Minggu, 12 Agustus 2012
Mudik Lebaran
Tidak ada Lebaran tanpa mudik,
sebagaimana tidak ada Ramadhan tanpa tarawih.
(Andre Moller)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mudik bermakna (1) berlayar, pergi ke udik (hulu sungai atau pedalaman). Ada yang berpendapat bahwa mudik berasal dari kata udik, bahasa Betawi yang berarti kampung. (2) cak—bahasa Madura—pulang ke kampung halaman; seperti pada ungkapan: Seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. (3) memudik; berlayar mudik; tiga buah perahu nelayan berlayar memudik sungai; (4) memudikkan; menjalankan perahu ke arah hulu; seperti pada ungkapan: Para nelayan itu memudikkan perahunya ke daerah pedalaman. (5) pemudik, orang yang pulang ke kampung halaman.
Sesungguhnya Idul Fitri adalah idul shagir, perayaan kecil dalam Islam. Justeru Idul Adhha yang merupakan idul kabir, perayaan besar. Tapi tidak demikian di Indonesia. Yang terjadi justeru sebaliknya. Idul Fitri merupakan “puncak pengalaman hidup sosial keagamaan rakyat Indonesia”, demikian pandangan cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Nurcholish Madjid. Itulah sebabnya, sehingga krisis moneter, atau apapun namanya tidak mampu menghambat mobilitas massa umat Islam kembali ke kampung halaman. Tidak ada lebaran tanpa mudik, sebagaimana tidak ada Ramadhan tanpa tarawih. Demikian pendapat Andre Moller dalam karyanya: Ramdan di jawa, 2005, h. 258.
Heboh mudik lebaran. Sepertinya hanya di Indonesia yang memiliki tradisi mudik dan mobilitas massa kota ke desa demikian masifnya. Di belahan dunia muslim lainnya seperti Mesir, Maroko tidak semeriah Indonesia. Di Maroko, Arab Saudi, justeru pada perayaan Idul Qurban-lah demikian semaraknya. Bahkan di Maroko terkadang terlihat pemandangan yang unik, yakni mobil-mobil mewah mengangkut hewan-hewan kurban, kambing dan domba. Orang kayanya tidak peduli dengan mobil mewahnya yang penting mereka dapat segera menyembelih hewan kurban kepada yang lebih berhak menerimanya. Pejabat pemerintah, wirausaha, maasyarakat biasa atau siapa pun dia, maka dengan senang hati mengangkut hewan kurban dengan cara mereka masing-masing. Strata sosial dan perbedaan lainnya tidak terlihat di kala perayaan Idul Qurban.
Heboh mudik lebaran ada banyak dikisahkan. Bahkan Elie Mulyadi menceritakan pengalaman mudik dan rindu kampung halaman dalam buku yang ditulisnya dengan judul: Ramadhan di Musim Gugur, 2009. Buku ini menceritakan kisah-kisah seru, lucu, dan inspiratif sekitar mudik lebaran. Ada kisah pekerja kebun sawit yang sudah bertahun-tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Ketika mereka sudah memiliki cukup uang untuk pulang, merekapun bersepakat untuk mudik lebaran. Ada di antara mereka yang tak tahan dengan penderitaan yang melilit selama di rantau orang, sehingga ia memutuskan untuk membeli pakaian baru, baju baru, celana baru, kacamata baru. Parlente, kesannya. Ada juga yang tetap berpenampilan biasa-biasa saja agar tidak terlalu menyolok. Karuan saja, Paijo dan Jupri yang necis itu kehilangan koper pakaian dan berisi uang titipan kawannya dalam perjalanan kapal laut menuju Tanjung Priok. Jupri juga kehilangan dompet ketika naik metro mini dari Tanjung Priok menuju kampungnya. Hanya yang berpakaian lusuh yang selamat dari copet. Demikian seterusnya. Ada juga kisah Mbak Nurmala yang mudik ke Garut, tak tahunya ketemu jodoh dengan anak seorang Kyai di Bandung.
Ada juga kisah inspiratif seorang dokter (bidan) yang dilanda rindu pulang ke Padang setelah sekian lama tidak pulang kampung. Malam lebaran matanya tidak bisa tidur. Begitu rasa kantuk menderanya ternyata, seorang tukang becak mengetuk pintu kliniknya dengan kerasnya. Dan ternyata si tukang becak membawa Mini isterinya yang sudah mengerang kesakitan. Tolong bu dokter, pintanya. Rupanya ia hendak melahirkan, dan sudah pintu tujuh. Sebentar lagi Mbak Mini akan melahirkan. Setelah diperiksa dan istirahat sebentar, sang dokter membantunya untuk melahirkan. Dan Alhamdulillah, ia dan bayinya selamat. Dan Mbak Mini melahirkan bayi laki-laki. Sehat, dan ganteng. Tidak lama kemudian, si tukang becak, dan juga suaminya itu, dengan tersipu-sipu malu merogoh kantongnya, seraya berucap: ma’af bu dokter, hanya ini uang saya. Selembar uang dua puluh ribu rupiah. Bu dokter berpikir sejenak. Uang dua puluh ribu rupiah tentu sangat tidak mencukupi untuk ongkos mudik ke Padang, pikirnya. Segera ia mengambil uang dua puluh ribu rupiah tersebut, dan memasukkannya di amplop. Lalu amplop tersebut ditambahkannya dengan uang seratus ribu rupiah, dan menyerahkannya kepada si tukang becak, sambil berucap: ini hadiah lebaran untuk si kecil!. Allah akbar, Allah akbar. Maha besar Allah yang telah mengatur segalanya sehingga saya masih bisa menolong kelahiran baru bagi si kecil tadi. Ini adalah sebuah keajaiban. Demikian kisah-kisah menarik mudik lebaran. Ada kisah sukses. Ada kisah inspiratif. Ada kisah lucu. Ada kisah pilu tentunya.
Mudik sebagai pengejewantahan eksistensi diri. Sukses di rantau. Mereka akan berbagi cerita di kampung. Baik mereka yang sukses, atau mereka yang belum eksis juga tetap memiliki kerinduan akan kampung halaman. Ada masa-masa indah di kampung. Ada kearifan di sana. Tentu pemandangan kampung sangat berbeda dengan kota metropolis seperti Jakarta. Jakarta yang bising, hiruk-pikuk, penuh godaan. Kejamnya ibu tiri lebih kejam ibukota Jakarta. Sebaliknya, di desa, hidup sederhana, apa adanya, jujur, udara bersih, sawah ladang, air bersih, muka berseri-seri. Penduduknya hidup dengan tulus, bertutur kata yang sopan. Tutur katanya selaras dengan perangainya. Berbeda dengan orang kota yang hidup penuh dengan intrik. Sehingga kita sulit membedakan mana kawan, mana lawan. Hari ini sahabat, besok musuh bebuyutan. Demikian seterusnya.
Ada juga yang berpendapat, bahwa dengan tradisi mudik sangat berdampak pada distribusi dan pemerataan hasil pembangunan. Selama ini sekitar 70% uang hanya beredar di Jakarta. Dengan mudik, uang dapat merata ke seantero nusantara. Sebab, para pemudik biasanya pulang kampung dengan buah tangan, mereka pulang tentu bukan dengan sepuluh jari. Tangan kosong. Mereka biasanya membawa ole-ole, baju baru, kacamata baru, hand phone baru, dan mungkin juga membawa makanan ringan khas daerah tempat rantau. Pendek kata, para pemudik telah melakukan distribusi keuangan secara merata. Hasil-hasil pembangunan juga dirasakan oleh banyak orang. Dan sangat boleh jadi, para pemudik yang sukses akan membawa handai taulan, sanak family yang tertarik bertarung hidup di kota-kota metropolis. Atau setidaknya bagi para tetangga di kampung dapat menjadi spirit untuk masa depan mereka. Mereka para pemudik itu tentu akan berbagi cerita sukses atau kisah-kisah inspiratif lainnya. Suasana lebaran, betul-betul mereka manfaatkan untuk berbagi dengan sanak keluarga di kampung.
Dan dengan melihat penampilan mereka yang kece-kece dengan segala pernik-pernik dan asesoris yang melengket pada dirinya, mungkin juga dengan hand phone dengan aneka merek juga cukup menaruh perhatian bagi orang kampung. Mungkin juga dengan merek kendaraan yang mereka bawah. Entah itu milik sendiri, atau masih kendaraan dinas, atau mobil rental. Yang dulunya, sang pemudik itu, jangankan mobil mewah sepeda ontelpun mungkin sulit dimilikinya. Tentu dengan pemandangan demikian akan memberi pandangan lain bagi masyarakat kampung yang terbiasa dengan hidup dengan kesederhanaan, kebersahajaan. Entah itu positif, atau justeru sebaliknya.
Tradisi mudik pasca lebaran Idul Fitri juga terjadi di Turki, China-muslim. Mereka juga memiliki kebiasaan ziarah ke makam para leluhur. Seperti halnya di Jawa ada tradisi “nyekar”. Menjelang memasuki bulan Ramadhan, orang Jawa pulang kampung untuk ziarah ke makam orang tua. Atau bagi mereka yang masih meiliki orang tua, mereka berkunjung dan menyatakan berbakti kepada kedua orang tuanya. Jadi, dalil syar’i secara eksplisit, tradisi mudik tidak ada. Tetapi substansi mudik yaitu birr al-walidain, berbakti kepada kedua orang tua dapat ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S. al-Isra’(17): ayat 23-24):
(23) Tuhanmu telah memutuskan, janganlah menyembah yang selain Ia. Berbuatlah baik kepada ibu bapakmu—jika salah seorang dari keduanya, atau keduanya mencapai usia tua padamu. Janganlah katakana kepada mereka, “Cis!” dan janganlah bentak mereka, Tapi berkatalah dengan kata-kata yang hormat kepada mereka.
(24) Rendahkanlah hati terhadap keduanya karena kasih. Dan katakanlah, “Tuhanku! Kasisilah mereka (dengan kasih) Sebagaimana mereka mendidik aku semasa kecil.
Berbakti kepada kedua orang tua inilah yang sangat penting. Ada banyak orang sukses karena senantiasa memelihara dan memupuk birr al-walidain. Sebaliknya, ada banyak orang sukses yang “terjatuh”, bahkan bangkrut, biasanya karena sudah melupakan “asal-muasalnya. Mereka sudah melupakan jasa-jasa orang yang telah berbuat baik kepadanya. Mudik, kembali ke asal-muasal.
Mudik memiliki makna spiritual yang lebih mendalam lagi. Sesungguhnya mudik itu bisa dimaknai sebagai proses perjalanan ke asal. Mudik mengingatkan kita, bahwa siapa pun kita, dan sudah seberapa jauh kita melangkah, dan sudah berapa benua yang telah kita jajaki, pasti pada akhirnya kita akan kembali ke asal. Itulah makna Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan suatu waktu nanti pasti akan kembali kehadirat-Nya. Suatu malam, A’isyah—isteri terkasih Nabi-- menghidupkan lampu (lilin). Tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan memadamkan lampu (lilin) tersebut. Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama langsung berucap: Inna li Allah, wa inna ilaihi raji’un. A’isyah bertanya, bukankah kalimat tersebut hanya diucapkan pada saat ada yang kematian? Api tadinya dari tiada, kembali kepada tiada, jawab Nabi.
Semoga tradisi mudik lebaran dapat memberi penyadaran baru kepada kita bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk kembali kepada Yang Abadi. Semoga Allah Swt tetap menuntun kita menjadi hamba yang selalu kembali ke jalan-Nya, dan menuai kehidupan sorgawi. Wa ja’alana wa iyyakum minal a’idin wa al-fa’izin. Taqabbal ya kariem. Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar