Gallery

Jumat, 15 September 2017

Average is Over.....

Tyler Cowen menulis buku inspiratif dengan judul: Average is Over, Powering America beyond the age of the Great Stagnation, 2013. Hal yang biasa-biasa saja sudah berakhir. Kita harus mengembangkan keilmuan yang distingtif. Dalam kaitan ini, Tyler mengajukan beberapa pandangan, antara lain: 1. Relearning Education. One goal of better education is to procure better earnings. Satu tujuan pendidikan yang berkualitas adalah mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Pendidikan harus menyiapkan peserta didik untuk pencapaian ini. Para mahasiswa sedari awal sudah bisa melakukan plan of prosperity. Mereka sejak menginjakkan kaki di kampus harus sudah diarahkan untuk bisa merancang rencana hidup yang sejahtera. Dalam kontek ini pula perguruan tinggi, semestinya para mahasiswa diajarkan " global dexterity", ketangkasan global. Sehingga. mereka kelak tidak canggung dengan orang luar. Dalam situasi apa pun mereka dapat berinteraksi produktif. Mereka bisa mendongakkan kepala sejajar dengan bangsa lain. Itulah sebabnya, sehingga mereka harus dibekali dengan kemampuan bernegosiasi. Cross cultural studies juga diajarkan kepada para mahsiswa, apa pun program studi yang ditekuninya. Sebagai "warga dunia", kita sesungguhnya sudah menjadi "pekerja pada tingkat dunia" ( a global worker) -- meminjam istilah Andy Molinsky dalam bukunya Global Dexterity, (2013). Tidak ada lagi kualitas lokal. Tidak ada lagi toleransi untuk menawar standar akademik. Meskipun kita berada di daerah, kualitas harus tetap dijaga. Jangan sampai perguruan tinggi melahirkan sarjana ÿang tidak bisa bunyi". Ada gambar, tetapi tidak ada suara. Tugas insan Kampus harus memperbanyak jumlah middle class society. Sebab, negara yang maju dan tangguh adalah negara yang memiliki populasi middle class lebih banyak. Semakin banyak jumlah "kelas menengah" sebuah negara, maka semakin maju dan kuatlah negara tersebut. itulah sebabnya, kita sangat sulit menandingi Amerika, Kanada, dan Singapura. Sebab, negara-negara ini memiliki jumlah kelas menengah yang banyak. Jumlah entrepreneur negara Amerika sekitar 12%. Mindset mahasiswa harus berubah menjadi mentalitas pengusaha. Tidak semata- mata menjadi pegawai negeri sipil. Mahasiswa juga harus memiliki skill set. Keterampilan yang memadai harus menjadi prasyarat untuk bisa bersaing dengan angkatan kerja. Walhasil, untuk mencapai semua ini, maka mesin-mesin intelektual harus berfungsi. 2. New higher education models. Kita membutuhkan model pendidikan tinggi yang baru. We have entered revolutionary time. Kita sedang berada pada era revolusi. We live in extraordinary times, kata Bill Gates. Kita sedang hidup dan memasuki masa yang luar biasa. Perubahan demikian cepatnya terjadi. Chaotic era. Era yang karut marut. Informasi berseliweran. Untuk sukses dibutuhkan fokus. Sedikit saja menoleh, maka kita kehilangan kesempatan. Di kampus kita sedang berhadapan dengan New students. Mahasiswa yang maha terkonek (hyperconnected). MarkZuckerberg dengan facebooknya telah mengubah tatanan dunia global. Koneksitas. Silaturahim sudah berubah menjadi bertemu secara on line. Sehingga lahirlah Facebooker society. Masyarakat facebook. Masyarakat berubah dengan lifestyles yang baru. Manusia baru. Bertemu tetapi tidak bergaul terutama di kereta api, di bus, di pesawat, dst. 3. The end of average science. Era sekarang adalah Spesialisasi. Bahkan Hyperspecialization. Seperti dokter ahli ayam. Ada dokter Anak ayam betina. Ada dokter ahli Anak ayam jantan. Dokter ahli saraf. Dokter ahli jantung. Dokter ahli telinga kanan dan kiri, dan seterusnya. Kita tidak boleh lagi menjadi Syeikh Sagala. Semua serba tahu. Tahu banyak dalam sedikit. Tahu sedikit dalam banyak. Spesialisasi menjadi sangat penting.

Minggu, 03 September 2017

Nasehat Kematian

Adalah Ahmad ibn Hamid al Aswad datang kepada Ahmad ibn al- Mubarok. Aku bermimpi, engkau akan meninggal satu tahun lagi. Barangkali engkau akan bersiap- siap untuk keluar dari dunia. Ibn al- Mubarok berkata: setahun adalah waktu yang terlalu lama. Dalam hal kematian, aku sangat menyukai syair Abu Ali al Saggaf: Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang. Bersabarlah, siapa tahu engkau esok bertemu sang Kekasih. Jadi bagi sufi, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sehingga kita harus menghindarinya. Kematian justeru pintu untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Kematian adalah sesuatu yang sangat dirindukan.

Rindu Rasjidi

Prof H.M. Rasjidi adalah seorang sarjana muslim Indonesia yang tangguh. Beliau memiliki tradisi akademik timur tengah dan barat. Sedari kecil sudah hafal al- Quran 30 juz. Lahir di Kota Gudeg Yogyakarta. Beliau pernah tinggal di Mesir dan Kanada. Dan hal yang menarik, beliau mengambil program doktoralnya di Sorbonne University. Sorbonne University adalah universitas tua yang merupakan tempat belajar dan mengajar para orientalis. Prof Rasjidi juga adalah Menteri Agama RI yang pertama. Untuk mengenang jasa beliau, di Kemenag sekarang ada sebuah Aula yang diberi nama H.M. Rasjidi. Setiap membaca buku dan pikiran Prof Harun Nasution, saya selalu teringat H.M. Rasjidi. Dua buku laris karya Prof Harun Nasution dikritik habis Prof Rasjidi. Buku Filsafat dan Mistisisme Islam dan Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Sayang sekali, Prof Harun Nasution tidak memberikan bantahan atau komentar terhadap kritik H.M Rasjidi tersebut. Barangkali karena ketawadhuan beliau kepada H.M. Rasjidi sebagai mentor yang telah mengarahkan Prof Harun Nasution untuk mengambil studi doktoralnya di McGill University, Canada. Prof Harun ke Kanada atas jasa Prof Rasjidi. Atau barangkali karena Prof Harun sudah menyadari bahwa Prof Rasjidi tidak perlu ditanggapi karena beliau berbeda perspektif dalam masalah- masalah yang disampaikannya. Energi positif kita lebih baik diarahkan kepada hal- hal produktif demi kemajuan dan pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Saya tergelitik cara Prof Rasjidi mengkritik siapa pun yang dianggap melenceng. Dan saya kira tradisi akademik seperti ini juga perlu dilestarikan. Salah satu kritik Rasjidi yang menarik perhatian saya adalah ketika beliau mengkritik Dr Karel A. Steenbrink. Karel menulis penelitian serius lewat bukunya: Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Prof Rasjidi memberi tiga catatan, sebagai berikut: 1. Syarat untuk menulis sejarah adalah penghayatan atau intuisi--meminjam istilah Bergson, filosof Prancis. Yakni sikap bersatu dengan apa yang ditulisnya. Dalam hal ini kami merasakan kekuarangan ini. .....karena pengarang--Dr Karel-- pada dasarnya adalah seorang sarjana theologi Kristen. Cara penyajiannya terhadap peristiwa-peristiwa penting seperti Perang Diponegoro, Perang Padri dan Perang Aceh tidak dapat diterima dengan rasa puas, ibaratnya hidangan nasi goreng yang lezat tetapi banyak gabah yang tercampur dengan nasi. 2. Kita harus ingat bahwa sejarah adalah science conjecturale, pengetahuan dugaan, artinya kebenaran sejarah tidak seperti kebenaran ilmu eksperimental. Sejarah selalu mengandung unsur jiwa penulisnya, sedang matematika dan ilmu eksperimental mengandung kepastian yang sangat besar. 3. Abad ek-19, Indonesia belum mengetahui pengetahuan-pengetahuan modern sama sekali. Seluruh bangsa- bangsa Islam hidup dalam kungkungan kitab-kitab yang tertulis pada zaman stagnasi pemikiran. Demikian kritik Prof Rasjidi. Tajam dan tetap memegang kaidah- kaidah akademik. Itulah sebabnya, sehingga Prof Rasjidi biasa disebut sebagai "Benteng pertahanan Umat". Dulu, kita berharap tradisi kritik demikian itu dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Kita berharap banyak Ridwan Saidi--budayawan-- dan Dr Daud Rasyid bisa melanjutkannya. Tetapi ternyata tidak bisa melakukan hal yang sama. Tradisi kritik itu hanya berakhir pada era H. M Rasjidi.