Mengenai
gambaran masyarakat Arab Pra-Islam M. Ira Lapidus menjelaskannya, sebagai
berikut:
Masyarakat Islam dibangun di atas framework peradaban
Timur Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Dari peradaban Timur Tengah
pra-Islam, masyarakat Islam mewarisi pola institusi yang turut membentuk
keadaan mereka sampai pada zaman modern.
Sejumlah institusi tersebut mencakup tatanan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab), kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistic, dan imperium birokratis. Meskipun lahir di Mekkah, peradaban Islam mempunyai leluhur di Palestina dan Babylonia.
Sejumlah institusi tersebut mencakup tatanan masyarakat kecil yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab), kekerabatan, dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistic, dan imperium birokratis. Meskipun lahir di Mekkah, peradaban Islam mempunyai leluhur di Palestina dan Babylonia.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang
sejak masa awal sejarah umat manusia telah menampilkan dua aspek yang
fundamental: asal usul dan struktur sejarah yang tengah berlangsung. Aspek pertama
yang merupakan organisasi masyarakat manusia menjadi kelompok-kelompok kecil,
bahkan juga kelompok yang bercorak kekeluargaan. Masyarakat berburu dan
gerombolan pada masa yang paling awal hidup dan tersebar pada sebagian besar
wilayah Timur Tengah yang cukup luas dalam ikatan kelompok-kelompok kecil.
Semenjak berlangsung pola kehidupan pertanian dan pemeliharaan binatang ternak
sebagian besar masyarakat Timur Tengah telah hidup dalam perkampungan pertanian
atau dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[1]
Lebih lanjut
Toshihiko Izutzu menggambarkan karakter masyarakat Arab [Badui] yang terkenal kasar dan keras.
Masyarakat Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat Jahiliyah. Jahiliyah bukan
lawan kata dari al-‘ilm (berpengetahuan) sebagaimana dipahami selama ini. Jahiliyah
kurang tepat diartikan sebagai kebodohan. Jahiliyah lebih tepat dimaknai
sebagai h}a>miyat al-ja>hiliyah (arogansi kejahiliyahan).
Jahiliyah lebih tepat dilawankan dengan al-h}ilm (kasih sayang, santun
dan murah hati). Seruan untuk senantiasa berbuat kebajikan (al-ih}sa>n),
berbuat adil (al-‘adl), larangan berbuat sewenang-wenang (al-z}ulm),
perintah untuk mengendalikan hawa nafsu, larangan untuk arogan, sombong, dan
congkak adalah manifestasi dari sifat al-h}ilm.[2]
Jadi, Jahiliyah pada awalnya dipakai
untuk hubungan disharmonis antara
manusia dengan manusia lainnya. Sikap arogansi, angkuh, merasa lebih
kaya dan berkuasa dengan yang lainnya, mengejek orang yang lebih rendah dari
dirinya, baik secara ekonomi maupun politis adalah sederetan sikap dan perilaku
Jahiliyah. Belakangan, Jahiliyah baru dipakai sebagai bentuk “perlawanan”
kepada hukum-hukum Tuhan.[3]
Lain halnya
dengan Ibn Khaldun yang membandingkan keutamaan masyarakat Badui (al-bada>wah)
dengan masyarakat metropolis (al-h}ad}a>rah) dalam hal menjaga
kesucian garis keturunan dan menghormati tamu (ikra>m al-d}uyu>f).[4] Masyarakat Badui sangat ketat dalam menjaga
kehormatan keluarga dan kesucian nasab (garis keturunan). Bahkan hukum rajam
(hukum mati bagi pelaku zina) sangat boleh jadi merupakan hukum masyarakat
Badui yang dielaborasi oleh Islam.
Bangsa Arab
sangat memperhatikan garis keturunan agar mereka dapat saling tolong-menolong
di antara mereka. Sehingga para geneolog mendapat kedudukan yang sangat tinggi.
Genealog (nassabah) mendapatkan tambah ta’ marbutah untuk gelar
kehormatan. Sama halnya dengan al-‘alla>mah (maha guru) atau al-fahha>mah
(cerdik-pandai) dipakai untuk menggambarkan kedalaman ilmu yang dimiliki
seseorang.
Seseorang
yang tidak jelas nasab-nya atau sudah keluar dari kelompok sukunya, maka
hidupnya akan terancam. Bahkan, kalau ia terbunuh, tidak ada jaminan balas
darah (diyat) dari pihak keluarga. Tentu, keadaan ini berbeda dengan
seseorang yang diakui oleh ikatan keluarganya (al-usrah atau al-‘a>’ilah),
sampai mati pun masih mendapat jaminan dari keluarganya. Keluarga dan sukunya
dapat menuntut balas darah atas kematiannya. Jadi, kejelasan garis keturunan
dan pengakuan dari ikatan keluarga sangat penting artinya bagi kelangsungan
hidup masyarakat Arab.
Perilaku
masyarakat Arab [Badui] yang demikian itu masih ditemukan di era sekarang.
Muhammad Asad menggambarkan perilaku masyarakat Arab Badui yang ditemuinya
selama perjalanannya di wilayah Semenanjung Arabia sebagai masyarakat pagan
yang demikian itu.[5]
Harus dicatat bahwa genealogi bangsa Arab terbagi menjadi enam, yakni: (a) al-Sha’b
(bangsa), (b) al-Qabi>lah (suku), (c) al-‘Ima>rah
(sub-suku), (d) al-Bat}n (klan atau marga), (e) al-Fakhdz
(moiety), dan (f) al-Fas}i>lah (faksi).[6]
Konsep
“kesukuan” dan keluarga bangsa Arab masih tumbuh dan relevan untuk diterapkan
dalam kehidupan keseharian hingga sekarang ini. Adalah Lamya’ al-Faruqy (istri
Ismail R. Al-Faruqy) yang telah mengembangkan konsep ‘a>’ilah
(keluarga besar) menjadi sebuah konsep yang lebih tepat dalam memelihara
keutuhan keluarga dari kegalauan modernitas. Dengan konsep ‘a>’ilah
ini, Lamya’ berkeyakinan bahwa seorang ibu rumah tangga dengan sejumlah tugas
publik yang diembannya atau dalam meniti karirnya tidak boleh sampai
menelantarkan tugas-tugas domestiknya [dalam keluarga]. Sebab, anak dan
keluarga bukan hanya merupakan tugas kedua orang tua, tapi merupakan tugas
“keluarga besar” (‘a>’ilah) tadi.[7]
Ada hal lain
yang menarik mengenai masyarakat Islam awal yakni larangan Nabi Muhammad saw.
untuk menghancurkan patung-patung dan lukisan. Penghancuran patung dan lukisan
tersebut bukan hanya dalam rangka pemurnian tauhid, tapi juga terkait dengan penguasaan
ekonomi dan monopoli distribusi produksi. Penghancuran patung tersebut sebagai
simbol “runtuhnya” dominasi kapitalisme Arab waktu itu. Oleh sebab itu, biasanya
orang-orang yang memiliki penguasaan aset-aset ekonomi yang kuat dapat
menciptakan karya seni yang gemilang.
Marshall
G.S. Hodgson berpendapat bahwa masyarakat agraris dan penguasaan produksi
ekonomi berbanding lurus dengan pemilikan, biasanya ditandai dengan pembangunan
seni yang sangat tinggi.[8]
Seperti Mesir dengan bangunan Piramidanya, India dengan Taj Mahalnya, Indonesia
dengan Candi Borobudurnya, dan lain-lain. Meskipun hal ini berbeda dengan
masyarakat Afrika bahwa peradaban yang maju tidak selamanya ditandai oleh
kebudayaan material.
Hal
ini menarik untuk mencermati hadis tentang larangan untuk membuat patung dan benda-benda
seni lukis lainnya, seperti larangan melukis hewan (atau makhluk yang bernyawa
lainnya). Larangan tersebut didasarkan, misalnya, pada riwayat yang menyatakan bahwa
Nabi saw. tidak senang dengan bantal yang bergambar. Suatu hari Nabi saw.
menegur A’isyah. Beliau tidak senang memakai bantal yang memiliki lukisan atau
gambar.[9]
Kembali
memperbincangkan karakter Semenanjung Arabiyah yang cukup unik dibanding dengan
beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah. Ketika dunia imperial pada umumnya
merupakan wilayah perkotaan, Arabia bertahan sebagai negeri perkemahan dan
oasis. Ketika masyarakat dunia imperial mengembangkan keyakinan monotheistic,
masyarakat Arabia pada umumnya sebagai warga pagan. Ketika dunia imperial
secara politik terorganisir secara baik, maka Arabia secara politik tercerai-berai.[10]
Memang,
kondisi Arab pra-Islam masih ada hal yang belum mendapat sokongan pandangan
yang seragam di kalangan para ahli. Jalaluddin Rakhmat, umpamanya, mengkritik
sejumlah pandangan yang dinilainya kurang tepat mengenai Arab pra-Islam. Orang
Arab disebut jahiliyah bukan hanya secara moralitas, sebagaimana selama ini
dipahami oleh banyak kalangan, tetapi juga dari segi penguasaan ilmu
pengetahuan. Ketika Mesir sudah mencapai puncak kejayaan di bidang tulis
menulis, orang Arab yang hidup di Semenanjung Arabiyah masih buta huruf. Orang
Arab hanya memiliki pengetahuan tentang penelusuran jejak [qifa>yah],
jika ada orang hilang atau hewan buruan mereka yang hilang di gurun pasir.
Padahal, kecakapan seperti ini dimiliki oleh bangsa-bangsa primitif lainnya
selain Arab.
Demikian
pula halnya dengan riwayat-riwayat mengenai kedokteran cara Nabi saw. [al-t}ibb
al-nabawy>] yang disebut sebagai al-t>ibb al-ja>hily>. Di
antara contohnya adalah riwayat “Apabila lalat jatuh pada minuman seseorang,
maka hendaklah ia menenggelamkan lalat tersebut. Sebab, salah satu sayap lalat
mengandung penawar racun”. Hal ini tidak masuk akal, dan tidak mungkin Nabi
saw. pernah mengucapkannya.[11]
Orang Arab terkenal dengan
kedermawanan dan kemurahan hati dan penghormatan terhadap tetamunya. Hal ini
ternyata didasarkan pada tradisi al-siqa>yah [memberi minum bagi
penziarah Ka’bah], bukanlah dilandasi oleh ketulusan hati mereka. Sikap ini dikarenakan
ada keharusan melaksanakannya sebagai pengejewantahan kepatuhan kepada aturan qabi>lah
dan keluarga besarnya. Demikian pula halnya dengan sifat keberanian bangsa Arab
(al-shaja>’ah). Keberanian mereka bukanlah sifat dasariahnya, tetapi
karena keterpaksaan yang harus hidup keras dan penuh pertarungan. Sehingga
terkenal ungkapan in lam takun dhi’b-an akalatka al-dhi’b (kalau engkau
tidak menjadi singa, maka singa akan menerkammu).[12]
Pandangan Jalaluddin Rakhmat tersebut
di atas tidak sepenuhnya benar. Memang benar bahwa Semenanjung Arabiyah
terutama Mekkah tidak menjadi daya tarik bagi bangsa Romawi dan Persia karena
ketandusannya. Bahwa penduduk Mekkah dan sekitarnya hidup dalam kemiskinan yang
mengerikan adalah juga sulit dibantah. Akan tetapi, menggeneralisasi mereka
sebagai bangsa yang tidak beradab dan berperadaban sama sekali juga tidak
tepat. Nabi saw. pernah bersabda bahwa innama> bu’ithtu li-utammima maka>rim
al-akhla>q (sesungguhnya aku diutus [menjadi seorang rasul] untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia). Ungkapan li-utammima maka>rim al-akhla>q
menyiratkan makna bahwa sudah ada benih moralitas yang tumbuh dalam
masyarakat Arab. Jadi, tidak seluruhnya “jelek”. Di antara mereka ada
sekelompok orang yang senantiasa menjaga kesucian moral dengan tetap memeluk
dan melestarikan agama Ibrahim. Kelompok ini dikenal dengan kelompok al-h}unafa>’.[13]
Kelompok al-h}unafa>’ ini
jelas memiliki tradisi keagamaan sendiri, seperti (a) larangan menyembah selain
kepada Allah swt.; (b) larangan membunuh anak perempuan hidup-hidup; (c)
larangan riba; (d) menjalankan ibadah puasa; (e) mandi janabat; dan (f) tidak
memakan daging babi.[14]
Tentang
posisi strategis kota Mekkah terdapat silang pendapat di kalangan pakar
pemerhati kajian Islam. W. Montgomery Watt berpendapat bahwa Mekkah adalah kota
pusat perdagangan internasional, bahkan pusat keuangan. Mekkah bukanlah kota hampa
budaya di tengah padang pasir. Posisi strategis kota Mekkah terletak di
persimpangan jalan yang menghubungkan transportasi dan transaksi perdagangan.
Tesis M. Watt
di atas dibantah oleh Patricia Crone. Bagi Crone, Mekkah yang gersang itu tidak
menarik untuk investasi dan transaksi dagang. Kalaupun ada kegiatan bisnis, itu
hanya terbatas pada kegiatan lokal. Kondisi ini berbeda dengan kota-kota yang
terletak di wilayah pantai (yang sangat strategis sebagai kota pusat perdagangan).
Sementara, Mekkah terletak di pedalaman yang tidak mungkin untuk melakukan
transaksi perdagangan.[15]
Wilayah
sepanjang dari Yaman ke Syiria dan dari Abysinia ke Irak, ditambah lagi dengan
posisi Mekkah sebagai pusat spiritual agama di Semenanjung Arabia, tiap
tahunnya dikunjungi oleh para Penziarah. Ketika musim haji itulah
terjadi transaksi bisnis antara Penziarah dengan penduduk Mekkah, dan antara Penziarah
satu dengan Penziarah lainnya yang berasal dari wilayah lain dari
semananjung Arabia seperti Yaman selatan.
Harus
dicatat bahwa daya tarik Islam bukan dari faktor perdagangan dan ekspansi (al-futu>h}a>t)
saja, tapi ajaran one god dan one humanity (satu Tuhan dan satu
kemanusiaan). Ajaran tauhid dan rah}mat-an li al-‘a>lami>n itulah yang menjadi daya tarik agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw.[16]
[1]Lihat
M. Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), 3.
[2]Dalam
al-Qur’an, sifat al-h}ali>m adalah karakter orang-orang pilihan,
seperti: Nabi Ibrahim a.s (Q.S. al-Tawbah/9:114); Nabi Ismail a.s (Q.S
al-S}affa>t/37:101; Nabi Syuaib a.s (Q.S. Hu>d/11:87. Tentu saja gambaran
yang paling tepat untuk terma al-h}ilm ini adalah merujuk pada sifat
Allah yang Maha Penyantun (al-h}ali>m). Lihat al-Raghib al-Ashfahany
(425 H), Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, telah diedit oleh
Shafwan ‘Adnan Dawudy, (Beirut: al-Dar al-Shamiyah, 1992 M), 253; lihat juga M. Quraish Shihab, Menyingkap
Tabir Ilahi Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 1998 M), 161-165.
[3]Lihat
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
Weltanschauung, terutama bab VIII yang membahas Islam dan Jahiliah.
Pandangan yang lebih memadai telah dibahas Izutsu dalam bukunya yang lain
terutama bagian pengantar, The Structure of the Ethical Terms in the Koran,
(Tokyo, 1959).
[4]Lihat
Abd Rahman ibn Muhammad al-Khadramy (Ibn Khaldun w. 808 H), Ta>ri>kh
ibn Khaldu>n yang judul aslinya: Kita>b al-‘Ibar wa Di>wa>n
al-Mubtada’ wa al-Khabr fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa
man ‘As}rahum min Dhawy> al-Sult}a>n al-Akbar, terutama bagian muqaddimah
[pengantar], (Beirut: Mu’assasah Jammal li al-Taba’ah wa al-Nasyar, 1979 M).
[5]Dalam
perjalanan Muhammad Asad itulah yang memberinya inspirasi untuk menulis buku
dengan judul: The Road to Mecca. Buku ini demikian berpengaruh dan
mengantarkan penulisnya untuk memeluk agama Islam di New York pada tanggal 24
Mei 1961. Ia adalah seorang jurnalis Austria yang bernama asli Leopold Weiss.
Ia juga menulis karya tafsir yang sangat terkenal: The Message of the Qur’an,
(Gibraltar, 1980). Lihat keterangan Syed Z. Abedin dan Saleha M. Abedin dalam
John L. Esposito, ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World,
(Oxford: Oxford University Press, 1995)—telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia Eva Y.N, dkk. dengan judul: Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Moderen, jilid IV (Bandung: Mizan, 2001), Jilid IV, hlm 65,
dan Jilid III, 349.
[6]Lihat
Khalil Abd Karim, al-Judhu>r al-Ta>rikhiyyah li al-Shari>’ah
al-Isla>miyyah, (Kairo: Sina li al-Nasyar, 1997 M), 71-72. Mengenai pembagian genealogi Arab ada
pandangan lain yang dikemukakan oleh Hisham Sharabi. Menurutnya, keluarga
masyarakat Arab pra-Islam dapat dibagi atas lima bentuk; (a) Kabilah (qabi>lah);
(b) Sub-kabilah (‘ashi>rah); (c) Suku (h}amu>lah); (d)
Keluarga besar (‘a>’ilah), dan (e) Keluarga Kecil (usrah).
Lihat Hisham Sharabi, Neopatriarchy: a Theory of Distorted Change in Arab
Society, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1998), 3, dan telah dielaborasi oleh Nasaruddin Umar.
Dari segi lokalitas, masyarakat Arab dibagi menjadi tiga kelompok: (a)
Masyarakat urban yang hidup di kota, (b) masyarakat yang hidup di
pedesaan, dan (c) masyarakat Badui, yang hidup di padang pasir atau pegunungan
dengan pola hidup nomad—berpindah-pindah. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an,
(Jakarta: Paramadina, 1999), 124-126.
[7]Lihat
Lamya’ Al-Faruqy, Women, Muslim Society and Islam, (U.S.A: American
Trust Publicatin, 1991).
[8]Lihat,
Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam, “Conscience and History in a
World Civilization”, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara, Masa
Klasik Islam, “Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia”, (Jakarta:
Paramadina, Agustus 2002), 148-154.
[9]Redaksi
hadisnya adalah ‘an ‘A>’ishah r.a.h. qa>lat: ishtaraitu nimriqah
fi>ha> tas}a>wi>r fa-lamma> dakhala ‘alayya rasu>l Alla>h
saw. fa-ra’a>ha. Taghayyara. Thumma qa>la, ya> ‘A>’ishah a
ha>dhih. Fa-qultu: nimriqah ishtaraituha> laka taq’udu ‘alaiha>.
Qa>la, inna> la> nadkhulu baytan fi>h tas}a>wi>r. Lihat
Abu Ja’far Umar al-Tahawy, Sharh} Ma’a>ny> al-A>tha>r, (Kairo:
al-Anwar al-Muhammadiyah, 1968 M), Juz IV,
282.
[10]Lihat
M. Ira Lapidus, A History of Islamic,
15.
[11]Lihat
Jalaluddin Rakhmat, Al-Mustafa Pengantar Studi KritisTarikh Nabi Saw.,
(Bandung: Muthahhari Press, 2002), 127-131.
[12]Lihat
ibid., 140-141.
[13]Al-Qur’an
juga menyebutkan terma al-h}unafa>’ ini, Q.S. al-Bayyinah [98]: 5,
meskipun ayat ini tidak bisa disebut untuk menjelaskan kaum al-h}ani>f
yang sedang kita bicarakan. Untuk keterangan yang memadai tentang kaum al-h}ani>f
ini, lihat Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r al-Ta>ri>khiyyah li
al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990)
terutama bab II; Husain Marwah, al-Naza’a>t al-Ma>ddiyah fi>
al-Falsafah al-‘Arabiyah wa S}adr al-Isla>m, (Beirut: Dar al-‘Araby,
2002); Sayid Mahmud al-Qimny, Dawr al-H}izb al-Ha>shimmy> wa
al-‘Aqi>dah al-H}ani>fiyyah fi> al-Tamhi>d li Qiya>m Dawlah
al-‘Arab al-Isla>miyah, (Kairo: Dar Sina li al-Nasyar, 1990), 66.
[14]Lihat
Rasyid al-Barawy, al-Qur’a>n wa al-Nuz}u>m al-Ijtima>’iyah wa
al-Mu’a>s}irah, (Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah,1975), 255; dan Khalil Abd al-Karim, al-Judhu>r
al-Ta>ri>khiyah, terutama bab II.
[15]Lihat
Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam, (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 170.
Penjelasan lebih memadai lihat Faisal Islam, “Perdagangan Mekkah dan Bangkitnya
Islam” dalam M. Amin Abdullah dkk., Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu
Keislaman, (Yogyakarta: Suka-Press, 2003), 111-133.
[16]Demikian
Pandangan Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press,
1979), 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar