Gallery

Selasa, 14 Februari 2012

Sekilas Islam Awal

          Mengenai gambaran masyarakat Arab Pra-Islam M. Ira Lapidus menjelaskannya, sebagai berikut:
Masyarakat Islam dibangun di atas framework peradaban Timur Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Dari peradaban Timur Tengah pra-Islam, masyarakat Islam mewarisi pola institusi yang turut membentuk keadaan mereka sampai pada zaman modern.
Sejumlah institusi tersebut mencakup tatanan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab), kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistic, dan imperium birokratis. Meskipun lahir di Mekkah, peradaban Islam mempunyai leluhur di Palestina dan Babylonia.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah umat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental: asal usul dan struktur sejarah yang tengah berlangsung. Aspek pertama yang merupakan organisasi masyarakat manusia menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan juga kelompok yang bercorak kekeluargaan. Masyarakat berburu dan gerombolan pada masa yang paling awal hidup dan tersebar pada sebagian besar wilayah Timur Tengah yang cukup luas dalam ikatan kelompok-kelompok kecil. Semenjak berlangsung pola kehidupan pertanian dan pemeliharaan binatang ternak sebagian besar masyarakat Timur Tengah telah hidup dalam perkampungan pertanian atau dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[1]
          Lebih lanjut Toshihiko Izutzu menggambarkan karakter masyarakat Arab  [Badui] yang terkenal kasar dan keras. Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat Jahiliyah. Jahiliyah bukan lawan kata dari al-‘ilm (berpengetahuan) sebagaimana dipahami selama ini. Jahiliyah kurang tepat diartikan sebagai kebodohan. Jahiliyah lebih tepat dimaknai sebagai h}a>miyat al-ja>hiliyah (arogansi kejahiliyahan). Jahiliyah lebih tepat dilawankan dengan al-h}ilm (kasih sayang, santun dan murah hati). Seruan untuk senantiasa berbuat kebajikan (al-ih}sa>n), berbuat adil (al-‘adl), larangan berbuat sewenang-wenang (al-z}ulm), perintah untuk mengendalikan hawa nafsu, larangan untuk arogan, sombong, dan congkak adalah manifestasi dari sifat al-h}ilm.[2]
Jadi, Jahiliyah pada awalnya dipakai untuk hubungan disharmonis antara  manusia dengan manusia lainnya. Sikap arogansi, angkuh, merasa lebih kaya dan berkuasa dengan yang lainnya, mengejek orang yang lebih rendah dari dirinya, baik secara ekonomi maupun politis adalah sederetan sikap dan perilaku Jahiliyah. Belakangan, Jahiliyah baru dipakai sebagai bentuk “perlawanan” kepada hukum-hukum Tuhan.[3]
          Lain halnya dengan Ibn Khaldun yang membandingkan keutamaan masyarakat Badui (al-bada>wah) dengan masyarakat metropolis (al-h}ad}a>rah) dalam hal menjaga kesucian garis keturunan dan menghormati tamu (ikra>m al-d}uyu>f).[4]  Masyarakat Badui sangat ketat dalam menjaga kehormatan keluarga dan kesucian nasab (garis keturunan). Bahkan hukum rajam (hukum mati bagi pelaku zina) sangat boleh jadi merupakan hukum masyarakat Badui yang dielaborasi oleh Islam.
          Bangsa Arab sangat memperhatikan garis keturunan agar mereka dapat saling tolong-menolong di antara mereka. Sehingga para geneolog mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Genealog (nassabah) mendapatkan tambah ta’ marbutah untuk gelar kehormatan. Sama halnya dengan al-‘alla>mah (maha guru) atau al-fahha>mah (cerdik-pandai) dipakai untuk menggambarkan kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang.
          Seseorang yang tidak jelas nasab-nya atau sudah keluar dari kelompok sukunya, maka hidupnya akan terancam. Bahkan, kalau ia terbunuh, tidak ada jaminan balas darah (diyat) dari pihak keluarga. Tentu, keadaan ini berbeda dengan seseorang yang diakui oleh ikatan keluarganya (al-usrah atau al-‘a>’ilah), sampai mati pun masih mendapat jaminan dari keluarganya. Keluarga dan sukunya dapat menuntut balas darah atas kematiannya. Jadi, kejelasan garis keturunan dan pengakuan dari ikatan keluarga sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat Arab.
          Perilaku masyarakat Arab [Badui] yang demikian itu masih ditemukan di era sekarang. Muhammad Asad menggambarkan perilaku masyarakat Arab Badui yang ditemuinya selama perjalanannya di wilayah Semenanjung Arabia sebagai masyarakat pagan yang demikian itu.[5] Harus dicatat bahwa genealogi bangsa Arab terbagi menjadi enam, yakni: (a) al-Sha’b (bangsa), (b) al-Qabi>lah (suku), (c) al-‘Ima>rah (sub-suku), (d) al-Bat}n (klan atau marga), (e) al-Fakhdz (moiety), dan (f) al-Fas}i>lah (faksi).[6]
          Konsep “kesukuan” dan keluarga bangsa Arab masih tumbuh dan relevan untuk diterapkan dalam kehidupan keseharian hingga sekarang ini. Adalah Lamya’ al-Faruqy (istri Ismail R. Al-Faruqy) yang telah mengembangkan konsep ‘a>’ilah (keluarga besar) menjadi sebuah konsep yang lebih tepat dalam memelihara keutuhan keluarga dari kegalauan modernitas. Dengan konsep ‘a>’ilah ini, Lamya’ berkeyakinan bahwa seorang ibu rumah tangga dengan sejumlah tugas publik yang diembannya atau dalam meniti karirnya tidak boleh sampai menelantarkan tugas-tugas domestiknya [dalam keluarga]. Sebab, anak dan keluarga bukan hanya merupakan tugas kedua orang tua, tapi merupakan tugas “keluarga besar” (‘a>’ilah) tadi.[7]
          Ada hal lain yang menarik mengenai masyarakat Islam awal yakni larangan Nabi Muhammad saw. untuk menghancurkan patung-patung dan lukisan. Penghancuran patung dan lukisan tersebut bukan hanya dalam rangka pemurnian tauhid, tapi juga terkait dengan penguasaan ekonomi dan monopoli distribusi produksi. Penghancuran patung tersebut sebagai simbol “runtuhnya” dominasi kapitalisme Arab waktu itu. Oleh sebab itu, biasanya orang-orang yang memiliki penguasaan aset-aset ekonomi yang kuat dapat menciptakan karya seni yang gemilang.
          Marshall G.S. Hodgson berpendapat bahwa masyarakat agraris dan penguasaan produksi ekonomi berbanding lurus dengan pemilikan, biasanya ditandai dengan pembangunan seni yang sangat tinggi.[8] Seperti Mesir dengan bangunan Piramidanya, India dengan Taj Mahalnya, Indonesia dengan Candi Borobudurnya, dan lain-lain. Meskipun hal ini berbeda dengan masyarakat Afrika bahwa peradaban yang maju tidak selamanya ditandai oleh kebudayaan material.
          Hal ini menarik untuk mencermati hadis tentang larangan untuk membuat patung dan benda-benda seni lukis lainnya, seperti larangan melukis hewan (atau makhluk yang bernyawa lainnya). Larangan tersebut didasarkan, misalnya, pada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak senang dengan bantal yang bergambar. Suatu hari Nabi saw. menegur A’isyah. Beliau tidak senang memakai bantal yang memiliki lukisan atau gambar.[9]
          Kembali memperbincangkan karakter Semenanjung Arabiyah yang cukup unik dibanding dengan beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah. Ketika dunia imperial pada umumnya merupakan wilayah perkotaan, Arabia bertahan sebagai negeri perkemahan dan oasis. Ketika masyarakat dunia imperial mengembangkan keyakinan monotheistic, masyarakat Arabia pada umumnya sebagai warga pagan. Ketika dunia imperial secara politik terorganisir secara baik, maka Arabia secara politik tercerai-berai.[10]
          Memang, kondisi Arab pra-Islam masih ada hal yang belum mendapat sokongan pandangan yang seragam di kalangan para ahli. Jalaluddin Rakhmat, umpamanya, mengkritik sejumlah pandangan yang dinilainya kurang tepat mengenai Arab pra-Islam. Orang Arab disebut jahiliyah bukan hanya secara moralitas, sebagaimana selama ini dipahami oleh banyak kalangan, tetapi juga dari segi penguasaan ilmu pengetahuan. Ketika Mesir sudah mencapai puncak kejayaan di bidang tulis menulis, orang Arab yang hidup di Semenanjung Arabiyah masih buta huruf. Orang Arab hanya memiliki pengetahuan tentang penelusuran jejak [qifa>yah], jika ada orang hilang atau hewan buruan mereka yang hilang di gurun pasir. Padahal, kecakapan seperti ini dimiliki oleh bangsa-bangsa primitif lainnya selain Arab.
          Demikian pula halnya dengan riwayat-riwayat mengenai kedokteran cara Nabi saw. [al-t}ibb al-nabawy>] yang disebut sebagai al-t>ibb al-ja>hily>. Di antara contohnya adalah riwayat “Apabila lalat jatuh pada minuman seseorang, maka hendaklah ia menenggelamkan lalat tersebut. Sebab, salah satu sayap lalat mengandung penawar racun”. Hal ini tidak masuk akal, dan tidak mungkin Nabi saw. pernah mengucapkannya.[11]
Orang Arab terkenal dengan kedermawanan dan kemurahan hati dan penghormatan terhadap tetamunya. Hal ini ternyata didasarkan pada tradisi al-siqa>yah [memberi minum bagi penziarah Ka’bah], bukanlah dilandasi oleh ketulusan hati mereka. Sikap ini dikarenakan ada keharusan melaksanakannya sebagai pengejewantahan kepatuhan kepada aturan qabi>lah dan keluarga besarnya. Demikian pula halnya dengan sifat keberanian bangsa Arab (al-shaja>’ah). Keberanian mereka bukanlah sifat dasariahnya, tetapi karena keterpaksaan yang harus hidup keras dan penuh pertarungan. Sehingga terkenal ungkapan in lam takun dhi’b-an akalatka al-dhi’b (kalau engkau tidak menjadi singa, maka singa akan menerkammu).[12]
Pandangan Jalaluddin Rakhmat tersebut di atas tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa Semenanjung Arabiyah terutama Mekkah tidak menjadi daya tarik bagi bangsa Romawi dan Persia karena ketandusannya. Bahwa penduduk Mekkah dan sekitarnya hidup dalam kemiskinan yang mengerikan adalah juga sulit dibantah. Akan tetapi, menggeneralisasi mereka sebagai bangsa yang tidak beradab dan berperadaban sama sekali juga tidak tepat. Nabi saw. pernah bersabda bahwa innama> bu’ithtu li-utammima maka>rim al-akhla>q (sesungguhnya aku diutus [menjadi seorang rasul] untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Ungkapan li-utammima maka>rim al-akhla>q menyiratkan makna bahwa sudah ada benih moralitas yang tumbuh dalam masyarakat Arab. Jadi, tidak seluruhnya “jelek”. Di antara mereka ada sekelompok orang yang senantiasa menjaga kesucian moral dengan tetap memeluk dan melestarikan agama Ibrahim. Kelompok ini dikenal dengan kelompok al-h}unafa>’.[13]
Kelompok al-h}unafa>’ ini jelas memiliki tradisi keagamaan sendiri, seperti (a) larangan menyembah selain kepada Allah swt.; (b) larangan membunuh anak perempuan hidup-hidup; (c) larangan riba; (d) menjalankan ibadah puasa; (e) mandi janabat; dan (f) tidak memakan daging babi.[14]
          Tentang posisi strategis kota Mekkah terdapat silang pendapat di kalangan pakar pemerhati kajian Islam. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa Mekkah adalah kota pusat perdagangan internasional, bahkan pusat keuangan. Mekkah bukanlah kota hampa budaya di tengah padang pasir. Posisi strategis kota Mekkah terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan transportasi dan transaksi perdagangan.
          Tesis M. Watt di atas dibantah oleh Patricia Crone. Bagi Crone, Mekkah yang gersang itu tidak menarik untuk investasi dan transaksi dagang. Kalaupun ada kegiatan bisnis, itu hanya terbatas pada kegiatan lokal. Kondisi ini berbeda dengan kota-kota yang terletak di wilayah pantai (yang sangat strategis sebagai kota pusat perdagangan). Sementara, Mekkah terletak di pedalaman yang tidak mungkin untuk melakukan transaksi perdagangan.[15]
          Wilayah sepanjang dari Yaman ke Syiria dan dari Abysinia ke Irak, ditambah lagi dengan posisi Mekkah sebagai pusat spiritual agama di Semenanjung Arabia, tiap tahunnya dikunjungi oleh para Penziarah. Ketika musim haji itulah terjadi transaksi bisnis antara Penziarah dengan penduduk Mekkah, dan antara Penziarah satu dengan Penziarah lainnya yang berasal dari wilayah lain dari semananjung Arabia seperti Yaman selatan.
          Harus dicatat bahwa daya tarik Islam bukan dari faktor perdagangan dan ekspansi (al-futu>h}a>t) saja, tapi ajaran one god dan one humanity (satu Tuhan dan satu kemanusiaan). Ajaran tauhid dan rah}mat-an li al-‘a>lami>n  itulah yang menjadi daya tarik agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.[16]


[1]Lihat M. Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988),  3.
[2]Dalam al-Qur’an, sifat al-h}ali>m adalah karakter orang-orang pilihan, seperti: Nabi Ibrahim a.s (Q.S. al-Tawbah/9:114); Nabi Ismail a.s (Q.S al-S}affa>t/37:101; Nabi Syuaib a.s (Q.S. Hu>d/11:87. Tentu saja gambaran yang paling tepat untuk terma al-h}ilm ini adalah merujuk pada sifat Allah yang Maha Penyantun (al-h}ali>m). Lihat al-Raghib al-Ashfahany (425 H), Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, telah diedit oleh Shafwan ‘Adnan Dawudy, (Beirut: al-Dar al-Shamiyah, 1992 M),  253; lihat juga M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1998 M),  161-165. 
[3]Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, terutama bab VIII yang membahas Islam dan Jahiliah. Pandangan yang lebih memadai telah dibahas Izutsu dalam bukunya yang lain terutama bagian pengantar, The Structure of the Ethical Terms in the Koran, (Tokyo, 1959).
[4]Lihat Abd Rahman ibn Muhammad al-Khadramy (Ibn Khaldun w. 808 H), Ta>ri>kh ibn Khaldu>n yang judul aslinya: Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabr fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘As}rahum min Dhawy> al-Sult}a>n al-Akbar, terutama bagian muqaddimah [pengantar], (Beirut: Mu’assasah Jammal li al-Taba’ah wa al-Nasyar, 1979 M).
[5]Dalam perjalanan Muhammad Asad itulah yang memberinya inspirasi untuk menulis buku dengan judul: The Road to Mecca. Buku ini demikian berpengaruh dan mengantarkan penulisnya untuk memeluk agama Islam di New York pada tanggal 24 Mei 1961. Ia adalah seorang jurnalis Austria yang bernama asli Leopold Weiss. Ia juga menulis karya tafsir yang sangat terkenal: The Message of the Qur’an, (Gibraltar, 1980). Lihat keterangan Syed Z. Abedin dan Saleha M. Abedin dalam John L. Esposito, ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press, 1995)—telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia  Eva Y.N, dkk. dengan judul: Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen, jilid IV (Bandung: Mizan, 2001), Jilid IV, hlm 65, dan Jilid III,  349. 
[6]Lihat Khalil Abd Karim, al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyar, 1997 M),  71-72. Mengenai pembagian genealogi Arab ada pandangan lain yang dikemukakan oleh Hisham Sharabi. Menurutnya, keluarga masyarakat Arab pra-Islam dapat dibagi atas lima bentuk; (a) Kabilah (qabi>lah); (b) Sub-kabilah (‘ashi>rah); (c) Suku (h}amu>lah); (d) Keluarga besar (‘a>’ilah), dan (e) Keluarga Kecil (usrah). Lihat Hisham Sharabi, Neopatriarchy: a Theory of Distorted Change in Arab Society, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1998),  3, dan telah dielaborasi oleh Nasaruddin Umar. Dari segi lokalitas, masyarakat Arab dibagi menjadi tiga kelompok: (a) Masyarakat urban yang hidup di kota, (b) masyarakat yang hidup di pedesaan, dan (c) masyarakat Badui, yang hidup di padang pasir atau pegunungan dengan pola hidup nomad—berpindah-pindah. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif  al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999),  124-126.
[7]Lihat Lamya’ Al-Faruqy, Women, Muslim Society and Islam, (U.S.A: American Trust Publicatin, 1991). 
[8]Lihat, Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, “Conscience and History in a World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara, Masa Klasik Islam, “Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia”, (Jakarta: Paramadina, Agustus 2002),  148-154.
[9]Redaksi hadisnya adalah ‘an ‘A>’ishah r.a.h. qa>lat: ishtaraitu nimriqah fi>ha> tas}a>wi>r fa-lamma> dakhala ‘alayya rasu>l Alla>h saw. fa-ra’a>ha. Taghayyara. Thumma qa>la, ya> ‘A>’ishah a ha>dhih. Fa-qultu: nimriqah ishtaraituha> laka taq’udu ‘alaiha>. Qa>la, inna> la> nadkhulu baytan fi>h tas}a>wi>r. Lihat Abu Ja’far Umar al-Tahawy, Sharh} Ma’a>ny> al-A>tha>r, (Kairo: al-Anwar al-Muhammadiyah, 1968 M), Juz IV,  282.
[10]Lihat M. Ira Lapidus,  A History of Islamic,  15.
[11]Lihat Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa Pengantar Studi KritisTarikh Nabi Saw., (Bandung: Muthahhari Press, 2002),  127-131.
[12]Lihat ibid.,  140-141.
[13]Al-Qur’an juga menyebutkan terma al-h}unafa>’ ini, Q.S. al-Bayyinah [98]: 5, meskipun ayat ini tidak bisa disebut untuk menjelaskan kaum al-h}ani>f yang sedang kita bicarakan. Untuk keterangan yang memadai tentang kaum al-h}ani>f ini, lihat Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990) terutama bab II; Husain Marwah, al-Naza’a>t al-Ma>ddiyah fi> al-Falsafah al-‘Arabiyah wa S}adr al-Isla>m, (Beirut: Dar al-‘Araby, 2002); Sayid Mahmud al-Qimny, Dawr al-H}izb al-Ha>shimmy> wa al-‘Aqi>dah al-H}ani>fiyyah fi> al-Tamhi>d li Qiya>m Dawlah al-‘Arab al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990),  66. 
[14]Lihat Rasyid al-Barawy, al-Qur’a>n wa al-Nuz}u>m al-Ijtima>’iyah wa al-Mu’a>s}irah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah,1975),  255; dan Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyah, terutama bab II.
[15]Lihat Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam, (Princeton: Princeton University Press, 1987),  170. Penjelasan lebih memadai lihat Faisal Islam, “Perdagangan Mekkah dan Bangkitnya Islam” dalam M. Amin Abdullah dkk., Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka-Press, 2003),  111-133.
[16]Demikian Pandangan Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, 1979),  12.

Tidak ada komentar: