Darullughah Wal-dakwah,
Bangil
Pesantren ini didirikan atas saran dan nasehat Syekh
Muhammad Alawy al-Maliky al-Makky al-Hasany. Pondok ini sudah berdiri sekitar
25 tahun oleh pendirinya Allah yaghfir
lahu semoga Allah mengampuninya)
al-Habib Hasan bin Baharun. Sekarang pondok ini dilanjutkan oleh putra-putra
beliau, yakni al-Habib Zain ibn Hasan ibn Baharun, al-Segaf ib n Hasan ibn
Baharun, dan al-Habib Ali ibn Hasan ibn Baharun. Al-Habib Ali ini masih muda
berumur sekitar 30-an tahun tapi sudah menulis kitab, seperti al-Syams al-Munirah yang memuat
pandangan-pandangan fiqih fuqaha mazhab al-Syafi’iyah.
Al-Habib Zain ibn Hasan ibn Baharun adalah pimpinan Pondok,
dan pernah diasuh langsung oleh Syekh Muhammad Alawy al-Maliky selama tujuh
tahun. Oleh santrinya, ia disebut sebagai seorang muhaddith ( ahli hadis). Ia juga biasa bertindak sebagai juru tulis
Syekh Muhammad Alawy al-Maliki. Menurut penuturannya, Syekh Muhammad Alawy ini
memiliki tujuh orang juru tulis yang senantiasa mendampinginya untuk mencatat
kitab atau materi dakwah beliau.
Al-Habib Hasan ibn Baharun adalah seorang pejuang dakwah di
jalan Allah. Selama membangun pondok Darul Lughah memiliki prinsip:
(a)
Al-ikhlash
kepada Allah. Beliau tidak pernah kendor semangatnya untuk membangun pondok
walaupun berhutang tiada putus-putusnya. Beliau berpenampilan biasa, bersahaja
dan tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya. Beliau lebih memilih sebagai al-waly al-mastur, yakni orang yang
dicintai Allah, yang tidak nampak di mata orang bnayak. Majhul fi al-ardh wa lakin ma’lum fi al-sama’ ( tidak terkenal bagi
penduduk bumi, tapi populer bagi penghuni langit)
(b) Akhlak
yang tinggi. Sewaktu beliau dikeluarkan oleh gurunya al-Habib Husein yang konon
kabarnya penganut syi’ah, dan terpaksa mengeluarkan muridnya al-Habib Hasan ibn
Baharun. Beliaupun menulis surat dengan sangat hati-hati untuk pamit, dan tidak
sedikitpun kalimatnya yang menyinggung perasaan gurunya. Beliau memiliki akhlak
yang sangat santun dan mulia.
(c)
Al-qudwah,
keteladan. Keteladanan ini sangat melekat pada diri al-Hasan ibn Baharun.
Menurut penuturan salah seorang santrinya, kalau putra beliau melanggar aturan
pondok, maka beliau member sanksi dua kali lipat dari santri kebanyakan.
Umpamanya, puteranya menonton televisi di kala sedang ujian, maka dia akan
disanksi dua kali lipat dari santri kebanyakan.
Al-Habib Zain ibn Hasan ibn Baharun memiliki kebiasaan kalau
beliau berkunjung ke sebuah daerah, maka beliau mencari alumninya yang tidak
mengajar, bukan yang sudah mapan atau mereka yang telah mendirikan pesantren.
Beliau akan mendatangi yang tidak mengajar dan memberinya semangat agar
mengajarkan ilmu yang telah didapatkannya selama nyantri. Kalau mereka merasa tidak
cukup ilmu agama, maka al-Habib Zain akan meyakinkannya bahwa mengajarkan baca
tulis al-Qur’an pun cukup. Bukankah itu juga sangat manfaat bagi umat Islam?
Beliau memiliki cita-cita besar untuk memajukan pesantren
yang berorientasi pada kemajuan iptek. Halmana para santrinya bukan hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama an sich,
tapi menekuni sains dan teknologi. Hal ini menjadi perhatian beliau agar umat
ini mampu bersaing dan memimpin peradaban dunia. Mungkin bukan pesantren
namanya, tapi semacam Islamic Boarding
School. Kurikulumnya 80% ilmu-ilmu sains dan teknologi dan 20% ilmu-ilmu
agama.
Al-Habib Zain berkeyakinan dengan memerhatikan pondok
pesantren bangsa Indonesia akan maju akhlaknya.
Pada penghujung acara Multaqa
Nasional V ada dialog mengenai Prospek Pesantren dan pendidikan Islam. Saya
diberi kesempatan untuk memimpin dialog ini. Saya mencoba membahas dua hal,
karena keterbatasan waktu shalat zuhur. Yakni: (a) ada tekanan dunia secara
sistematis untuk melemahkan arti dan peran pondok pesantren, sepeti tulisan Graham Fuller, a World without Islam,
dan (b) dinamika dan siatuasi pondok pesantren antara Indonesia dan Yaman. Saya
sempat menyinggung sedikit mengenai Ma’had Darul Hadith al-Salafy Dammaj
pimpinan Syekh Yahya al-Hajury, salah seorang murid Syekh Muqbil hady
al-Wadi’iy. Rupanya salah seorang peserta dialog ada ust yang bernama Yahya
yang sudah lama nyantri di Tarim Hadhramaut, sekitar 10 tahun lamanya. Bahkan
sekarang ini sedang menulis disertasi di al-Ahqaf University. Ia sangat anti terhadap Syekh Muqbil dan
menilainya sebagai seorang yang tidak layak diapresiasi pemikiran dan
tindakannya. Syekh Muqbil itu keterlaluan dan menganggap selain kelompoknya
sebagai kafir. Syekh Muqbil tidak bisa menerima pendapat orang selain dirinya.
Padahal, syekh Muqbil ini adalah seorang da’i dan muhaddhith,
ia menulis banyak buku, di antaranya: al-Shahih
al-Musnad mimma laisa fi al-Shahihain, al-Fatawa al-Hadithiyah, dll. Apakah
karena kita tidak setuju atas sikapnya yang sangat “keras” itu, sehingga
menutup mata kita untuk melihat kebaikan-kebaikan lain Syekh Muqbil?
Dari ust yahya ini (
orang Cirebon), saya mendapat informasi, bahwa di kalangan Islam garis keras di
Yaman ada lapisan tertentu. Yang pertama, adalah pengikut Syekh Muqbil. Dan
lapisan kedua adalah mereka yang mengikuti Dr Nashiruddin al-Albany yang juga
seorang muhaddhith yang menulis Silsilat
al-ahadith al-Shahihah, silsilat al-ahadith al-maudhu’ah wa atharuha al-sayyi’
fi al-ummah, dll.
Sewaktu saya masuk ke wilayah Sumailah dan ikut shalat
berjama’ah di Masjid Jami’ al-Khair, saya menemukan banyak kitab karya Sayyid
Quthub dan Ibnu Taimiyah di perpustakaan mereka. Saya berpikir, ternyata
ulama-ulama inilah yang banyak menginspirasi kalangan Islam garis keras.
Perlukah kita waspada terhadap karya Sayyid Qutub, Imam Ibnu Taimiyah?
Wa allah a’lam.
13 pebruari 2012.
2 komentar:
Mohon maaf sebelumnya kalau boleh saya minta biografi habib Ali bin Hasan Baharun pengasuh pondok pesantren dalwa II
Mohon maaf sebelumnya kalau boleh saya minta biografi habib Ali bin Hasan Baharun pengasuh pondok pesantren dalwa II
Posting Komentar