Gallery

Rabu, 29 April 2020

Mendengarkan Suara dari Timur

"Alternative Voices": Mendengarkan Suara dari Timur Oleh Dr Muhammad Zain, Kepala Pusat Litbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi. Kita patut mengapresiasi prakarsa dosen-dosen muda IAIN Parepare untuk menulis buku inspiratif untuk memperkuat kajian-kajian moderasi beragama. Sehingga buku tersebut dapat dijadikan acuan civitas akademika kampus untuk terus berperan dalam meredam benih-benih konflik bernuansa identitas agama dalam lingkup kehidupan masyarakat secara luas. Saya menyaksikan antusiasme para penulis buku ketika saya menghadiri Focus Group Discussion (FGD), sore hari di pinggir pantai Pare-Pare. FGD tersebut dihadiri Kepala Pusat Penerbitan dan Publikasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Parepare, Dr M Ali Rusdi Bedong, M.HI., dan Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dr Muhiddin Bakry M.Ag., beserta para dosen penulis naskah buku. Setidaknya terdapat empat kekuatan Buku Moderasi Beragama ini, sebagai berikut: Pertama, buku ini memiliki konten yang menarik dan aktual dengan dinamika kehidupan keberagamaan di Indonesia. Ditambah lagi dengan para penulisnya merupakan dosen muda yang energik dan produktif serta memiliki semangat literasi yang baik. Khususnya dalam pengembangan khazanah keilmuan, kontribusi para penulis muda dibutuhkan sebagai penyegaran kembali kajian-kajian teks keagamaan yang didialogkan dengan realitas kekinian. Kedua, naskah buku ini menyajikan antologi kajian dari lintas rumpun keilmuan berbasis kajian teks yang menyasar konten historis, filosofis dan kontekstual. Para penulisnya menawarkan narasi alternatif dan solutif dalam mengurai kajian keagamaan dan kebangsaan yang integratif. Juga dikemas dengan bahasa yang sederhana, mendalam, cair dan lugas. Ketiga, buku ini merupakan khazanah penting, khususnya yang terbit dari ranah akademik PTKIN di bawah lingkup Kementerian Agama RI. Seperti jamak diketahui bahwa Kementerian Agama dan Kementerian/ Lembaga lainnya sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan pengarus-utamaan moderasi beragama dalam dinamika kebangsaan masyarakat Indonesia. Buku ini hadir untuk menyuarakan pesan-pesan agama yang konstruktif bagi terwujudnya kehidupan keagamaan yang damai, toleran dan sejuk. Keempat, buku ini dapat dijadikan sebagai sumber khazanah keilmuan bagi peningkatan dan penguatan literasi masyarakat, khususnya bidang moderasi beragama. Halmana, kecenderungan masyarakat majemuk di Indonesia sangat membutuhkan khazanah moderasi beragama yang secara aktif membangun semangat literasi moderasi, baik bagi para tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi maupun kaum muda milenial. Sesungguhnya model moderasi beragama dapat dipetik dari praktek hidup Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama dalam sirah al-nabawiyah dan para sahabatnya yang perlu direaktualisasi dalam dinamika kehidupan kebangsaan kita. Moderasi beragama itu sejatinya tak melulu bercermin dari Barat, bahkan Islam di masa awal pun sudah banyak memberikan nilai-nilai mendasar dan praktek moderasi beragama yang dapat dikontektualisasi di era disrupsi. Selain itu, kita berharap agar para dosen terus menulis dan turun tangan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya merawat keutuhan bangsa, salah satunya dengan memperkuat literasi moderasi beragama. Dosen tidak puas dengan hanya berdiri mengajar di ruang kuliah yang dibatasi oleh tembok-tembok beton. Dosen harus aktif melakukan kajian, riset dan menulis karya-akademik yang bermutu tinggi. Semoga dengan hadirnya buku ini sebagai ajang mendorong para dosen agar aktif menulis yang manfaatnya akan dirasakan masyarakat luas, di samping sebagai perwujudan pengembangan Tri Dharma perguruan tinggi bagi dosen. Wal hasil, saya ingin menutup pengantar ini dengan mengutip kisah alegoris Jalaluddin Rumi tentang universalitas agama-agama. Syahdan, telah terjadi pertemuan orang Yunani, Arab, Turki dan Persia. Ketika mereka dalam sebuah perjalanan didera lapar, mereka bersepakat untuk mengumpulkan uang untuk membeli sesuatu untuk dimakan. Di sini muncul masalah. Sebab, sang Yunani ingin membeli stafil, si Arab mau membeli inab. Si Persia menginginkan anggur, sementara si Turki hendak membeli uzum. Mereka mulai bertengkar. Untungnya, seorang bijak lewat dan melerai mereka. Beritahu saya, apa keinginan kalian sambil mengambil uang dari mereka. Beberapa saat kemudian sang bijak datang membawa beberapa macam anggur. Mereka pun sangat bergembira melihatnya karena ternyata sesuai dengan keinginan mereka semua. Barang yang dipertengkarkan ternyata hal yang sama. Agama secara universal adalah sama. Mereka terkadang berbeda dalam hal nama dan penamaan atas sesuatu. ( Henry Bayman, The Secret of Islam, h. xix). Petuah Rumi lagi...Kebenaran laksana selembar cermin di "Tangan Tuhan". Jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan-kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah (memungut) dan memiliki kebenaran secara utuh. Semoga kehidupan keberagamaan kita semakin dewasa, damai, toleran dan penuh pesona. Amin. Ciputat, Maret 2020

Senin, 20 April 2020

Kyai Sholeh Darat: dan Tafsir Bahasa Jawa

Sekilas tentang Kyai Sholeh Darat. Nama lengkap beliau al-Alim al-'Allamah al-Syeikh Muhammad Sholeh ibn Umar al-Samarani al-Jawi al-Syafi' i. Beliau adalah sosok ulama besar Semarang, Jawa Tengah. Ayah beliau adalah Kyai Umar, seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara, Semarang. Masih ada dua ulama kepercayaan Pangeran Diponegoro, yakni Kiyai Syada’ dan Kiai Murtadha Semarang. KH. Sholeh Darat, maha guru Raden Ajeng Kartini adalah pelopor tafsir Al-Qur’an terutama terjemah bahasa Jawa. R.A. Kartini muda adalah salah seorang santri Kiai Sholeh Darat. Kartini meminta Kiai Sholeh Darat agar surat al-Fatihah yang memiliki makna indah dan agung diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar masyarakat luas mengetahui makna dan pesan-pesan al-Qur’an. Bermula dari dialog singkat tersebut, dan argumentasi kritis Kartini, maka lahirlah al-Qur’an terjemah Bahasa Jawa yang menjadi kado pernikahan R.A. Kartini. Tradisi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa (daerah) terus dikembangkan oleh murid Kiai Sholeh Darat. Salah seorang di antaranya adalah Tafsir Anom V atau Tabshirul Anam dan Ki Bagus Ngarfah yang menulis terjemah Al-Qur’an berbahasa Jawa lengkap 30 juz. Patut dicatat, bahwa akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 terjadi perdebatan serius mengenai boleh tidaknya menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa ‘ajam (asing/ non Arab). Sayyid Usman, mufti Batavia dan kawan Dr Snouck Hurgronje, memberi fatwa haram menafsirkan/ menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, bahkan dianggap dosa besar. Demikian sekelumit catatan Dr Nico Kaptein dalam karyanya: Islam, Colonialism, and the Modern Age in the Netherlands East Indies: A Biography of Sayyid 'Uthman, 1822-1914 (Leiden & Boston: Brill, 2014). Kiai Sholeh dikenal sebagai ulama yang anti kolonialisme Belanda. Dalam karyanya Minhāj al-Atqiyā’ , Kyai Sholeh Darat melarang santrinya untuk menjadi pegawai pemerintah Belanda. Sebab, hal itu sama saja membantu pemerintahan Belanda yang zalim ( khadim al-dzulmah). Kiai Sholeh berupaya membentengi kaum wanita dari perilaku amoral seperti gaya hidup orang Eropa yang gemar meminum arak. Upaya lainnya, Kyai Sholeh Darat menulis karya-karyanya dengan huruf arab pegon agar tidak dicurigai kompeni Belanda. Saya pikir, maha karya Kiai Sholeh Darat ini sangat penting untuk terus dipopulerkan dan dikembangkan. Bahwa sepanjang hidupnya, Kiai Sholeh Darat terus melakukan perlawanan kepada Belanda melalui tulisannya tentang teks-teks keagamaan, seperti beliau memfatwakan haram memakai jas, dasi, dan topi yang menyerupai pakaian (kafir) Belanda. Fatwa ini didasarkan pada hadis Nabi: Man tasyabbaha bi qaum-in fahuwa minhum (siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka). Kiai Sholeh Darat juga dikenal sebagai seorang ulama sufi. Hal ini sangat jelas terungkap dalam karyanya ini, Faid al-Rahman fi Turjuman Tafsir al-Kalam al-Malik al-Dayyan dan dalam bukunya tentang haji yang berjudul Kitab Manasik al-Hajj wa al-Umrah wa adab al-Ziyarah li Sayyid al-Mursalin. Kedua kitab ini sangat sarat dengan tafsir sufistik dan penjelasan hikmah haji dari aspek tasawuf. Konon, pelaksanaan ibadah haji bisa ditunaikan dengan cara "terbang". Karya Faidh al-Rahman sangat penting hadir sekarang ini. Seperti jamak diketahui, bahwa karya ini sarat dengan makna isyari ( makna asrar/rahasia atau makna bathin ayat-ayat suci al-Qur'an). Tentu saja, menafsirkan al-Qur'an dengan tafsir isyari harus berhati-hati, dan tidak sembarangan orang. Salah satu syaratnya adalah terlebih dahulu harus memahami makna dzahir ayat. Kyai Sholeh Darat mengingatkan hadis Nabi shalla Allah 'laih wa sallama:...man fassara al -Qur'an bi ra'yih fal-yabawwa' maq'adahu min al-nar..Siapa saja yang menafsirkan al-Qur'an dengan nalar ( hawa nafsunya), maka sesugguhnya ia sedang mempersiapkan tempatnya di neraka. Maksudnya, siapa saja yang menafsirkan al-Qur'an hanya berlandaskan hawa nafsunya, tidak berdasarkan hadis Nabi atau ijtihad ulama al-'arifin ( ahli makrifat), maka tempatnya di neraka. Kyai Sholeh Darat mencontohkan tafsir Q.S. al- Nazi'at (79) ayat 17. Idzhab ila Fir'aun innahu thagha. Ada yang menafsirkan kata Fir'aun sebagai hawa nafsu. Tentu penafsiran seperti ini yang tidak berdasarkan kaidah tafsir dan penalaran keilmuan serta tidak mempertimbangkan fakta-fakta historis, tidaklah dibenarkan. Ada lagi orang yang tidak menunaikan shalat karena berpatokan pada ayat Q.S. al- Ma'un...fa wail li al- mushallin...Neraka Wail bagi orang yang melaksanakan shalat. Tafsir seperti ini hanyalah perbuatan kufur zindiq, semoga Allah swt menjauhkan kita dari perbuatan demikian itu. Demikian, sekilar pandangan Kyai Sholeh Darat yang dituangkannya dalam Kata Pengantar Kitab Tafsirnya itu. Lebih jauh Kyai Sholeh Darat menjelaskan tafsir Isyari Q.S al-Baqarah ayat 26. Bahwasanya Allah swt tidak malu membuat sebuah tamsil/perumpamaan meskipun dari seekor nyamuk atau lalat atau lebah. Tamsil, metaforis seperti ini dicemooh orang-orang kafir. Padahal, lanjut Kyai Sholeh Darat perumpamaan seperti itu pastilah memiliki makna rahasia. Yakni kehidupan spiritual manusia sesungguhnya bisa seperti nyamuk. Semua manusia tidak takut hatinya mati pada saat mencari isi perut. Nyamuk, ketika kenyang mudah dilumpuhkan dan dibunuh, sedang ketika ia sedang lapar, maka akan mudah terbang tinggi. Walhasil, semoga hadirnya terjemah kitab Faid ar-Rahman yang merupakan terjemahan dari saudara Dr. Ali Fahrudin dan saudari Asmaul Hanik, SS. ini memberi manfaat yang luas bagi perkembangan kajian studi Al-Qur’an di Indonesia yang bercorak al-isyari (sufistik). Sebagaimana kita ketahui, bahwa corak tafsir sufistik ini sudah berkembang sejak zaman awal Islam, misalnya mufassir Syekh Sahl al-Tustari dengan karyanya yang berjudul: Tafsir al-Tustari, Muhyiddin ibn ‘Arabi karyanya Futuhat al- Makkiyyah, Abdul Karim al-Qusyairi karyanya Latha'if al-Isyarat. Di kalangan Syiah, karya tafsir isyari ini juga sangat dikenal dan merupakan corak tafsir yang tidak ada habis-habisnya dan sangat kaya. Hal ini dapat dilihat dalam karya Allamah Syaikh al-Islam Muhammad Baqir ibn Muhammad Taqi al-Majlisi (1027-1110 H) dengan judul Bihar al-Anwar al-Jami’atu li Durari Akhbar al-Ai'mmat al-Athhar, yang biasa disingkat dengan nama Tafsir Bihar al-Anwar yang terdiri dari 110 jilid. Semoga terjemah Faid al-Rahman karya Kyai Sholeh Darat ini bermanfaat adanya dan menjadi amal jariyah intelektual bagi penulisnya. Dengan karya ini pula, kita tersambung secara intelektual dengan khazanah intelektual 100 tahun yang lalu. Dan semoga masyarakat luas mendapatkan manfaat dan pencerahan darinya. Jakarta, November 2019 Dr. Muhammad Zain, MA

Sabtu, 18 April 2020

Barat, Masihkah Terkuat?

Tahun 2000, kami sedang mengikuti program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil mata kuliah Oksidentalisme dibawah bimbingan Prof. H. Mukti Ali. Beliau menunjuk asisten Dr. Hj. Alef Theria Wasim, M.A. Ada beberapa buku yang menjadi bacaan wajib mahasiswa. Di antara yang saya ingat adalah: (a) James G. Carrier, Occidentalism: Images of the West, 1995, (b) Edward Said, Orientalism, dan (c) Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, 1991. Pada akhir perkuliahan, Prof. Mukti Ali mempersilakan kami untuk memberikan semacam executive summery atau refleksi pemikiran terhadap mata kuliah yang sedang dipelajari. Ada beberapa kawan yang memberikan komentar singkat. Setelah itu, Prof Mukti menutup kuliah dengan pernyataan singkat, “buku ini menggambarkan bahwa orang Timur (orient) itu di barat adalah bodoh-bodoh”. Kami menjadi kecut mendengar pernyataan singkat Prof Mukti Ali tersebut. Saya sendiri terperangah mendengarnya. Untuk sekian lama kita menekuni dan membaca buku ini baris demi baris, ternyata isinya hanya untuk menggambarkan bahwa orang timur itu bodoh, dan terbelakang. Orang Timur serba tidak bisa untuk memberdayakan dan memajukan bangsa dan dirinya. Mereka harus melibatkan dan mengandalkan orang Barat. Tentu era sekarang sudah sangat berbeda. Kishore Mahbubani menulis yang sebaliknya. Barat sudah tidak bisa lagi seenaknya mendikte timur. Timur sudah kuat. Apa yang dipersepsi sebagai Timur atau negara-negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk sekitar 5,6 M sudah tidak bisa dipandang remeh lagi. Superioritas barat sudah mulai dipertanyakan, dan bahkan melemah. Cina dan India sekarang merupakan “raksasa ekonomi dunia”. Cina sudah berdiri tegak “setara” dengan Amerika Serikat. John & Doris Naisbitt mencatat delapan pilar pemicu kekuatan kemajuan Cina dalam bukunya: China’s Megatrends the 8 Pillars of New Society, 2010. George Soros, sejak tahun 2006 sudah mengingatkan akan tanda-tanda kejatuan Amerika pasca tragedy 11 september. Dan hal itu sebagai pertanda akan kejatuhan dunia (barat). Soros menulis buku dengan judul: The Age of Fallibility the Consequences of the War on terror, 2006. Ia menulis: …if the United states fails to provide the right kind of leadership, our civilization may destroy itself…jika Amerika Serikat jatuh, itu pertanda peradaban dunia ikut hancur…

Kamis, 02 April 2020

Siap Jenderal!

Catatan singkat dari buku Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit, 2006, karya Atmadji Sumarkidjo. Ada banyak legacy yang ditinggalkan Jenderal Jusuf, antara lain: 1. Rumah Sakit Jaury Jusuf sebagai simbol cinta beliau kepada putera si mata wayangnya yang meninggal karena penyakit tetanus. Rumah Sakit ini terkenal dengan pelayanannya yang cepat. Juga RS ini sebagai tempat praktek bagi mahasiswa kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. 2. Gedung Manunggal ABRI, Makassar. Di gedung pertemuan ini, Jenderal Jusuf pernah berpidato sambil menunjuk jam yang tidak tepat waktu yang bertengger di dinding gedung. Kalau mau maju harus tepat waktu. Jenderal Jusuf ke mana-mana selalu memakai jam Rolex yang dibelinya di Amerika Serikat. Jam kesayangan beliau ini disimpan pada pergelangan tangan kanannya, dan tidak pernah telat semenit pun. 3. Mesjid al-Markaz al- Islamy. Mesjid termegah dan terbesar di kawasan Indonesia Timur. Prof Nurcholish Madjid adalah khatib pertama di masjid ini. Beliau menyampaikan kesan megah masjid ini. Jenderal Jusuf juga menyampaikan pidato singkat pada waktu itu. Kebetulan saya juga hadir pada jumat pertama itu. Prof Hassan Hanafi (intelektual terkemuka Mesir) juga pernah shalat jum'at di sana. Saya salah seorang yang ikut mengantar beliau. Karena beliau langsung duduk, maka saya membisik beliau. Prof, tahiyyat al- masjid. Dan secepat kilat beliau langsung berdiri, dan melaksanakan shalat tahiyyat al- masjid sebanyak dua raka'at. Setelah itu, beliau dipersilakan untuk menyampaikan kultum. Dan ada point yang saya ingat, beliau merasakan bahwa mesjid ini semegah masjid- masjid peninggalan Ottoman Empire di Istanbul Turki. 4. Jenderal Jusuf terkenal sebagai pemberani dan memiliki insting yang sangat kuat. Naluri kewaspadaan telah terbangun dari masa muda beliau. Dan ini tidak diperoleh dari latihan. Konon, Pak Jusuf dianggap memiliki ilmu kebal yanh dipelajarinya dari kampung halamannya, Bone. Meskipun isterinya sendiri, Bu Elly Jusuf tidak memercayai hal mistik yang satu ini. Terlepas ini semua, beliaulah yang melakukan operasi tangkap Andi Selle di Sungai Mamasa--setelah beliau berkuasa sekitar 10 tahun di Tanah Mandar. Pemberontakan Kahar Muzakkar berhasil dilumpuhkan di Pakue, Sulawesi Tenggara setelah pengintaian 10 bulan di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Jenderal M. Jusuf adalah salah seorang ajudan Kahar Muzakkar ketika mereka masih di Yogyakarta. Tewasnya Kahar Muzakkar menjadi peristiwa bersejarah karena di mata Jakarta DI/ TII menjadi persoalan nasional yakni ancaman disintegrasi bangsa. 5. Jenderal Jusuf dikenal sebagai " Jenderal Para Prajurit". Beliau merupakan panglima yang sangat menyayangi prajuritnya, memerhatikan kesejahteraan mereka, lauk- pauk prajuritnya, dst. Anak tentara dulu selalu mendapatkan jatah susu. Jenderal Jusuf pada setiap sidak selalu menanyakan nasib dan keadaan para prajuritnya. Bahkan urusan yang remeh-temeh biasa juga beliau tanyakan. Apa sudah punya pacar? Berapa kamar di rumah prajurit. Apa ada televisi? Bagaimana listriknya? Berapa anaknya?, Anggota TNI tidak boleh memiliki perut buncit, nanti kesulitan lari, dst. Sampai pada satu titik, Pak Jusuf sangat dicintai para prajuritnya ( h. 356). 6. Ada dua pesan Jenderal Jusuf yang patut dicatat. (a) Kalau kau mempunyai niat baik, buat apa kau takut kegiatanmu dilaporkan kepada siapa pun, pesan sang Jenderal bintang penuh ini kepada para karyawannya.. (b).....sebagai manusia kita harus dapat menjalin hubungan menurut harkat kemanusiaan yang sedalam-dalamnya ( h. 301). ...karena hubungan antar manusia itu akan bersifat kekal dan akan merupakan kekayaan yang paling besar dan tak ternilai harganya di bumi, demikian pesan beliau kepada anggota TNI dan karyawannya di BPK RI (h. 407). 7. Lahirnya perintah Supersemar dari Presiden Soekarno kepada Soeharto juga adalah peran penting yang dimainkan Jenderal Jusuf, Amirmachmud dan Jenderal Basuki Rachmat. Gonjang- ganjing naskah asli teks Supersemar belum juga reda sampai hari ini. Konon, Jenderal Jusuf pernah berkomitmen untuk menulis sejarah lahirnya Supersemar. Dan publik pun menunggu-nunggu. Dan kita percaya bahwa beliau menyimpan naskah yang asli. Terlepas dari itu semua, kita cukup prihatin dengan Arsip Nasional kita dan lembaga-lembaga terkait. Betapa dokumen yang demikian penting, kok bisa hilang. Padahal tahun diterbitkannya relatif sangat baru. Kalau kita bercermin kepada lembaga-lembaga arsip dunia tentu hal ini sangat memprihatinkan. Perpustakaan di Leiden, Belanda, London, Jerman, Amerika, Jepang, China, Turki dan negara-negara maju lainnya terkenal dengan kerapian dan ketekunan mereka dalam menyimpan arsip dan manuskrip. Dan tidak tanggung-tanggung manuskrip dan arsip yang dikonservasi adalah yang telah berumur ratusan tahun. Apa pun ceritanya, teks Supersemar yang sangat bersejarah itu masih menjadi teka-teki ( h. 186). 8. Ada peristiwa menarik pada detik- detik serah terima jabatan dari Jenderal Jusuf kepada dua penggantinya, Jenderal Poniman ( menteri pertahanan) dan Jenderal L.B. Moerdani ( Panglima ABRI). Seorang atase Amerika meminta pak Jusuf untuk memberikan kenangan kepada beliau. Ia meminta tongkat komando yang selama ini dipegang Jenderal Jusuf. Tongkat komando itu tidak biasa karena terbuat dari kayu khusus dari Sulawesi Selatan. Konon, tongkat komando pak Jenderal bertuah dan bisa menambah wibawa pemiliknya. Dan pada saat- saat genting, tongkat tersebut biasa dipukul-pukulkan ke meja. Tongkat komando itu sudah mengetuk entah berapa ribu kepala prajurit. Ketika pak Jenderal ditanya, mengapa tongkat itu diberikan kepada orang asing? Beliau menjawab, Kasihan dia. Dia sudah kena semprot banyak pihak ketika kita tidak jadi ke Amerika dulu! ( h. 402). 9. Ada lagi kebiasaan menarik pak Jenderal. Kalau keluar negeri, beliau selalu membawa dua paspor. Paspor hitam untuk perjalanan resmi sebagai pejabat, dan paspor cadangan yang memakai nama orang lain. Kalau pesawat kita dibajak dan mereka minta paspor, kita serahkan paspor cadangan supaya identitasnya tersamar, ujarnya. ( h. 297-298). Dengan segala prestasi gemilang di militer, dan sampai meraih jenderal penuh, pak Jusuf pada masa-masa akhir hidup beliau, tetap saja "dicurigai". Gerakannya dipantau, dan barangkali juga dibatasi. Barangkali hal ini terkait dengan suksesi nasional dan suhu perpolitikan nasional. Semoga kita bisa meneladani beliau, Jenderal para prajurit. Kita salut dan angkat topi kepada beliau yang terus konsisten menjaga marwah prajurit. Beliau juga tetap konsisten sebagai pejabat yang bersih meskipun sempat menjadi menteri perindustrian. Selamat jalan pak Jenderal. Semoga karya, tracd record dan amal kebaikan beliau selalu menjadi teladan dan inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Semoga beliau diterima di Sisi-Nya. Amin.