Eks Mahasiswa Libya
Awal Juni 2011 saya menghadiri rapat khusus membahas mekanisme menerima eks mahasiswa Libya. Revolusi Libya
ternyata juga berdampak bagi warga Negara Indonesia yang kebetulan bekerja di
sana. Termasuk di dalamnya para mahasiswa Indonesia. Yang menarik adalah ada
sekitar 40% mahasiswa yang tidak memiliki dokumen sama sekali. Lalu bagaimana
caranya mereka dapat diterima di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Mereka
memiliki hasrat yang sangat tinggi untuk melanjutkan kuliah.
Sebetulnya di Libya ketika terjadi revolusi Muammar
Khadafy, mereka tidak mau pulang. Mereka lebih memilih untuk tidak pulang
karena sudah membayangkan akan mengalami
nasib yang kurang menguntungkan kalau pulang. Mereka sudah nekad dan
pasrah. Apapun yang terjadi harus dihadapi. Kalaupun mati, berarti mati
“terhormat”, syahid karena sedang menuntut ilmu pengetahuan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI dan
Kementerian Pendidikan Nasional bersepakat untuk memberi pelayanan khusus kepada
mereka ini. Mereka dikategorikan sebagai mahasiswa pasca bencana.
Ada beberapa langkah yang ditempu, antara lain:
1.
Mendiskusikan keadaan latar belakang pendidikan
masing-masing mahasiswa, dan memberi kesempatan kepada mereka untuk memilih
jurusan dan perguruan tinggi di Indonesia sesuai dengan minat keilmuan yang
akan ditekuni;
2.
Mendiskusikan mekanisme penerimaaan. Maka
diusulkanlah perlunya assessment untuk mengatasi keadaan mahasiswa yang
memiliki berkas akademik maupun yang tidak memiliki dokumen pendukung lainnya.
3.
Membicarakan mekanisme pemberian bea-siswa.
Pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, terdapat bea-siswa alumni Madrasah
Aliyah yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi yang postur anggarannya
antara lain: pembiayaan SPP, living cost, uang praktikum.
4.
Disepakatilah pembiayaan assessment
berkisar Rp. 3,5 juta. Sementara bantuan dari Diktis sebanyak Rp. 5 juta
5.
Dll
Ada hal-hal menarik yang muncul dalam diskusi, antara
lain:
1.
Bagi mahasiswa yang hilang dokumennya,
pasti kena bom Muammar Khadafy. Sebab, bom AS tidak menghancurkan dokumen.
2.
Program studi yang mereka tekuni selama di Libya ada yang aneh-aneh, seperti
kulliyat al-dakwah wa al-hadharah al-Islamiyah. Kita tidak mengetahui apakah
kecenderungannya ke dakwah al-Islaminyah atau sejarah kebudayaan Islam.
3.
Ada seorang perempuan yang memilih ke
Papua, meskipun dia kelahiran Cianjur. Baginya Papua adalah medan dakwah.
4 belajar dari pengalaman ini, sebaiknya kita harus berhati-hati jikalau sedang memilih negara tujuan tempat studi. demikian pula halnya kalau seorang mahasiswa harus cermat dalam memilih program studi yang akan ditekuninya selama belajar di luar negeri. Hal ini perlu mencari informasi lewat Kedutaaan Besar Republik Indonesia, atau informasi dari internet ataupun para sarjana yang telah berpengalaman di Timur Tengah atau negara-negara lainnya. Kita tidak boleh hanya sekedar memilih negara tujuan belajar tanpa mengetahui keunikan dan kelebihan negara dimaksud. Sebab, akan berpengaruh pada masa depan mahasiswa yang sedang belajar tersebut. Semakin banyak informasi ayng didapatkan akan semakin baik, dan sangat boleh jadi akan berpengaruh pada sukses atau gagalnya studi yang bersangkutan.
Wa Allah a'lam.
Wa Allah a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar