1.
Geliat
Intelektual.
Hampir
setiap hari ada buku baru yang terbit di Mesir. Masyarakatnya juga dikenal
sebagai masyarakat yang gemar membaca, meskipun mereka hidup pas-pasan. Hal ini
dapat dilihat pada pagi hari, masyarakatnya sampai level paling bawah, tukang
jaga kuburan sudah membaca Koran harian al-Ahram.
Dalam salah satu ziarah ke makam Ibnu Hajar al-‘Asqalany --penulis kitab Bulugh al-Maram dan Fath al-Bary--di sebuah sudut pasar rakyat yang kumuh, ada penduduk yang asyik mendengarkan berita dan siaran radio. Radionya sudah sangat karatan, dan kelihatan “berantakan”, tapi masih berfungsi. Suaranya masih terang, tapi tampilan fisiknya sudah sangat “menyedihkan”.
Dalam salah satu ziarah ke makam Ibnu Hajar al-‘Asqalany --penulis kitab Bulugh al-Maram dan Fath al-Bary--di sebuah sudut pasar rakyat yang kumuh, ada penduduk yang asyik mendengarkan berita dan siaran radio. Radionya sudah sangat karatan, dan kelihatan “berantakan”, tapi masih berfungsi. Suaranya masih terang, tapi tampilan fisiknya sudah sangat “menyedihkan”.
Ada
juga kebijakan pemerintah atau lembaga tertentu yang menerbitkan buku-buku best
seller dengan kertas biasa sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat. Hal
ini patut dicontoh oleh pemerintah Indonesia.
Fenomena
lainnya dapat dilihat pada penumpang bus kota yang berdesak-desakan, sumpek,
tapi masih sempat membaca al-Qur’an, dan Koran. Atau kalau kebetulan mahasiswa,
mereka masih menyempatkan diri untuk membaca “muqarrar” (diktat).
2.
Budaya
Mesir
Mesir
dikenal sebagai Negeri Seribu Bos. Oleh pemerintah sengaja disebar guide yang sangat banyak. Sehingga oleh
pelancong atau turis mancanegara yang terlihat oleh mereka hanya keindahan kota
Mesir. Kumuh dan kesemrawutan Mesir tidak tampak bagi wisatawan. Orang Mesir
juga sangat percaya diri dan cenderung menggurui “orang lain”.
sewaktu saya mengunjungi pusat latihan militer di wilayah perbatasan Mesir dan Israil ada tulisan: Khair al-junud fi al-ardl, junud
Mishr--kira-kira maknanya: "Tentara terbaik di muka bumi ini adalah tentara Mesir".
Ada
pameo: di Mesir itu, rangkanya adalah budaya Fir’aun, dagingnya adalah sunny,
dan darahnya adalah Syi’ah.
Di
Mesir sangat kaya dengan tradisi tasawuf dan tarekat. Bahkan “tirakat” di makam
para wali juga sangat marak di sana. Makam Ibn ‘Atha’illah sangat banyak
pengunjungnya. Dan yang menarik, penjaga makamnya tidak meminta-meminta
sebagaimana pemandangan di Indoensia bagi sebagian penjaga makam wali songo.
Demikian pula dengan makam Syekh Amin al-Kurdy, pengarang kitab Tanwir al-Qulub, yang populer di
Indonesia. Makam ini menurut penuturan salah seorang kawan, dulu ditempati
tirakat oleh Gus Dur. Bahkan Gus Dur tercatat sebagai mahasiswa pertama
Indonesia yang tinggal di Ruwaq makam Syekh Amin al-Khurdy—kamar-kamar kecil
yang dipersiapkan untuk menghafal al-Qur’an atau mengkaji kitab-kitab turath.
Seperti Ruwaq Syekh Muhammad Abduh, Ruwaq syekh Muhammad Syaltouth, dll--.
Menurut penelitian Dr De Jong, tradisi ziarah wali di Mesir, negeri piramida ini memiliki tradisi ziaarah yang sangat kental. Setiap orang suci memiliki hari-hari tertentu sebagai waktu untuk ziarah. Hari-hari tertentu tersebut biasanya disesuaikan dengan hari lahir seorang wali. Setiap wali ada wirid tertentu yang biasa dianjurkan dibaca oleh para penziarah. bahkan ada makam tertentu yang sudah menyiapkan jasa tertentu untuk memudahkan para penziarah seperti menyiapkan tikar yang dapat disewa, minuman teh atau kopi, dan lain-lain. Yang jelas sudah ada jaringan bisnis dalam skala kecil untuk menyiapkan kebutuhan para penziarah.
Terkadang kita menjumpai masyarakat terpelajar juga melakukan tirakat pada makam-makam tertentu terutama ketika mereka sedang menempuh ujian semester. Mereka duduk dalam jangka waktu yang lama, membaca wirid-wirid tertentu pula.
Wa Allah a'lam.
1 komentar:
Superr sekali pak..blog bapak sangat bagus..sehingga membuat diri saya semakin termotivasi untuk bangkit dalam mencapai sebuah kesuksesan...!! Makasih pak..blog ini sangat bermanfaat...!!
Posting Komentar