Gallery

Kamis, 13 Agustus 2020

Literasi Mitigasi Bencana

Desember kelabu tahun 2004, Banda Aceh dilanda Tsunami yang merenggut nyawa lebih 250-an ribu. Namun ada juga kisah suka, orang yang ditakdirkan lolos dari bencana tsunami. Tersebutlah seseorang yang memiliki pengetahuan mitigasi tsunami. Begitu mengetahui bencana tsunami datang, ia berlari sekencang-kencangnya ke dataran tinggi. Alhamdulillah, ia selamat. Pada tahun 2018, orang yang sama mengalami tsunami di kota Palu. Ia kebetulan berada pada sebuah hotel. Begitu gempa bertubi- tubi melanda kota Palu, penghuni hotel berlarian ke lantai dasar. Dan orang Aceh ini justeru berlari ke lantai atas. Tidak lama kemudian hotel ambruk, dan ia pun selamat. Demikian pentingnya pengetahuan mitigasi bencana alam, gempa bumi dan tsunami sekalipun. Inilah sepotong kisah anak manusia yang selamat dua kali dari bencana tsunami berkat pengetahuannya yang memadai. Penguatan literasi bencana alam sangatlah urgen. Sebab, Indonesia berada pada negara yang rentan bencana alam. Banjir, tsunami, gunung meletus adalah bencana alam yang terjadi berulang-ulang. Manuskrip pun tak luput mencatatnya. Bahkan leluhur kita menulis gejala bencana alam demikian detailnya. Kehadiran buku mitigasi bencana alam berbasis riset manuskrip adalah timely, tepat waktu. Sebab, Indonesia berada pada negara ring of fire, cincin gunung berapi. Itulah sebabnya negara kita dekat dengan bencana alam banjir, letusan gunung berapi, tsunami, dst. Barangkali kita sempat membaca novel yang ditulis J.S Simon, The Eruption of Krakatau. Simon menulis, bahwa pada tahun 1884, letusan pertama gunung Krakatau. Setahun berikutnya, tepatnya tahun 1884 terjadi tsunami besar setinggi 70 meter. Bahkan pasir debu letusan Krakatau menghitamkan langit Eropa. Dahsyatnya letusan Gunung Krakatau itu tertulis apik dalam manuskrip Syair Lampung Karam. Adalah Dr Suryadi, peneliti Indonesia dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda yang berjasa menemukan kembali Syair Lampung Karam ini. Ia menemukan naskah tersebut pada enam negara dan menerbitkannya pada tahun 2009 dengan judul: Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883. Syair Lampung Karam karya Muhammad Shaleh ini terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu, edisi kedua dengan judul: Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut dan edisi ketiga berjudul Syair Negeri Anyer Tenggelam. Syair Lampung Karam ini semacam reportase tragedi Krakatau yang konon menewaskan lebih dari 120 ribu jiwa. Orang Banten yang bermukim pada radius 13 km dari Krakatau semuanya tewas. Mari kita simak potongan Syair Lampung Karam, sebagai berikut: Pulau Sebuku dikata orang, ada seribu lebih dan kurang, orangnya habis nyatalah terang, tiadalah hidup barang seorang.” Ada yang lari nyatalah terang, anak didukung ada di belakang, dipukul air tunggang-langgang, anak dilihat nyawanya hilang.” “Air di situ sahaya khabarkan, naik ke darat bukan buatan, dua belas pal nyatalah, Tuan, dari tepi laut sampai daratan.” Betapa dahsyatnya tsunami dan letusan Krakatau tersebut. Namun ada hal yang sangat menarik dan perlu kita teladani. Bahwa sedahsyat apa pun keadaan mereka, kekacauan dan ketiadaan harapan, tetapi tampak mereka masih sempat menolong sesamanya sambil berlari menyelamatkan diri. Pemandangan seperti ini tentu sangat kontras dengan peristiwa tsunami dan likuivaksi di Palu. Bahwa di tengah-tengah himpitan hidup yang mendera, suasana chaos yang melanda ternyata masih ada segelintir orang yang datang "menjarah" harta orang. Dalam suasana gamang, meskipun bantuan pemerintah dan NGO datang bertubi-tubi, nyatanya Kampus IAIN Datok Karama Palu kehilangan AC, bangku-bangku kuliah, alat tulis menulis, lemari, dan sejumlah peralatan kantor lainnya juga raib. Berselang dua ratus, karakter bangsa kita telah mengalami pergeseran yang drastis. Dulu, tolong menolong, gotong-royong terus mewarnai kehidupan keseharian mereka. Menolong antar sesama adalah sebuah habit yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Sekarang, di era milenium, karakter baik itu sirna sudah. Barangkali itulah hal yang menarik dari hasil riset Susan Pinker, The Village Effect: How Face-to-Face Contact Can Make Us Healthier and Happier. Bahwa ternyata komunikasi langsung secara tulus berdampak menyehatkan dan lebih bahagia. Suasana kontak langsung, senyum yang tulus, membangun silaturahim sebagaimana halnya yang terjadi bagi masyarakat desa dapat memperpanjang umur, lebih sehat dan bahagia. Semoga dengan kehadiran buku Mitigasi Bencana Alam ini dapat memberikan sedikit pencerahan bagi anak- anak bangsa agar mereka kelak menjadi generasi penerus yang berkarakter baik dan kuat. Sedini mungkin, mereka harus mengenal lebih mendalam bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur yang terekam dalam berbagai manuskrip. Nilai-nilai kejujuran, tenggang rasa, gotong-royong, kerja sama, toleransi, saling menghargai, saling menghormati adalah sederetan nilai yang harus "ditanamkan" untuk generasi milenial kita. Semoga Indonesia menjadi negara maju dengan Sumber Daya Manusia yang unggul.

Tidak ada komentar: