. Sampai pada suatu ketika puteranya meninggal. Dan pengurusan makamnya bertepatan dengan majelis Abu Hanifah. Abu Yusuf memilih menghadiri majelis ilmu Abu Hanifah, dan menyerahkan pemakaman puteranya kepada pihak keluarga. Kembali pada kitab Ikhtilaf tadi. Saya pikir model penulisan buku fiqih yang to the point seperti kitab ini perlu dicontoh. Buku-buku fiqih tidak melulu dipenuhi dengan defenisi yang juga tidak implementatif. Para pembaca dan penggemar studi fiqih akan lebih tercerahkan dan bergairah menstudy fiqih. Wa Allah a'lam.

Senin, 08 Juni 2020

Pesona Konya

Tanggal 30 Maret 2018 kami bertolak dari Cengkareng ke Istanbul dengan Turkis Airline. Perjalanan dengan jarak tempuh 10 ribu km ditempuh dengan 12 jam mengudara. Untuk melewati waktu penerbangan yang panjang ini, kami mendengarkan musik-musik Turki dengan suara emas para artisnya. Ada lagu- lagu pop disamping lagu religi. Kami sesekali menonton film-film terbaru Hollywood. Kami tiba pada jam 5 shubuh di bandara Istanbul. Kami langsung bertolak ke kota Ankara dengan naik pesawat yang sama. Kami menempuhnya dengan 1 jam perjalanan. Ankara adalah ibu kota negara Turki. Ankara adalah kota pusat pemerintahan Turki. Di Ankara inilah tempat studi dua tokoh intelektual muslim Indonesia, Prof Amin Abdullah dan Prof Komaruddin Hidayat. Di Ankara ini pula terdapat museum dan makam Mustafa Kemal Al Taturk, Bapak bangsa Turki yang masyhur itu terutama paham sekularismenya. Mustafa Kemal berkeyakinan bahwa Turki bisa maju dengan sekularisme. Khilafah Islamiyah tidak bisa lagi diandalkan untuk membangun peradaban modern. Ottoman Empire sudah tamat dan berakhir. Untuk sementara, kami tangguhkan menikmati kota Istanbul masyhur itu. Kota Istanbul sudah lama menjadi destinasi wisata dunia. Istanbul adalah kota yang eksotik. Istanbul sangat indah memesona, kata orang yang telah mengunjunginya. Ada banyak situs sejarah yang menjadi kunjungan para wisatawan mancanegara. Ada istana Topkapi, Aya Sophia, Nemrut, Selat dan jembatan Bosporus, Masjid Sulaiman/Blue Mosque, dst. Selanjutnya kami naik kereta api cepat ke kota Konya. Konya adalah salah satu destinasi wisata religi dunia. Di Konya inilah terdapat makam Maulana Jalaluddin Rumi, dan gurunya Syamsuddin Tabriz. Tentang makam Tabriz terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa makam beliau ada juga di Iran. Dan ada juga yang memercayai bahwa makam di Konya itulah kuburan asli beliau. Di Iran ada kota Syams Tabriz, perbatasan Iran dan Turki. Dalam buku Eliv Syafak, 40 Aturan Cinta, Forty Roles of Love. Dalam bahasa Turki, Asyk, Cinta. Bahwa Syams Tabriz dibunuh oleh persekongkolan putera Rumi dengan murid- muridnya yang cemburu kepadanya. Karena kedekatan Rumi dan Tabriz yang membuat Rumi dan anaknya semakin menjauh. Ditambah pengetahuan agama Rumi setelah perkenalannya dengan Tabriz yang semakin mistik, yang sebelumnya sangat normatif formalistik. Di sini ada perubahan orientasi keagamaan Rumi yang mengedepankan syari'at, seperti mengadakan pengajian dengan penduduk Konya, penerapan syariat Islam. Tetapi setelah perkenalannya dengan Tabriz, Jalaluddin Rumi semakin sufistik. Ada yang mengatakan bahwa malam pembunuhan Tabriz, setelah pertemuan dengan Maulana Rumi, maka Tabriz disergap dan dibunuh di tempat. Ada juga yang mengatakan bahwa Tabriz sebagai orang suci, ia menghilang secara tiba- tiba. Di Konya, klaim orang suci sangat penting secara politis. Konya, sangat menghargai Jalaluddin Rumi karena juga ada aspek ekonomi. Menurut Aisyah, penduduk asli Konya bahwa sebagian orang hari ini berziarah ke Rumi karena mencintai Rumi atau karena trend tanpa mengetahui kisah Rumi itu sendiri dan ajarannya. Lalu, aspek pemerintah sekarang ini, apakah betul- betul karena mencintai Rumi atau untuk meningkatkan devisa negara. Dalam prakteknya, ada banyak wisatawan yang datang karena betul- betul cinta Rumi. Mereka duduk khusyuk sambil berdo'a, dan bahkan tirakat di makam Maulana Rumi. Hal yang menarik adalah disiapkan sarana ibadah, shalat di area pemakaman ( Turbe) Rumi dan Tabriz. Kami beruntung karena pada tanggal 17 desember 2018 sempat mengikuti perayaan haul Rumi. Seb-i Arus, the Wedding Day, hari kematian Rumi. Ini adalah perspektif Sufi bahwa kematian itu adalah penyatuan, seperti juga pernikahan. Bahwa lepasnya ruh dari tubuh merupakan hari kembalinya atau bersatunya manusia dengan sang Khalik, Sang Pemilik ruh. Haul Rumi diupacarakan selama sebulan. Satu minggu sekitar 17 desember 2018 pertunjukan tarian Sema' pada setiap malamnya dipertontonkan. Yang sebelumnya, hanya pada setiap malam minggu. Seluruh komunitas dan pencinta Rumi dari seluruh penjuru dunia datang ke Konya. Dari golongan muda sampai tua, baik lelaki maupun perempuan. Mereka duduk di pelataran. Mereka melakukan zikir. Kadang terdengar lafaz Allahu, Allahu, Allahu! Ada perempuan yang tiba-tiba menangis. Mursyidnya membiarkan perempuan tersebut tergeletak di pahanya. Ada yang nyeletuk, kok mengunjungi tempat suci begitu. Ada juga yang menimpalinya dan berkata, lha kok berkunjung ke tempat suci, ngomongin orang. Patut dicatat bahwa Turki adalah kota peradaban terbuka. Turki memiliki Museum terbuka. Sebab, semua peradaban tua ada di Turki. Dari 11 ribu tahun sebelum masehi, bangsa nomaden yang menggunakan batu, era batu. Di sini ada kampus Babylonia, 3 ribu tahun sebelum masehi. Ketika Jengis Khan datang, pasukannya memporak-porandakan universitas tersebut. Universitas Haran di tempat ini yang merupakan universitas tertua Islam di dunia. Di sini juga tempat Ilmuan Ibnul Haitsam (al-Jabar) yang masyhur itu menjalani kuliah. Universitas Haran adalah pusat matematika dan astronomi. Wilayah ini terletak di Sang Li Urfa, berada di tenggara Turki, dekat Syiria. Kembali ke Maulana Rumi. Di sekitar makam Rumi berdiri banyak pusat kajian Rumi, baik itu diinisiasi oleh pemerintah maupun pihak swasta. Kami menonton pertunjukan tarian sufi Sema' di Mevlana Kultur Merkazi, Pusat Kebudayaan Rumi, di Konya. Sebelum pertunjukan dimulai ada key note speech oleh seorang tokoh yang tidak bersorban, tapi memakai jas. Beliau menyampaikan ajaran Rumi. Dalam ceramahnya ia menyinggung kesehatan, afiyat dan penyakit. Afiyat dan hastaleq, sehat dan sakit. Sehat dan sakit harus dimaknai dua sisi secara harfiyah dan maknawi. Secara fisik, lahir dan bathin. Secara lahir, kita tahu bersama bagaimana sakit fisik. Sehat itu juga bisa kita ketahui. Tetapi secara bathiniyah, sehat dan sakit, sakit bukan merasa perih, tetapi ketika kita tidak menemukan jalan menuju Tuhan. Ketika kita tersesat, itulah sakit. Kondisi sehat adalah fisik tidak menjadi pembatas untuk merasakan bahagia itu. Tetapi secara batiniyah, bukan pada wilayah tubuh, tetapi bahagia plesuare. Sehat itu adalah bahagia secara ruhaniyah. Dan sakit itu adalah tersesat di jalan Tuhan. Makanya kita berdoa agar Tuhan mengangkat sakit ini dengan menunjukkan jalan kebaikan menuju Tuhan. Makanya kitab Rumi dalam al matsnawi itu sebagai obat. Al- Matsnawi bisa membantu kita untuk menangkap makna al- Quran dalam kehidupan sehari- hari. Karena ayat al- Quran sangat tinggi, sedang al- Matsnawi dikemas dengan bahasa sehari- hari. Al- Matsnawi disebut juga The Quran of the Persian, Quran dalam bahasa Persia. Kota Konya juga disebut kota Cinta, Gaonun li Sehri, the City of Love, kota Cinta. Nai adalah alat musik semacam seruling--sebagaimana terjemahan Prof Hadi W.M--tetapi sesungguhnya bukan seruling. Nai adalah alat musik tiup yang berasal dari pohon Nai yang banyak tumbuh di Konya. Di sekitar makam Rumi ada souvenir sendok. Bagi Rumi, sendok, dapur adalah awal untuk masuk sufi. Bahwa seorang sufi harus bisa melayani umat. Di Konya, kami mendapat informasi tentang kehidupan ibu Aisyah, yang hidup di desa. Ia penyayang binatang seperti anjing dan kucing. Meskipun ia tidak merasa memiliki binatang peliharaannya itu. Kalau beliau mengikuti pengajian, maka anjing tersebut rela mengikuti dan menunggunya sampai ia selesai pengajian. Rata- rata tetangganya komplain karena anjing-anjing tersebut. Ia disebut Hoja, guru. Salah apa dengan anjing- anjing ini. Mereka tidak mengganggu, dan tidak pula menggonggong. Cerita adik A'isyah Sungkilang bahwa pertama kali saya berkenalan, ada dua Aisyah yang berkenalan. Dua Aisyah bertemu, adesy. Jumat berikutnya, saya ketemu lagi. Sepatu saya berdekatan. Pas keluaran bareng, eh sepatu kami berdekatan. Ada anak muda yang roti, remahannya jatuh, maka dipungutnya. Eh mengapa remahan roti itu juga dipungut. Ya bagi dia tidak berguna, tetapi bagi makhluk, atau burung masih sangat berguna, terang bu A'isyah Konya. Aisyah ini sangat mencintai dan memuliakan tamu. Musafir peverlik, menjamu tamu. Tamu ke rumah atau dari luar kota harus hezmet, melayani. Museum Rumi memiliki kamar- kamar yang memuat tahapan- tahapan sufi Rumi. Ada patung- patung yang memperlihatkan madrasah Rumi, ada juga yang memasak di dapur, ada yang menari, dan ada yang bersemedi di dekat pintu. Ada kamar kitab, alat musik, tasbih, manuskrip al- Quran, dst. Tarekat Rumi dekat dengan dapur. Logika harus didekatkan dengan logistik. Bagaimana mungkin dekat dengan Tuhan kalau perutnya keroncongan. Ini adalah pelajaran berharga berkunjung ke Konya. Bahwa untuk menjadi salikin ( pejalan menuju Tuhan) terlebih dahulu seseorang harus menyelesaikan logistiknya. Singkatnya logik bisa terbangun dengan baik jika logistik telah terpenuhi. Itulah sebabnya, bab pertama pelajaran dalam tarekat Rumi adalah penguasaan dapur dan segala peralatannya. Tentu hal ini berbeda dengan jalan tarekat yang kita kenal di nusantara. Terkadang salikin dimaknai dengan menjalani kehidupan yang serba "kere" dan kumal. Tarekat Rumi justeru dibangun di atas logika daj rasionalitas. Tidak teelihat tanda-tanda "kumal" dalam tarekat Rumi. Logistik, logik, aestetik, mistik adalah pilar utama dalam tarekat Maulawiyah. Konya, kota cinta yang selalu dirindu.