Gallery

Kamis, 02 Februari 2012

Azan, Gaduh, dan Bising

Suatu hari saya membaca SDP di sebuah Koran Nasional. Adalah Ali Audah, seorang sastrawan dan penerjemah al-Qur’an, karya Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an. Beliau ini terkenal dengan seorang sastrawan yang otodidak, tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia belajar a,b,c,d…justeru dari goresan-goresan di atas tanah.
Ali Audah mengeluh dengan suasana azan shubuh di Bogor yang suasana sangat gaduh. Mungkin saja beliau kebetulan waktu tidurnya justeru setelah shalat shubuh karena beliau menulis dan membaca sampai dini hari. Apakah azan yang suara yang keras masih relevan sekarang ini? Sebab, azan itu dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada khalayak bahwa waktu shalat telah tiba. Dulu pada masa Nabi Shalla Allah ‘alaih wa sallama, belum dikenal adanya jam atau wekker. Sehingga, setiap waktu shalat suara mu’azzin sangat penting.
Bagaimana dengan orang yang sedang sakit/ bagaimana dengan seorang bayi atau anak kecil yang sedang sakit? Apakah mereka juga butuh azan? Bagaimana dengan orang tua yang sudah uzur, apakah mereka juga butuh suara azan?
Saya jadi teringat suasana kota Kairo, Mesir. Di Mesir azannya seragam, indah dan syahdu. Setiap waktu shalat tiba, maka serentak seluruh penjuru kota terdengar azan yang seragam. Serentak, seragam, dan syahdu. Tentu berbeda dengan di Indonesia. Saya juga teringat dengan suasana kota Shana’a Yaman. Azannya disamping tidak syahdu juga tidak seragam. Kelompok sunny lafaz azannya sama dengan mayoritas umat Islam di Indonesia. Sedang bagi kelompok syi’ah, terdengar suara azan yang berbeda. Terutama pada shubuh hari. Di Indonesia dan kebanyakan Negara-negara yang berpenduduk muslim mayoritas, ada tambahan lafaz: al-shalat-u khair-un min al-naum ( shalat lebih baik daripada tidur). Bagi kelompok syi’ah, lafaznya berbeda, yakni: al-shalat-u ‘ala khair al-‘amal ( seruan untuk melaksanakan shalat sebagai wajud kebaktian yang lebih utama). Ditambah lagi dengan suara yang tidak merdu. Padahal, dalam tata karma azan, mestinya yang azan itu adalah mereka yang memiliki suara yang merdu. Pada masa Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama, Bilal ibn Rabah itulah yang ditunjuk sebagai mu’azzin professional. Bilal memiliki suara yang merdu. Itulah sebabnya, biasanya di kampung, tukang azan itu diberi gelar: “bilal”.
Di barat ada orang tertentu yang rindu azan terutama bagi mereka yang mengambil program Ph.D di barat. Rindu akan suasana kampung mereka.

Bojong gede, 1 Pebruari 2012

Tidak ada komentar: