Sekarang ini, intelektual asketis—meminjam istilah
J. Oetama, Pendiri Koran Kompas--sangat dibutuhkan. Sekarang ini banyak intelektual hatta professor yang menjadi “dosen
asongan”. Mereka lebih memilih menjadi staf ahli di Kementerian tertentu atau bertindak
sebagai penasehat di kantor pemerintahan. Bagi mereka kampus hanyalah sebagai
“tempat nebeng”. Sebetulnya tempat kerja yang sebenarnya di kantor pemerintah
dan bukan lagi di kampus. Hidup dan sepak terjangnya bukan lagi di kampus.
Habit mereka juga bukan lagi di kampus.
Tanggal 25 Pebruari
2012, saya berkunjung ke kediaman Prof Mulyadhi Kartanegara, Panorama Serpong.
Saya penasaran, apa yang sedang dikerjakan oleh professor yang sangat produktif
ini. Di rumah beliau yang asri, saya langsung masuk di ruang kerja beliau.
Sudah tersedia banyak karya beliau yang tergeletak di atas karpet merah yang bermotifkan
Iran atau Turki. Saya segera saja memasuki pembicaraan seputar kegiatan dan
rutinitas beliau dalam melakukan penerjemahan karya-karya klasik khazanah intelektual
Islam, seperti filsafat, kalam, dan tasawuf.
Saya berdiskusi sekitar
gerakan intelektual Ikhwan al-Shafa dan karya monumentalnya, kitab Rasa’il yang memuat berbagai hal.
Sepertinya karya ensiklopedis.
Saya larut dalam diskusi.
Kami bergantian membaca secara detail terjemahan kitab Rasa’il. Saya mendapat banyak pengetahuan. Secara ringkas dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1.
Ilmu
al-nisbah, ilmu proporsi. Semua harus sesuai dengan
proporsinya. Seperti melodi dalam musik harus ada keseimbangan antara nada
tinggi dan rendah. Kalau nada-nada ini tidak sesuai dengan proporsinya pasti
bunyinya akan sumbang. Demikian pula halnya dengan racikan obat. Semua komponen obat harus sesuai dengan proporsinya.
Racikan obat yang proporsional akan menyehatkan dan memberi mashlahat bagi yang
meminumnya. Sebaliknya, kalau racikannya tidak sesuai proporsinya, maka akan
menjadi racun. Lukisan demikian pula halnya. Harus terjadi keserasian antara
warna yang diletakkan pada lukisan sehingga lukisan tersebut menjadi indah dan
menarik. Timbangan juga harus sesuai dengan proporsinya. Tulisan juga demikian
halnya harus ada keserasian antara huruf alif, dan ba’—panjang dan pendeknya.
Demikian seterusnya. ( Fashl-un fi
fadhilat ‘ilm al-nisbah al-‘adadiyah wa al-handasiah wa al-musiqiyah. (
Fashal yang membahas keutamaan ilmu proporsi aritmatika, geometri dan musik, Kitab Rasa’il, Jilid I, h. 251).
2.
Ada kisah menarik yang mengandung hikmah
dan pembelajaran antara Majusi ( Zoroaster) dan Yahudi. Orang Yahudi berbuat
baik, dan kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri. Mereka hidup dengan tradisi
demikian. Itu juga yang diajarkan para tokoh agama Yahudi. Kebaikan hanya untuk
diri dan kelompoknya saja. Sementara orang Majusi berkeyakinan bahwa kebaikan hendaknya
juga dirasakan oleh orang lain termasuk di luar kelompok kita. Orang Majusi
percaya akan kemaha-adilan Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan mendapatkan
pertolongan Tuhan, dan sebaliknya siapa yang berbuat buruk, maka akan mendapat
teguran dan siksaan yang setimpal dari Tuhan. Suatu hari sang Majusi dan Yahudi
mengadakan perjalanan dengan melalui padang pasir. Si Majusi ( Khusyak)
mengendarai keledai dan dipenuhi dengan persiapan bekal dan kebutuhan selama perjalanan.
Sedang si Yahudi hanya berjalan kaki dan
tidak membawa bekal apa-apa. Di tengah jalan, si Yahudi kehausan dan meminta
tolong kepada si Majusi agar sudi memberinya makan dan minum. Bahkan si Yahudi
meminta si Majusi agar meminjamkan keledainya. Si Majusipun tanpa curiga,
memberi si yahudi semua yang dimitanya. Sebab, si Majusi berkeyakinan dan
agamanya memberinya ajaran demikian. Setelah perjalanan jauh, si Majusi kehausan
dan kelelahan. Dia minta si Yahudi agar bergantian. Apa lacur, si Yahudi
melesat dengan keledai si Majusi dengan membawa seluruh perbekalannya, sambil
berucap: bukankah sudah kukatakan tadi, bahwa keyakinan saya dan agama saya
mengajarkan bahwa kebaikan itu hanya untuk diri sendiri dan kelompok saja, dan
bukan untuk orang lain. Akhirnya si Majusi sangat letih dan ingat akan ajaran
agamanya, bahwa Tuhan di atas sana pasti tidak tidur. Tuhan Maha Adil. Tuhan
pasti akan menolong hambanya yang teraniaya. Si Majusi menengadahkan kedua
tangan dan menghadap ke langit seraya berdo’a, ya Tuhan hambamu lagi dalam
kesulitan karena tipu mushlihat si Yahudi. Berikanlah hukuman yang setimpal
sesuai dengan ke-Maha adilan-Mu. Seketika itu, si Yahudi terpelanting jatuh dan
lehernya patah. Maka si Majusi pun mengambil-alih keledai dengan barang
bawaannya. Dan si Yahudi meminta tolong. Si Majusipun masih mau menolongnya.
Lalu, ada pertanyaan, mengapa si Majusi masih mau menolong si Yahudi? Karena
dia sudah meminta ma’af. Dari kisah ini, pelajaran yang dapat diambil adalah
seseorang dapat berbuat apa saja karena dipengaruhi oleh keyakinannya.
3.
Musik mengandung pelajaran yang sangat
tinggi mengenai kehidupan yang harmonis. Melodi dan perbedaan nada dalam musik
dapat menginspirasi kita untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. Ada nada
rendah dan tinggi, kalau semua sesuai proporsinya maka akan melahirkan nada
yang serasi. Enak didengar dan bisa menghibur jiwa.
4.
Ada kisah pengadilan antara binatang, manusia,
dan raja jin menjadi hakim yang adil. Para binatang bertanya: apa justifikasi
bagi manusia memperlakukan bangsa binatang semaunya saja? Ada 23 argumentasi
yang diajukan manusia, dan semuanya dibantah oleh para binatang. Ada banyak
dalil yang dibacakan oleh manusia, tapi dibantah oleh binatang. Ada lagi
argumentasi bahwa manusia memiliki bentuk tubuh yang baik dan dapat berdiri
tegak sebagai bukti nyata bahwa manusia memang ditakdirkan untuk menjadi
penguasa. Sedang hewan hanya tunduk. Yang tunduk berarti hamba. Juru bicara
binatang menimpali, mengapa ada juga kelompok manusia yang menjadi budak? Ada
juga ulama yang korupsi, yang berperangai sangat buruk. Adu argumentasi ini dibahas
sebanyak 240 halaman.
5.
Ada lagi kisah tentang Abu al-Hasan Bahmaniar
(w.458 H) murid Ibnu Sina. Ia menulis kitab al-Tahshil
yang memuat penjelasan dan kelanjutan pandangan filsafat Ibnu Sina. Waktu
kecil ia bertemu dengan Ibnu Sina. Ia mau membawa bara api, tapi Bahmaniar
tidak membawa apa-apa. Lalu Ibnu Sina bertanya: “Dengan apa anda bisa membawa
bara api itu? Mengapa anda tidak membawa peralatan untuk membawa bara api? Bahmaniar
menjawab: “Saya akan mengambil tanah, baru bara api itu saya letakkan di atas
tanah tadi. Ibnu Sina melihat kecerdasan luar biasa pada anak ini. Sejak itu, Bahmaniar
menjadi murid terkasih Ibnu Sina. Bahmaniar awalnya seorang yang Bergama
Hindu/Buddha.
6.
Kembali ke Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau
adalah Guru besar pada Fakultas Ushuluddin dan Agama Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah alumni Chichago University U.S.A. ia
terkenal dengan seorang penulis kreatif. Mungkin juga Pak Mulyadhi dapat
dikategorikan sebagai intelektual asketis. Yakni seorang guru besar yang hanya
mewakafkan diri, pikiran dan tenagnya untuk pengabdian total kepada
pengembangan ilmu pengetahuan. Ia sudah banyak menelorkan karya ilmiyah, seperti:
(a) Renungan Mistik Jalal al-Din Rumi,
(1987), (b) Mozaik Khazanah Islam: Bunga
Rampai dari Chicago, 2000; (c) Menembus
Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, 2002; (d) Menyibak Tirai Kejahilan. Pengantar Epistemologi Islam, 2003; (e) Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair
Agung, 2004; (f) Seni Mengukir Kata:
Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif, 2005; (g) Integrasi Ilmu: Sebuah Pendekatan Holistik, 2005; (h) The Best Chicken Soup of the Philosophers
dari Thales Hingga aln-Nafis—terjemahan dari disertasi beliau yang
berjudul: Mukhtashar Shiwan al-Hikmah
yang memuat 900 kearifan; (i) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, 2006; (j) Menyelami
Lubuk Tasawuf, 2006, dll.
Semoga kita dapat mencontoh
professor Mulyadhi Kartanegara yang secara konsisten mengabdikan diri untuk
tugas keilmuan. Amin.
Wa
Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar