1.
Pembangunan kembali kota Banda Aceh paca Tsunami
demikian gencarnya. Bandara Sultan Iskandar Muda dibangun dengan megah. Sarana
jalan raya, infra-struktur lainnya juga sedang semarak.
2.
Aneka kuliner juga menjadi daya tarik tersendiri di
Banda Aceh. Ada kopi khas Aceh, ada makanan Spesifik Aceh, makanan tradisional
dikemas secara modern, di dalamnya acar, nasi, ayam gule, dan kerupuk khas
Aceh. Sedap dan enak. Ada juga sayur pli’u yang memang khas Aceh. Ada bumbu
khas Aceh, gurih dan sangat enak.
3.
Saya melaksanakan shalat tarawih di Masjid Baitur
Rahman Aceh yanga sangat bersejarah itu. Imamnya sudah senior, di atas 60
tahun, tapi suaranya masih menyerupai anak muda. Suaranya sangat merdu, dan
sepertinya imamnya adalah seorang hafiz. Saya beruntung karena yang ceramah
pada malam itu adalah pak Gubernur, Irwandi Yusuf. Ia banyak menyorot perilaku
masyarakat dalam ibadah puasa. Pada siang hari selama 12 jam penuh berpuasa.
Namun pada malam harinya, ia berpuas-puas dengan aneka ragam makanan. Mulai
dari sirup dengan berbagai macamnya, lauk pauk, aneka kuliner lainnya. Apa ini
hakikat puasa? Bukankah puasa disyari’atkan justeru untuk menahan diri, baik
dari hal-hal yang posisitf seperti makan dan minum,apalagi yang negative?
4.
Tradisi Megang, yakni tradisi masyarakat Aceh yang
melakukan pemotongan sapi, lembu untuk menghormati bulan suci ramadhan. Tradisi
ini justeru mampu menaikan harga-harga daging mulai dari 70 ribu per-kg sampai
80 ribu. Bahkan bisa sampai 130 per-kg. Apakah ini juga berkesesuaian dengan
ruh ramadhan? Mestinya pola konsumsi kita lebih hemat pada bulan suci ramadhan,
mengapa justeru yang terjadi adalah sebaliknya? Ini perlu kita renungkan.
5.
Damai adalah pesan spiritual puasa. Hidup damai jauh
lebih indah, lebih elok dan lebih bermartabat. Kalau kita selalu hidup dalam
konflik pasti kita tidak dapat membangun. Kita pasti dalam keterbelakangan.
Dalam kebodohan, kita terbelit kemiskinan. 5 tahun terakhir, Aceh damai dan
sudah bisa membangun infrastruktur. Dulu, di kota setiap posko tentara
tertulis: NKRI adalah kemestian. Kalau sudah masuk wilayah GAM, di sana kita
menemukan: Merdeka, adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi kita
tidak bisa membangun. Ekonomi masyarakat kita lemah untuk tidak mengatakan
miskin. Dunia tidak tertarik untuk membantu kita.
Setelah selesai tarawih, saya keluar
massjid dan mencoba tradisi “makan sirih”. Ada dua macam campuran sirih, ada
yang manis dan lainnya pahit. Yang manis tidak membuat gigi merah, biasa saja.
Sedang campuran yang pahit dapat menyebabkan giri merah. Saya pilih yang manis.
Selanjutnya, saya mencoba Mie Aceh campur
kepiting. Kepitingnya sangat enak, agak manis. Rupanya kepitingnya bukan
kepiting ternak, tapi kepiting biasa. Dan semua kepiting,oleh tukang warung
yang disajikan yang masih hidup, jadi kualitasnya terjamin. Saya juga pesan jus
terong medan. Juga sangat enak. Seteah itu saya meluncur ke hotel Sulthan, di
jalan sulthan, nomor. 1. Saya menginap di kamar 306.
Saya kedatangan tamu, pak Maulana. Dia ini
dosen Fiqih Mu’amalat. Dia sudah lama menulis disertasi, tapi belum selesai
juga. Ia mengaku sangat sulit konsentrasi karena seluruh keluarga besarnya
hanya dua orang yang tersisa tragedy tsunami tahun 2004. Ayah, ibu, paman,
saudara-saudaranya semuanya meninggal. Hanya pakaian ayah dan ibunya yang
ditemukan 3 km dari rumahnya di Meulaboh. Selalu berucap, kalau saya ingat
peristiwa tersebut, saya nelangsa. Dia bertamu sampai jam 11 malam. Setelah
tamu saya ini pulang, saya baru membaca buku kumpulan foto, our world…..saya
membaca sampai jam 12. Malam.
Pagi, jam 8, saya kedatangan tamu lagi, yakni
saudara Abidin Nurdin, orang Mandar, putera guru saya di madrasah Aliyah, Lampa,
Polewali Mandar. Dia membawa buku baru yang berjudul: Serambi Mekkah yang Berubah, views from within, editor: Arskal
Salim dan Adlin Sila. Dia sendiri salah seorang penulis dalam buku tersebut.
Buku ini spesifik karena ditulis oleh para sarjana yang menetap di Aceh. Mereka
melakukan joint research dengan beberapa pakar Indonesianis dari Australia.
Semula ada sekitar 40 orang yang ikut proyek ini, tapi diseleksi dengan sangat
ketat sehingga tinggal beberapa orang. Buku ini menyiratkan, bagaimana Aceh
dilihat dan dipersepsi sendiri oleh ‘orang dalam’. Orang Aceh yang sangat
bangga dengan sejarah panjang yang dimilikinya, biasanya sulit diajak atau
menerima saran dari orang luar. Orang
Aceh menurut pengakuan sarjana atau tokoh Aceh, orang aceh itu sulit “qabul al-akhar”; sulit menerima orang
luar. Bahkan dengan kebanggaan masa lalu, mereka selalu merasa diri hebat.
Kalau ke Medan, kiri-kanan rencong, tapi orang Aceh dicopet oleh orang Medan.
Bahkan ironinya, rencong yang dibanggakannya itu juga dicopet orang Medan. Yang
terakhir ini hanya sekedar anekdot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar