Gallery

Rabu, 29 Februari 2012

Intelektual Asketis

Sekarang ini, intelektual asketis—meminjam istilah J. Oetama, Pendiri Koran Kompas--sangat dibutuhkan. Sekarang ini banyak intelektual hatta professor yang menjadi “dosen asongan”. Mereka lebih memilih menjadi staf ahli di Kementerian tertentu atau bertindak sebagai penasehat di kantor pemerintahan. Bagi mereka kampus hanyalah sebagai “tempat nebeng”. Sebetulnya tempat kerja yang sebenarnya di kantor pemerintah dan bukan lagi di kampus. Hidup dan sepak terjangnya bukan lagi di kampus. Habit mereka juga bukan lagi di kampus.
Tanggal 25 Pebruari 2012, saya berkunjung ke kediaman Prof Mulyadhi Kartanegara, Panorama Serpong. Saya penasaran, apa yang sedang dikerjakan oleh professor yang sangat produktif ini. Di rumah beliau yang asri, saya langsung masuk di ruang kerja beliau. Sudah tersedia banyak karya beliau yang tergeletak di atas karpet merah yang bermotifkan Iran atau Turki. Saya segera saja memasuki pembicaraan seputar kegiatan dan rutinitas beliau dalam melakukan penerjemahan karya-karya klasik khazanah intelektual Islam, seperti filsafat, kalam, dan tasawuf.
Saya berdiskusi sekitar gerakan intelektual Ikhwan al-Shafa dan karya monumentalnya, kitab Rasa’il yang memuat berbagai hal. Sepertinya karya ensiklopedis.
Saya larut dalam diskusi. Kami bergantian membaca secara detail terjemahan kitab Rasa’il. Saya mendapat banyak pengetahuan. Secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Ilmu al-nisbah, ilmu proporsi. Semua harus sesuai dengan proporsinya. Seperti melodi dalam musik harus ada keseimbangan antara nada tinggi dan rendah. Kalau nada-nada ini tidak sesuai dengan proporsinya pasti bunyinya akan sumbang. Demikian pula halnya dengan racikan obat.  Semua komponen obat harus sesuai dengan proporsinya. Racikan obat yang proporsional akan menyehatkan dan memberi mashlahat bagi yang meminumnya. Sebaliknya, kalau racikannya tidak sesuai proporsinya, maka akan menjadi racun. Lukisan demikian pula halnya. Harus terjadi keserasian antara warna yang diletakkan pada lukisan sehingga lukisan tersebut menjadi indah dan menarik. Timbangan juga harus sesuai dengan proporsinya. Tulisan juga demikian halnya harus ada keserasian antara huruf alif, dan ba’—panjang dan pendeknya. Demikian seterusnya. ( Fashl-un fi fadhilat ‘ilm al-nisbah al-‘adadiyah wa al-handasiah wa al-musiqiyah. ( Fashal yang membahas keutamaan ilmu proporsi aritmatika, geometri dan musik, Kitab Rasa’il, Jilid I, h. 251).
2.      Ada kisah menarik yang mengandung hikmah dan pembelajaran antara Majusi ( Zoroaster) dan Yahudi. Orang Yahudi berbuat baik, dan kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri. Mereka hidup dengan tradisi demikian. Itu juga yang diajarkan para tokoh agama Yahudi. Kebaikan hanya untuk diri dan kelompoknya saja. Sementara orang Majusi berkeyakinan bahwa kebaikan hendaknya juga dirasakan oleh orang lain termasuk di luar kelompok kita. Orang Majusi percaya akan kemaha-adilan Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan mendapatkan pertolongan Tuhan, dan sebaliknya siapa yang berbuat buruk, maka akan mendapat teguran dan siksaan yang setimpal dari Tuhan. Suatu hari sang Majusi dan Yahudi mengadakan perjalanan dengan melalui padang pasir. Si Majusi ( Khusyak) mengendarai keledai dan dipenuhi dengan persiapan bekal dan kebutuhan selama perjalanan.  Sedang si Yahudi hanya berjalan kaki dan tidak membawa bekal apa-apa. Di tengah jalan, si Yahudi kehausan dan meminta tolong kepada si Majusi agar sudi memberinya makan dan minum. Bahkan si Yahudi meminta si Majusi agar meminjamkan keledainya. Si Majusipun tanpa curiga, memberi si yahudi semua yang dimitanya. Sebab, si Majusi berkeyakinan dan agamanya memberinya ajaran demikian. Setelah perjalanan jauh, si Majusi kehausan dan kelelahan. Dia minta si Yahudi agar bergantian. Apa lacur, si Yahudi melesat dengan keledai si Majusi dengan membawa seluruh perbekalannya, sambil berucap: bukankah sudah kukatakan tadi, bahwa keyakinan saya dan agama saya mengajarkan bahwa kebaikan itu hanya untuk diri sendiri dan kelompok saja, dan bukan untuk orang lain. Akhirnya si Majusi sangat letih dan ingat akan ajaran agamanya, bahwa Tuhan di atas sana pasti tidak tidur. Tuhan Maha Adil. Tuhan pasti akan menolong hambanya yang teraniaya. Si Majusi menengadahkan kedua tangan dan menghadap ke langit seraya berdo’a, ya Tuhan hambamu lagi dalam kesulitan karena tipu mushlihat si Yahudi. Berikanlah hukuman yang setimpal sesuai dengan ke-Maha adilan-Mu. Seketika itu, si Yahudi terpelanting jatuh dan lehernya patah. Maka si Majusi pun mengambil-alih keledai dengan barang bawaannya. Dan si Yahudi meminta tolong. Si Majusipun masih mau menolongnya. Lalu, ada pertanyaan, mengapa si Majusi masih mau menolong si Yahudi? Karena dia sudah meminta ma’af. Dari kisah ini, pelajaran yang dapat diambil adalah seseorang dapat berbuat apa saja karena dipengaruhi oleh keyakinannya. 
3.      Musik mengandung pelajaran yang sangat tinggi mengenai kehidupan yang harmonis. Melodi dan perbedaan nada dalam musik dapat menginspirasi kita untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. Ada nada rendah dan tinggi, kalau semua sesuai proporsinya maka akan melahirkan nada yang serasi. Enak didengar dan bisa menghibur jiwa.
4.      Ada kisah pengadilan antara binatang, manusia, dan raja jin menjadi hakim yang adil. Para binatang bertanya: apa justifikasi bagi manusia memperlakukan bangsa binatang semaunya saja? Ada 23 argumentasi yang diajukan manusia, dan semuanya dibantah oleh para binatang. Ada banyak dalil yang dibacakan oleh manusia, tapi dibantah oleh binatang. Ada lagi argumentasi bahwa manusia memiliki bentuk tubuh yang baik dan dapat berdiri tegak sebagai bukti nyata bahwa manusia memang ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Sedang hewan hanya tunduk. Yang tunduk berarti hamba. Juru bicara binatang menimpali, mengapa ada juga kelompok manusia yang menjadi budak? Ada juga ulama yang korupsi, yang berperangai sangat buruk. Adu argumentasi ini dibahas sebanyak 240 halaman.
5.      Ada lagi kisah tentang Abu al-Hasan Bahmaniar (w.458 H) murid Ibnu Sina. Ia menulis kitab al-Tahshil yang memuat penjelasan dan kelanjutan pandangan filsafat Ibnu Sina. Waktu kecil ia bertemu dengan Ibnu Sina. Ia mau membawa bara api, tapi Bahmaniar tidak membawa apa-apa. Lalu Ibnu Sina bertanya: “Dengan apa anda bisa membawa bara api itu? Mengapa anda tidak membawa peralatan untuk membawa bara api? Bahmaniar menjawab: “Saya akan mengambil tanah, baru bara api itu saya letakkan di atas tanah tadi. Ibnu Sina melihat kecerdasan luar biasa pada anak ini. Sejak itu, Bahmaniar menjadi murid terkasih Ibnu Sina. Bahmaniar awalnya seorang yang Bergama Hindu/Buddha.

6.      Kembali ke Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah Guru besar pada Fakultas Ushuluddin dan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia adalah alumni Chichago University U.S.A. ia terkenal dengan seorang penulis kreatif. Mungkin juga Pak Mulyadhi dapat dikategorikan sebagai intelektual asketis. Yakni seorang guru besar yang hanya mewakafkan diri, pikiran dan tenagnya untuk pengabdian total kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Ia sudah banyak menelorkan karya ilmiyah, seperti: (a) Renungan Mistik Jalal al-Din Rumi, (1987), (b) Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, 2000; (c) Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, 2002; (d) Menyibak Tirai Kejahilan. Pengantar Epistemologi Islam, 2003; (e) Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, 2004; (f) Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif, 2005; (g) Integrasi Ilmu: Sebuah Pendekatan Holistik, 2005; (h) The Best Chicken Soup of the Philosophers dari Thales Hingga aln-Nafis—terjemahan dari disertasi beliau yang berjudul: Mukhtashar Shiwan al-Hikmah yang memuat 900 kearifan; (i) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, 2006;  (j) Menyelami Lubuk Tasawuf, 2006, dll.
Semoga kita dapat mencontoh professor Mulyadhi Kartanegara yang secara konsisten mengabdikan diri untuk tugas keilmuan. Amin.
Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar: