Gallery

Minggu, 09 Agustus 2020

Perubahan Paradigma Content Fiqih

Pada tahun 2009, pertama kali saya berkunjung ke Belanda, saya ke Perpustakaan Leiden University. Sebelum masuk perpustakaan, kita singgah di depan pintu rumah Dr Snouck Hurgronje yang terkenal orientalis kawakan. Jasa Snouck Hurgronje sangat besar bagi perkembangan studi Islam dan Asia Tenggara. Terlepas dari kontribusi dan nasehat Snouck terhadap pemerintahan Belanda yang merugikan perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Rumah Snouck sudah menjadi semacam perkantoran yang dulunya sebagai perpustakaan. Rumah Snouck dengan mudah dapat dikenali karena terdapat tulisan Dr Snouck Hurgronje. Rumah beliau ini juga terletak di pinggir jalan. Sewaktu mencari sejumlah literatur Islam di lantai 3 perpustakaan Leiden, saya menemukan kitab Ikhtilaf baina Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila Kedua maha guru fiqih ini adalah guru Abu Yusuf. Kitab ini adalah suntingan dari sebuah manuskrip. Maka saya meminta kepada petugas perpustakaan Leiden untuk mencopynya. Di sana untuk kegiatan copy mencopy literatur adalah self service. Sejumlah mesin foto copy sudah berjejer di area perpustakaan. Dan alhamdulillah diizinkan. Saya memiliki kesempatan lima hari untuk mencopy buku-buku koleksi Perpustakaan Leiden. Saya bersyukur karena Mas Mufti Ali, Ph.D dan Mas Suryadi membantu saya untuk mencopy buku-buku penting di Leiden. Patut dicatat bahwa semua proses copy mencopy buku di perpustakaan Leiden adalah gratis dan bagian dari layanan mahasiswa Leiden University. Kitab Ikhtilaf Baina Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab klasik yang disusun oleh Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Abu Yusuf adalah murid yang sangat cemerlang. Abu Yusuf memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim al- Anshary. Beliau wafat pada tahun 182 H. Dalam kitab ini, pembahasan fiqih langsung menukik pada masalah-masalah yang terkait dengan isu-isu aktual yang terjadi di masyarakat. Perdebatan tentang seseorang yang menyerahkan kain jahitan kepada tukang jahit. Lalu tukang jahit menjahit kain tersebut menjadi qaba', semacam baju luar. Si empunya kain berkata, saya menyuruhmu menjahit qamish....amartuka bi qamish-in. Sedang tukang jahit berkata: kamu menyuruhku untuk menjahit qaba'. Perkataan siapa yang diterima, apakah si empunya kain atau di tukang jahit. Imam Abu Hanifah berpendapat, pemilik kain yang diperpegangi sedang si tukang jahit menanggung biaya kain ( pakaian). Ini pendapat yang diperpegangi Abu Yusuf dan Hanafiyah, wa bihi na'khudzu. Sedang Ibn Abi Laila, perkataan tukang jahit yang diperpegangi. Sebab, pekerjaan ada pada dia. Sekiranya kain hilang, maka perkataan si empunya kain yang diterima ( h. 9-10). Lalu ada perkara lain. Bagaimana hukum seseorang yang merampas budak perempuan. Lalu Ia menjualnya. Kemudian si pembeli memerdekakan budak tadi. Abu Hanifah berpendapat bahwa jual-beli dan memerdekakan budak tersebut, dua-duanya batal, tidak sah dan tidak boleh, la yajuzu. Sebab ia sudah menjual barang yang bukan miliknya. Demikian pula yang memerdekakan budak tersebut, bukanlah miliknya. Demikian pendapat yang kami perpegangi, tegas Abu Yusuf. Sedang Ibn Abi Laila berpendapat bahwa memerdekakan budak perempuan itu sah atau boleh. Orang yang merampoklah yang menanggung biayanya. Perkara lain, apabila seseorang membeli budak perempuan, lalu ia berhubungan intim dengannya. Kemudian ia menemukan cacat pada diri sang budak. Ia sesungguhnya tertipu dengan penjual budak itu. Apakah budak tersebut bia ia kembalikan? Abu Hanifah berpendapat, bahwa ia tidak bisa mengembalikan budak tersebut setelah ia bersenggama dengannya. Demikian pandangan yang sampai kepada kami dari Ali ibn Abu Thalib. Demikian seterusnya. Keunikan kitab ini, kita langsung diperhadapkan dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat. Hampir-hampir kita tidak menemukan definisi. Tentu hal seperti ini berbeda dengan kitab-kitab fiqih yang lahir pada abad tengah dan sesudahnya yang dipenuhi dengan definisi. Pembahasan shalat, zakat, puasa, hajji, nikah dan thalak justeru pada pembahasan akhir kitab ini. Ibn Abi Laila adalah guru pertama Abu Yusuf. Abu Yusuf berguru kepada beliau selama 9 tahun. Ketika terjadi perbedaan pendapat tentang wa qad syahida malaaku rajul-in fa lamma nathara al- sakaru, akhadza Abu Yusuf rahimahu Allah ba'dlan. fa karaha lahu zalika Ibn Abi Laila. wa aghladza lahu al-qawlu. wa qala: a ma 'alimta anna hadza la yahillu? fa ja'a Abu Yusuf ila Abi Hanifah. wa qala: la ba'sa bi zalika (h. 4). Abu Yusuf mendapatkan arak yang telah berubah menjadi cuka. Beliau mengambil/meminumnya sebagian. Dan Ibn Abi Laila, sang guru menegurnya dengan sangat keras sambil berucap, itu barang haram. Tidak halal. Lalu Abu Yusuf bergegas kepada Abu Hanifah dan menyampaikan hal tersebut. Abu Hanifah berkata, tidak apa-apa, dan boleh meminum arak yang sudah berubah cuka. Sejak itu, Abu Yusuf berpaling dari Ibn Abi Laila dan menetap di majelis Abu Hanifah. Abu Yusuf sangat mengagumi Abu Hanifah. Sampai pada suatu ketika puteranya meninggal. Dan pengurusan makamnya bertepatan dengan majelis Abu Hanifah. Abu Yusuf memilih menghadiri majelis ilmu Abu Hanifah, dan menyerahkan pemakaman puteranya kepada pihak keluarga. Kembali pada kitab Ikhtilaf tadi. Saya pikir model penulisan buku fiqih yang to the point seperti kitab ini perlu dicontoh. Buku-buku fiqih tidak melulu dipenuhi dengan defenisi yang juga tidak implementatif. Para pembaca dan penggemar studi fiqih akan lebih tercerahkan dan bergairah menstudy fiqih. Wa Allah a'lam.

2 komentar:

michelle mengatakan...

ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q

Alan santri Millenial mengatakan...

Dahsyat, refrensi yang diangkat tidak banyak diketahui oleh kebanyakan Orang. Sukses terus bapak.