Gallery

Minggu, 10 Mei 2020

Bersahabat dengan Beruang

Berhati-hatilah bersahabat dengan orang bodoh. Teringat kisah alegoris Rumi dalam al-Matsnawi. Seorang parlente bersahabat dengan seekor beruang. Orang di sekitarnya heran, karena ia bisa bersahabat dengan binatang buas. Binatang juga punya hati dan cinta. Tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Itulah argumen yang selalu disampaikannya, ketika ia ditanya kepiawaiannya bersahabat dengan beruang. Suatu hari, lelaki itu jatuh sakit. Sahabat-sahabatnya pun berdatangan. Betapa mereka terkejut, karena yang menemani lelaki hebat itu adalah seekor Beruang. Tidak lama kemudian, para tamu pulang. Seekor lalat hinggap di dahi si lelaki parlente itu. Sang Beruang manampiknya. Si parlente pun tertidur pulas. Dasar lalat, terus saja datang dan pergi. Berkali-kali. Si Beruang jengkel. Si Beruang keluar rumah dan naik gunung mencari batu besar. Dan tak lama kemudian, ia menunggu tuannya. Begitu lalat datang dan hinggap di dahi sang tuan, si Beruang memukul lalat dengan sangat keras. Apa lacur, bukan lalat yang mati, tetapi kepala tuannya yang bercucuran darah. Demikianlah bersahabat dengan orang bodoh. Dia menyangka berbuat baik dan mengabdi, tetapi ternyata membunuh majikannya.

Sudahkah Engkau Menemukan Tuhan?

Tak ada yang suka rumah sakit. Ayahku seorang dokter bedah. Dan saya sering dibawa ke rumah sakit tempat beliau praktek. Dan ayah biasanya membawaku ke kafetaria di samping rumah sakit tempatnya bertugas. Dan saya akan kembali 20 menit lagi. Satu atau dua jam kemudian ayah datang sambil berbisik ke telingaku, maaf pasienku meninggal. Apa jadinya memori anak- anak berusia tujuh tahun dipenuhi dengan pasien meninggal. Saya benci rumah sakit. Ketika saya sakit dan harus diopname di rumah sakit, memori dan hantu rumah sakit menggelayut dalam pikiran. Itulah kisah awal Eric Weiner dalam bukunya Man Seeks God: my flirtation with the Divine , 2011. Beberapa saat setelah pengambilan sampel darahku, seorang perawat masuk ke bilikku. Aku menduga ia dari Karibia atau Afrika Barat. Ia mengajukan pertanyaan yang menggelitik dan menghentak. Sudahkah kau menemukan Tuhanmu? ("Have you found your God yet?"). Apakah tak lama lagi aku akan berjumpa dengan-Nya? Apakah saya mengidap penyakit akut? Dia berlalu begitu saja, dan meninggalkan saya dalam kekalutan pikiran dan jubah pasien yang tidak memadai. Demikian kisah Eric Weiner sebagai awal kegelisahannya yang mengantarkannya menulis buku di atas. Beberapa catatan dan pujian terhadap Weiner, yakni: (a). The New York Times: "Books about God tend to fall into two categories: objective inquiries into the nature of belief and personal tales of spiritual awakening…[Weiner] nimbly and often hilariously straddles the fence between the two genres….He’s Woody Allen channeling Karen Armstrong.” (b). "[Weiner's] sophisticated wit and wordplay yield an engaging tale at each stop.” - Time.com (c) "Well-researched, informative and engaging, “Man Seeks God” is packed with facts and wisdom that, regardless of which God you root for, will leave what a Buddhist friend of Weiner’s calls “Post-it Notes on the brain.” - The Washington Post (d) Was made the National Geographic Traveler Book of the Month (Dec. 2011). Buku ini berkisah tentang perjalanan Weiner menelusuri kota-kota paling religius dalam pandangan agama- agama besar dunia. Perjalanan untuk mencari Tuhan. Bagi sufisme, Tuhan itu cinta. Budhdhisme, Tuhan itu kondisi pikiran. Taoisme, Tuhan itu bukanlah apa-apa. Wicca, Tuhan itu ajaib. Syamanisme, Tuhan itu seekor binatang. Dalam Kabbalah, Tuhan itu rumit. Weiner mengunjungi kota- kota spiritual, Istanbul yang eksotik, Konya yang religius, bumi tempat hidup dan wafatnya Rumi, sufi besar dunia. Di Konya, ia praktek tarian Semaa' Rumi. Weiner juga melakukan perjalanan menelusuri keindahan pegunungan Tibet untuk meditasi dengan Dalai Lama, tokoh perdamaian dunia. Ia terus bertolak ke China untuk melatih chi-nya bersama dengan para Tao. Ia juga turut bersenang- senang dengan para Raelian di Las Vegas, melingkar bersama penyihir Wicca, dan berakhir ke Yerusalem, Palestina. Dalam literatur tasawuf, Tuhan itu cinta. Sayang sekali Kemal Al Taturk ketika berkuasa di Turki memberangus sufisme. Al-Taturk melarang sekua ajaran sufi. Sufisme dan ajaran agama dianggap tidak bisa menolong Turki dari ancaman. Mesjid- mesjid ditutup, azan dilarang, bahasa dan aksara Arab dilarang. Bahkan sampai sekarang plang mesjid tidak ada yang memakai aksara Arab. Jadi kalau mencari mesjid di kota Turki, bukanlah perkara mudah, kecuali pada tempat-tempat umum. Masih beruntung bagian dalam masjid masih kita temukan kaligrafi ayat- ayat tertentu. Atau menjelang shalat shubuh, sang imam yang juga seoranh qari' tetap melantunkan ayat- ayat suci al- Qur'an dengan suara syahdu. Membaca karya Weiner sangat mengasyikkan karena setiap halamannya selalu diselipkan kalimat- kalimat bijak yang menggugah, seperti: 1. Ketika dia menyaksikan sungai Gangga, ia menulis: ...Sungai Gangga yang kotor. Kita tidak bisa mendo'akan sebuah kebohongan ( h. 20). 2. India memiliki 330 juta dewa ( h. 20). 3. Rumi tetaplah bintang. Rumi adalah orang hebat, menulis di Konya, lahir di Balkh, Afghanistan, dan mahir pula menulis dalam bahasa Persia. Rumi bisa ke mana- mana. Ia sangat produktif dan berjiwa besar. Orang Afghanistan, Turki, Persia merasa memiliki Rumi ( h. 55). 4. Seyed Hossein Nasr: Zikir adalah menyerahkan seluruh kehendak, pikiran kepada Tuhan dan meletakkan seluruh raga kepada Tuhan (h. 48). 5. Rumi menggambarkan Islam. Tutuplah pintu telinga dan matamu, lihatlah ke dalam. Jangan lalukan apa pun. Hanya menyerah, berserah diri. ( h. 64). 6. Untuk membaca Rumi, engkau terlebih dahulu menemukan dirimu sendiri. Buku tentang kekasih hanya bisa dipahami oleh sang kekasih (h. 66). 7. Rumi: jangan palingkan matamu ke bumi untuk mencari pusaraku, karena pusaraku berada di hati orang-orang arif ( h. 66). 8. Ney adalah tangis jiwa yang menderita, Rumi ( h. 70). 9. Terlihatlah seperti yang terjadi atau jadilah seperti yang terlihat, Rumi ( h. 71). 10. Konsep zuhurat atau takdir. Tetapi tetap berusaha, kemudian bertawakkal. Ikuti saja kehendak-Nya (h. 73). 11. Masalahku, justeru itu solusiku, h. 79. 12. Menderita bukan berarti tumpul, tapi bertransformasi ( Pieter), h. 83. 13. Inspirasi itu seperti desah napas. Kita tidak tahu dari mana asalnya ( Weiner, h. 84). 14. Tari Semaa' seperti makan buah. Lezat, tapi sulit dijelaskan, h. 88. 15. Meskipun kau jatuh ribuan kali, mari, datanglah, datanglah, Rumi, h. 89. Demikianlah. Buku Weiner ini sangat kaya akan pengalaman spiritual yang dialaminya. Pengalaman- pengalaman spiritual tersebut sangat penting maknanya bagi kehampaan spiritual sekarang ini. Bahwa pengalaman keagamaan itu ada. Bahwa kehadiran Tuhan itu nyata. Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan tergantung pada bagaimana manusia mempersepsi-Nya. Sudahkah engkau menemukan Tuhan, tanya seorang perawat kepada Weiner. Pertanyaan itulah yang mengantarkannya berpetualangan " mencari" Tuhan sampai ke sudut- sudut dunia.