Gallery

Jumat, 12 Juli 2019

Launching Buku Prof. Dr. Nasaruddin Umar dan Tasyakuran 60 tahun

Di Hotel Grand Hyatt, Prof Nasaruddin Umar menggelar Launching 20 buku karya beliau. Banyak tamu dan sahabat serta mahasiswa beliau yang hadir. Deretan pejabat tinggi negara juga berdatangan. Prof Tito, sang Kapolri, dan mantan-mantan Kapolri juga hadir. Menteri Agama RI, H. Lukman Hakim Saifuddin juga hadir. Bahkan bapak H.M. Jusuf Kalla, wakil Presiden RI juga hadir membuka dan memberi sambutan, singkat, padat, dan renyah. Sejumlah tokoh-tokoh nasional tersebut silih berganti memberi testimony mengenai kiprah dan ketokohan pak Nasar. Acara diawali dengan pemutaran video singkat tentang perjalanan hidup sosok Prof Nasar. Tampak juga Ibunda Hj Shinta Nuriyah, Gus Dur. Saya sangat menikmati launching Buku tersebut, sambil membatin:...Prof Nasar hebat. Sebab, disamping 20 buku tersebut, Prof Nasar juga tengah mempersiapkan tafsir isyary yang bercorak tasawuf sekitar 20 jilid. Semoga karya monumental tersebut segera selesai. Sebagai bentuk al-tahadduth bi al-nikmah, saya ingin menyampaikan catatan reflektif, sebagai berikut: 1. Sebaik-baik kawan adalah buku. Buku baru adalah sumber inspirasi. Buku juga bisa menjadi sumber energi dalam kehidupan. Peluncuran buku karya Prof Nasaruddin Umar adalah spesial karena dirangkaikan dengan peringatan tasyakuran 60 tahun. Selamat kepada Pak Nasaruddin Umar yang telah dan terus berbagi ilmu. Kita harus membangun literasi bangsa Indonesia lewat buku. Sebab buku adalah anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya. Buku dapat menyimpan memori dan khazanah intelektual suatu bangsa. Buku juga dapat menjadi “penjaga” kewarasan bangsa. Prof Nasaruddin Umar sebagai akademisi, cendekiawan dan ulama tidak pernah berhenti menulis. Respon masyarakat atas karya-karya beliau cukup antusias dan menggembirakan. 2. Pak Nasar Umar di tengah-tengah kesibukannya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, rektor Perguruan Tinggi Islam (PTIQ Jakarta), Pembina Pondok Pesantren al-Ikhlas, Ujung Bone, nara sumber seminar dalam dan luar negeri, tetapi masih sempat menulis karya-karya yang inspiratif. Sekarang ini, era disrupsi di mana informasi membludak dan otoritas agama mengalami pergeseran. Dulu, informasi agama yang sahih hanya bisa diperoleh dari seorang ulama dan atau orang tertentu yang mendalami ilmu-ilmu agama. Sekarang, hampir semua informasi telah tersedia di Google dan media elektronik lainnya. Kita khawatir informasi yang tidak otoritatif tersebut akan memengaruhi kita, keluarga dan orang-orang yang kita cintai. Penerbitan buku adalah salah satu cara untuk menfilter informasi-informasi yang berseliweran tersebut. Dari buku-buku Pak Nasaruddin Umar tergambar bahwa beliau adalah pemikir tasawuf sekaligus sebagai pengamal tasawuf. Saya sangat menyambut baik buku-buku pak Nasar yang mempertegas perlunya tafsir agama yang moderat dan toleran. Buku-buku sebelumnya tentang jender juga sangat menarik. Sebab, pemahaman relasi jender yang tepat dapat memberi pencerahan bagi hubungan yang baik dalam keluarga. Kita tahu bahwa ketahanan sebuah bangsa sangat tergantung pada ketahanan keluarga. 3. Bagaimana mengimplementasikan nilai dan pesan dari sebuah buku? Prof Muhammad Nuh berpandangan bahwa pada sebuah buku, paling tidak memiliki tiga makna. Pertama, buku berfungsi untuk edukasi. Kehadiran sebuah buku adalah untuk mengedukasi masyarakat. Cara terbaik untuk melakukan sebuah perubahan fundamental sebuah masyarakat dan bangsa adalah lewat buku. Bahwa masuknya informasi pasti akan berdampak perubahan. Kedua, buku itu memberi pencerahan. Kehidupan itu biasa gelap dan tidak jelas, sehingga membutuhkan cahaya putih. Buku laksana cahaya yang menerangi. Fungsi ketiga, buku memiliki fungsi empowering, pemberdayaan. Melakukan pemberdayaan individu dan masyarakat. Konsep dasar buku-buku pak Nasaruddin Umar adalah Islam rahmatan li al-’alamin. Pak Nasar terus menyuarakan gagasan universalitas Islam. Bahwa misi yang melekat pada semua agama adalah kasih sayang terhadap sesama manusia bahkan untuk seluruh makhluk. Universalitas agama-agama itu adalah substansi agama. Kita sangat membutuhkan pembentukan karakter bangsa dan umat yang berbasis pada kasih sayang dan cinta. 4. Agama harus tampil mencerahkan. Bahwa agama harus mendamaikan dan mensejahterakan umatnya. Bahwa agama sejatinya mengajarkan dan menganjurkan kebaikan dan kemashlahatan bersama. Bahwa Islam wasathiyah harus menjadi common platform kita dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kita harus terus berdiskusi dan membuka "ruang dialog" untuk saling memperkaya dan mencari titik temu.  Islam Indonesia yang moderat, damai dan santun harus terus dirawat dan diperkuat agar dunia semakin damai, aman dan toleran. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana tatanan dunia Islam tanpa kehadiran Islam Indonesia. Pada sisi itulah makna kehadiran buku-buku Pak Nasaruddin Umar yang bercorak tasawuf yang mencerdaskan dan sekaligus mencerahkan umat. Makna kehadiran buku telah terbukti membangun peradaban. Sebab, buku dapat mengumpulkan serpihan-serpihan sejarah kemanusiaan yang panjang. Buku juga dapat memperpendek jarak waktu. Lewat buku pikiran para ulama dapat dibaca dalam sebuah buku pengantar studi Islam. Seakan-akan tidak ada jarak antara masa lalu dengan waktu sekarang. Selamat kepada Prof Nasaruddin Umar dan keluarga, dan semoga panjang umur serta terus menginspirasi umat dan anak-anak bangsa.

Filosofi Buku

Suatu hari saya menikmati berbagai koleksi Perpustakaan Nasional, di jl Medan Merdeka, Jakarta. Setelah puas membaca sejumlah buku, saya pun bergegas pulang ke kantor Kementerian Agama RI, Jl. Husni Thamrin, nomor 6, Jakarta Pusat. Sambil berjalan ke halaman depan perpustakaan yang megah itu, saya melirik ke samping kiri dan kanan. Ternyata pada ruang tamu di gedung depan terdapat satu dinding yang memuat pernyataan, pesan dan kesan para tokoh "perbukuan". Kata-kata dan "mantra" mereka, saya kutipkan sebagai berikut: 1. Bahkan Firman Tuhan disebut buku. (Prof. Dr. Koentowidjoyo, Sejarawan dan Novelis) 2. Perpustakaan adalah benteng terakhir kemanusiaan (Hawe Setiawan, 2014). 3. Dengan membaca, aku melepaskan diri dari kenyataan, yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca, aku tenggelam dan sedih (Ahmad Wahib). 4. Bukalah setiap buku sejarah. Sehalaman demi sehalaman. Akan tuan dapati si penjajah itu (Belanda) terlukis sebagai pedagang yang rakus (Cipto Mangunkusumo) 5. Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal (R.A Kartini). 6. Setiap tempat adalah sekolah. Setiap orang adalah guru. Setiap buku adalah ilmu. 7. Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan (Gus Dur). 8. Kutu-kutu lebih rajin membaca buku dibanding mahasiswa, juga dosen-dosennya. Perpustakaan bekerja amat santai, bahkan ada hari ketika perpustakaan menganggur sama sekali. Mahasiswa hanya menjadi konsumen komoditas eceran di pusaran ilmu (Nurcholis Madjid). 9. Membaca surat kabar, ibarat meminum air laut (St Roehana, Kudus). 10. Buku dan perpustakaan harus ditarik segaris dengan dimensi manusia. Berpacaranlah di perpustakaan. Sepi dan sejuk. Buku adalah guru yang tidak pernah marah. Buku adalah teman setia bersama anda, di mana saja, kapan saja, kecuali ketika menyelam di laut atau bersembunyi di kolong selama gerhana (Bondan Winarno). 11. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pramoedya Ananta Tour). 12. Kalau cuma makan. Binatang juga bisa makan. Lantas, kalau cuma pakaian, binatang juga punya bulu. Buku, bisa membaca, itulah yang membuktikan manusia punya keberagaman, punya kebudayaan, punya peradaban. (Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa). 13. Pembaca yang baik tidak ingin memperlakukan seperti orang dungu yang perlu dinasehati pengarang yang latah tanpa kepekaan, ibarat memancing atau menjaring di kolam mandul (Sejumlah esei sastra, Budi Darma).