Membangun Tradisi Akademik[1]
Oleh: Muhammad
Zain[2]
Al-kisah seorang ada pebisnis terkemuka, CEO ternama dan
sangat sukses. Ketika beliau wafat, yang melayat banyak kalangan dengan
berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Bahkan ada egyptolog, ahli tentang Mesir, museum. Mereka ini tidak ada yang saling
mengenal. Mereka heran, bertanya-tanya mengapa almarhum memiliki teman ahli
museum Mesir.
Lalu para egyptolog juga bertanya-tanya mengapa ada pelayat dari latar belakang pebisnis? Diam-diam almarhum mengembangkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan keahliannya. Konon, Peter Drucker, disamping ahli manajemen nomor wahid di dunia, ia juga ahli kesenian Jepang.
Lalu para egyptolog juga bertanya-tanya mengapa ada pelayat dari latar belakang pebisnis? Diam-diam almarhum mengembangkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan keahliannya. Konon, Peter Drucker, disamping ahli manajemen nomor wahid di dunia, ia juga ahli kesenian Jepang.
Kisah di atas mengingatkan kita
pentingnya membangun komunitas. Dewasa ini, kebutuhan untuk menambah
pengetahuan akan semakin penting artinya. Banyak orang yang berkunjung ke dunia
maya bukan untuk membeli barang elektronik kesukaannya, seperti radio tape,
mobil, TV, dll. Tapi kebanyakan dari mereka berkunjung ke internet hanya untuk
mencari informasi yang terkait dengan kebutuhannya untuk menambah pengetahuan[3].
Semangat untuk “berbagi” termasuk
membagi tulisan, membagi pengetahuan kita semakin membutuhkan ter-connect dengan komunitas kita. Kita
terhubung dengan komunitas akademik kita.
Dan dari menulis itu, kita akan
dibayar dengan banyak rupiah atau dolar.
Berbagi informasi atau bertindak
sebagai konsultan akan menambah wawasan.
Bagi seorang dosen, menulis dapat
menambah point dan coin sekaligus.
Sekarang ini “ditengarai”
terdapat beberapa ilmu-ilmu keislaman yang sudah mulai “tercecer” dan hampir
punah. Seperti ilmu fara’idh, ilmu falak, fiqih mawaris, uslub (al-Qur’an), sudah tidak banyak lagi peminatnya.
Fiqih mawaris umpamanya, yang menggelutinya sekarang ini justeru David S.
Powers. David S. Powers adalah dosen, professor Kajian Arab dan Islam pada Cornell University Law
School. Ia memperoleh M.A dan gelar Ph.D-nya dari Princeton University dalam
bidang Sejarah Islam ( Islamic History) pada tahun 1979. Dan B.A-nya dari Yale
University pada tahun 1973.
David S. Powers telah menulis dua
buku yang penting terkait studi Islam, yakni: Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of
Inheritance, (University of California Oress, 1986); dan Muhammad is not the Father of any of Your
Men, the Making of the Last Prophet ( 2009).
David. S.Powers pada mulanya
tertarik pada pengalihan harta waris pada abad pertengahan Islam di Spanyol dan
Afrika Utara, dan fatwa-fatwa tentangnya. Baru belakangan ia tertarik pada
pewarisan Islam masa awal.
Meskipun dalam karyanya ini,
Powers masih mendasarkan pikirannya pada tesis Joseph Schacht bahwa praktik hukum
Islam formal belum dipraktikkan pada masa Nabi Saw dan masa sahabat melainkan
hukum Islam didasarkan pada putusan hakim agama dari para gubernur pemerintahan
Umayyah.
Lalu pertanyaannya kemudianm, bagaimana
menumbuh-kembangkan budaya akademik di kampus? Dulu, Dr Jahja Umar, mantan
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI sering menegaskan bahwa: saya melihat di
kampus banyak civitas politika ketimbang civitas akademika. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi suksesi rektor atau dekan. Civitas akademika berbondong-bondong
ke kampus. Bahkan para dosennya biasanya begadang semalam suntuk hanya untuk membicarakan
strategi memenagkan calon yang diusungnya.
Fenomena seperti ini tidak
terjadi pada budaya akademik. Para dosen hanya melaksanakan program
pembelajaran yang standar saja. Sementara di negara-negara maju, setiap dosen
dalam seminggu memiliki “office hours”(jam
kerja) tiga sampai lima jam hanya untuk melayani dan membimbing mahasiswa.
Biasanya dosen tertentu menuliskan secarik kertas di pintu kantornya yang di
dalamnya tertulis mahasiwa mana yang telah dijadwal untuk melakukan bimbingan.
Prinsipnya, dosen harus
memberikan bimbingan dan pelayanan yang penuh kepada mahasiswa. Setiap dosen juga memiliki link dengan internet, sehingga
memudahkan para mahasiswa untuk mengakses latar dan dasar pemikiran sang dosen,
baik karya-karyanya dalam bentuk buku, artikel dan ataupun power point. Hal ini sangat memudahkan mahasiswa untuk mempelajari
terlebih dahulu pokok-pokok pikiran sang dosen sebelum ia sendiri mengikuti
perkuliahan di kelas.
Seorang dosen mestinya tidak mencari “objekan”
di luar kampus. Seorang dosen harus menyadari sepenuhnya bahwa pilihan menjadi
pendidik memang harus hidup sederhana, dan tidak sampai kaya. Demikian
pengakuan Nico Kaptein salah seorang
dosen di Leiden University, Belanda.
Tradisi akademik harus bertumbuh
subur di kampus. Sudah barang tentu, ruh akademik di PTAI harus tumbuh dan
“diracik” dengan ajaran suci agama. Seperti nilai-nilai kejujuran. Sebab, salah
satu kunci sukses adalah menjaga dan memelihara integrity (kejujuran)[4].
Nilai-nilai utama Arab Pagan yang
telah mendapat “peneguhan” al-Qur’an dapat menjadi inspirasi dan landasan moral
bagi kita. Yakni: al-karim (kemurahan
hati dalam berderma); al-syaja’ah
(keberanian); al-hilm (sopan santun;
murah hati); al-shidqu (kejujuran); al-wafa’ (kesetiaan; al-maufuna bi-‘ahdihim; setia dengan
janji); dan al-shabru (kesabaran;
ketabahan hati)[5].
Tradisi akademik ini diharapkan akan
melahirkan peserta didik yang memiliki kepercayaan yang tinggi (confidence of self). Success is about
confidence, not about personal background, kata Michelle Obama.
Abraham Lincoln (1809-1865)
adalah Presiden A.S ke-16 yang sangat percaya diri. Pada hari pertama beliau
dilantik, beliau menyampaikan pidato di depan Senator AS. Lalu ia dikritik oleh
salah seorang senator (kaya dan aristokrat), bahwa dia itu hanyalah anak
seorang penjahit tukang sepatu keluarganya. Atas kritikan ini, Abraham Lincoln
menjawab:
Sir, I Know that my Father used
to make shoes for Your family,
And there will be many others
here,
Because He made shoes the way
nobody else can.
He was A Creator,
His shoes were not just shoes
He poured his whole soul into
them.
I want to ask you,
Have any complaint?
Because I know how to make shoes
myself.
If you have any complaint I can
make you another pair of shoes.
But as far I know, nobody has
ever complained about my father’s shoes.
He was a Genius,
A Great Creator.
Percaya diri adalah salah satu
nilai yang dipercaya oleh para pakar sebagai pintu sukses. Rhenald Kasali
mengisahkan suatu ketika seorang temannya sekitar 20 tahun yang lalu, di
Boulder, Colorado. Teman Jepangnya ini mengajaknya untuk makan siang di suatu
tempat kuliner yang sangat enak. Teman Jepangnya menyebut restoran tersebut
dengan Makuto Naruto. Setelah mereka tiba di tempat tersebut, ternyata Mc
Donald. Orang Jepang sulit menyebutkan kata yang huruf penutupnya bukan huruf
hidup.
Selain itu, orang Jepang demikian
juga Orang China, meskipun tidak memiliki kecakapan bahasa Inggeris yang
memadai, tapi mereka terkenal sebagai bangsa yang senang berpetualang. Dulu,
jauh sebelum mereka menjajah bangsa kita, kita sudah melihat orang Jepang masuk
ke pelosok-pelosok desa memikul hasil pertanian. Mereka tidak memiliki
kemampuan bahasa Indonesia, tapi sudah terjun untuk melihat dan mengamati
langsung situasi masyarakat kita.
Demikian pula orang China, hampir
seluruh wilayah di penjuru dunia ini pernah dikunjungi orang China. Meskipun
mereka tidak memiliki kecakapan bahasa Inggeris dan bahasa tempat wilayah yang
mereka kunjungi.
Oleh karena itu, sebetulnya kita
membutuhkan tradisi akademik yang dapat mendorong mahasiswa kita untuk menjadi
generasi yang gemar berpetualang. Marco Polo, contohnya. Marco Polo dikenal
sebagai Explorer (penjelajah) dan
sekaligus sebagai story-teller;
pencerita yang piawai. Marco Polo meskipun tidak sempat ke pulau Jawa, apalagi
ke wilayah Timur Indonesia, tapi sempat mendengar bahwa ada pulau yang paling
ajaib di dunia yang menghasilkan lada, pala, kayumanis, laos, dan rempah-rempah
lainnya, yang belakangan dikenal dengan Pulau Maluku[6].
Tapi catatan Marco Polo cukup meyakinkan orang Eropa. Belakangan muncullah nama
Vasco da Gama yang tercatat menemukan India. Marco Polo memiliki “sense of PR/ Public Relation—menjual diri?--[7].
Dalam sejarah
Islam juga terkenal nama Ibnu Battutah dengan kitabnya yang tersohor al-Rihlah[8].
Demikian juga nama Ibnu Khaldun, dengan kitab Muqaddimah[9]-nya
terkenal sebagai seorang petualang dan pencerita yang piawai. Bahkan beliau
dikenal sebagai Bapak Sosiologi Islam, bahkan ada yang berpendapat bahwa
beliaulah yang meletakkan dasar-dasar sosiologi yang belakangan dikembangkan
ilmuwan Barat.
Pertanyaan selanjutnya, apa kabar
Islamic Studies?
Suatu hari, kami mengundang K.H.
Jalaluddin Rakhmat, tepatnya pada tanggal 17 Desember 2010 di Cisarua, Bogor.
Topik yang dikaji adalah “Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum.
Pada acara tersebut, Kang Jalal
mengurai beberapa hal yang cukup mengejutkan, yakni:
- Sekitar 20 tahun yang lalu mahasiswa ITB Bandung lebih senang belajar agama Buddha. Sebab, agama Buddha lebih mengajarkan kasih-sayang. Sedang proses pembelajaran agama lainnya kurang menarik, sehingga mahasiswanya lebih banyak mengantuk. Selain itu, para dosen agama Buddha biasanya dalam memberi nilai murah. Agama Buddha mengajarkan teknik meditasi. Katholik bercerita tentang kasih. Dosen-dosen agama Islam bercerita tentang ritus-ritus.
- PTAI ditengarai sangat liberalis. Semua orang masuk sorga, kecuali orang-orang Islam. Sementara kaum fundamentalis berkumpul di PTU. Kaum fundamentalis mengalami kemajuan di PTU. Cirinya adalah kesetiaan kepada teks yang umumnya diikuti secara harfiyah. Keinginannya untuk menjalankan ritus-ritus ajaran agama dalam praktik sehari-hari. Janggut , betapapun tidak suburnya tetap dipelihara. Mereka juga cenderung untuk menghakimi orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
- Di UIN atau IAIN ada kelompok-kelompok atheis. Anak-anak muda NU—yang membangun Jaringan Islam Liberal--. Di Utan Kayu, Jakarta ada diskusi menggugat mukjizat Nabi. Mukjizat itu tidak ada, kata mereka ( JIL). Hadis-hadis tentang mukjizat dipabrikasi 200 tahun setelah wafatnya Nabi Saw.
Sementara itu, Karen Armstrong
dalam dua buku terbarunya, yakni The Case for God: What Religion Really Means, (2009)[10],
dan Twelve Steps to a Compassionate Life (2010) sepertinya merekomendasikan
agama Buddha sebagai “agama pilihan” di masa depan. Agama masa depan adalah
agama sunyi, dan hening. Agama yang penuh gegap gempita, apalagi yang gaduh
bukanlah agama yang diminati menurut teori ini.
Elizabeth Gilbert: Eat,
Pray, Love: One Women’s Search for Everything Across Italy, India and Indonesia
(2006), pada akhirnya ia juga memilih agama Buddha sebagai tambatan hatinya
yang sedang galau.
Tiga buku berikut, meskipun kita
tidak sepenuhnya setuju terhadap tesis yang diajukan, tapi perlu untuk menjadi
bahan kajian.
•
Stephen Hawking co-authored
with Leonard Mlodinow, The Grand
Design (Bantam Press, 2010),
Tuhan telah pensiun.
•
Karl Marx, religion
is the opium of the people. Agama adalah candu masyarakat. Ada teori
alienasi, keterasingan manusia dari pekerjaannya, masyarakatnya, dirinya
sendiri.
•
Richard Dawkins, The
God Delusion, (what’s wrong with religion? Why be so hostile?.
Pertanyaannya kemudian adalah di
mana posisi Islam? Bagaimana nasib dan posisi agama-agama besar dunia dalam
menjawab kegalauan dan nestapa manusia modern? Islam “diminati” sepanjang
menampilkan sisi esoteriknya. Pandangan dan model Islam tasawuf akan lebih
menggugah dan memberi penyadaran. Eksoterik Islam yang “kering” akan tidak
banyak memberi solusi. Sehingga, buku-buku seperti Ihya’ “Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) karya Imam
al-Ghazali; Hujjat Allah al-Balighah
karya Syah Wali Allah al-Dihlawy; Farid al-Din al-Aththar, Tadzkirat al-Auliya’, Sa’di al-Syirozi, Gulistan, dll menarik sebagai “oase” di tengah “dahaga spiritual”
manusia modern.
Suatu hari saya diundang oleh Lazuardi
Birru ( sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsern mengkampanyekan
deradikalisasi agama, Islam rahmatan li
al-‘alamin. Judul yang diminta oleh panitia cukup provokatif. Yakni, Membahas Tafsir Al-Qur’an yang Berkaitan
dengan Jihad, Perang, Teror. Bagi saya, pada hakikatnya tidak ada hubungan
antara al-Qur’an dengan terorisme. al-Qur’an itu suci dan sakral. Sedang
terorisme itu adalah sesuatu yang profan, terkait dengan perilaku manusia. Sama
halnya dengan “tafsir al-Qur’an” yang juga profan bersumber dengan pergumulan
nalar dan pemikiran manusia dengan teks al-Qur’an. Mengenai Jihad dalam
al-Qur’an, kita akan banyak menemukan terma tersebut. Hanya saja pertanyaan
yang sampai kini masih hangat diperbincangkan adalah what is jihad? Apakah jihad
itu sama dengan “the holy war”? (
perang suci?). Apakah jihad berkait kelindan dengan aksi-aksi “terorisme”? Atau
antara jihad dengan terorisme adalah dua entitas yang sangat berbeda?
Pada acara tersebut, saya juga bercerita
mengenai kisah inspiratif Prof. Jeffry Lang. Ia adalah seorang profesor pada
Departemen Matematika pada University of Kansas, AS. Ia pada awalnya adalah
seorang penganut Kristen. Ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat. Suatu
hari di hotel, ia mendengarkan azan yang sangat merdu yang menyebabkannya
terpikat dengan ajaran Islam. Suara azan tersebut membuatnya bergetar. Dan
setelah itu, ia mencari tahu bagaimana ajaran Islam itu. Ia dan keluarganya
berkelana ke Saudi Arabiyah, negara tempat lahirnya Islam. Ia dan keluarga
melaksanakan ibadah haji. Meskipun kecewa dengan perilaku kebanyakan umat Islam
di sana, dan tidak sepenuhnya berkesesuaian dengan al-Qur’an dan sunnah
Nabi Saw. Perjalanannya itu, ia abadikan
dalam buku yang berjudul: Even Angels
Ask: A Journey to Islam in America, 1997.[11]
Suatu hari ia bertemu dengan seorang wanita di
Swalayan. Wanita tersebut tidak diberi kesempatan untuk shalat berjama’ah di
mesjid. Ia juga tidak habis pikir dengan adanya mutawwa’, polisi yang mengawasi gerak-gerik orang lain. Ini sangat
menggelikan, pikirnya. Apakah memang di Arab, akhlak secara individual lebih
dipentingkan ketimbang akhlak sosial atau etika secara universal? Seperti
keadilan, kejujuran, responsibility,
tanggung-jawab, kemaslahatan bersama, dll.
Hal yang menarik dari Jeffry Lang
ini adalah:
(a)
Ia mengusung ber-Islam yang kritis. Ia banyak
mempertanyakan doktrin-doktrin Islam dengan kritis. Islam yang kritis yang
diusungnya bukannya melemahkan imannya tapi justeru memperkuat iman-islamnya.
(b)
Ia tetap mempertahankan Islam rahmatan li al-‘alamin. Islam itu adalah ajaran dan agama
universal, bukan agama Arab. Tidak ada arabisasi, yang ada adalah islamisasi.
Seperti terma Alhamdulillah, bukan
diucapkan Alhamdulillah bagi
komunitas Islam non-Arab, tapi tetap memakai
Thank’s God. Tentu pikiran
seperti ini sangat kontras dengan kebiasaan sebagian dari kita yang sering
melafalkan kalimat-kalimat islami, seperti Alhamdulillah,
subhanallah, Allah akbar, masya Allah, Insya Allah, dst. Meskipun terkadang
mereka ini bersikap eksklusif dalam pergaulan sehari-hari. Dalam artian, mereka
berkeyakinan bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Dan dalam batas-batas
tertentu hanya merekalah pemilik kebaikan dan kemuliaan. Dan sangat boleh jadi
mereka mempermaklumkan diri sebagai calon penghuni sorga, sedang yang lain
“belum tentu”.
(c)
Pijakan argumentasi Jeffry Lang adalah Q.S al-Baqarah (2): 31, ketika para
malaikat mengajukan protes kepada Tuhan tentang akan diciptakannya makhluk baru,
yaitu Adam a.s. Mengapa Tuhan akan menciptakan Adam, bukankah kami ini yang
sejak penciptaan awal, kami selalu memuji-Mu, mensucikan-Mu, dan tidak pernah
melanggar perintah-Mu? Dari sinilah, sehingga Prof Lang tambah mantap dengan
iman-Islam.
Islam kritis bukan Islam Keturunan. Apakah
selama ini kita sudah pernah bertanya terhadap Islam-iman kita? Apakah aqidah
dan tauhid kita sudah benar? Apakah cara wudhu’ dan shalat kita sudah benar?
Apakah tata cara bertutur kita sudah benar? Apakah cara kita mempergauli
pasangan hidup kita sudah benar? Apakah cara kita mengendarai mobil dan motor
sudah tepat? Apakah ketika kita tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas termasuk
dosa sosial? Apakah membunyikan klakson mobil “semau gue” adalah perbuatan yang
benar? Apakah cara baca (tajwid dan tartilnya) al-Qur’an kita benar? Apakah
kita sudah bersyahadat dan memahaminya dengan benar? Apakah makna agama dalam
kehidupan kita? Apa betul kita sudah beragama yang benar? Apakah kita sudah
memosisikan agama sebagai way of life? Ataukah agama hanya sekedar lipstik
belaka? Atau agama hanya sebagai “tameng” kalau sudah “berperkara” di
pengadilan baru memakai simbol-simbol agama? Apakah kita beragama hanya sekedar
“menggugurkan” kewajiban, ataukah sudah menjadi sebuah kebutuhan? Atau kita
beragama karena kesadaran batin? Ataukah kita beragama karena ikut-ikutan?
Bagaimana posisi PTAI dan kajian
Islam? Ada ilmu-ilmu keislaman yang
terancam punah. Seperti Ilmu ‘Arudl;
Fiqih Mawaris; Ilmu Falak/Astronomi Islam; dan Ilmu Uslub
al-Qur’an.
Perlu repositioning meminjam istilah Jack Trout & Al Ries.[12] “Repositioning” mengusung tiga konsep utama (3 C), yakni: Competition
(Kompetisi); Change (Perubahan); dan Crisis (Krisis). Perlu perhatian serius untuk penguatan prodi-prodi
Agama. bagaimana “Jalan Keluarnya”?
RETHINK:
Memikirkan kembali market prodi agama ( PTAI).
REFOCUS:
Menfokuskan kembali kebijakan “branding”
(merek) sehingga dapat memenuhi (“memuaskan”) pelanggan (komunitas, jama’ah,
umat).
REASSESS:
Mengevaluasi kembali kekuatan yang dimiliki PTAI (kajian keislaman) untuk
kemajuan Kementerian Agama RI.
REPOSITION:
Memosisikan kembali identitas PTAI ( kajian keislaman).
RECLAIM:
Merebut kembali keuntungan-keuntungan kompetitif Anda.
Dengan Repositioning, kita bisa menguasai “3C” dalam bisnis; Competition,
Change, and Crisis.
Kita semua berkewajiban untuk
“menggairahkan kajian Islam”. Ada yang berpendapat bahwa Islam yang kita warisi
adalah sangat boleh jadi tidak seluruhnya “murni Islam”. Dr Yahya Muhammad
berpendapat bahwa ada 95% atau lebih yang kita yakini sebagai ajaran islam,
padahal itu bukanlah murni Islam. Selebihnya 5% yang murni ajaran Islam, bahkan
kurang dari itu. Kita perlu kajian yang serius mengenai hal ini.
Terakhir, kita yakin bahwa Islam
Indonesia memiliki kekhasan sendiri yang membedakannya dengan Islam Timur
Tengah. Tradisi mudik, beduk, kopiah,
aneka bentuk arsitek rumah ibadah, dan lain-lain adalah kekhasan “Islam
Indonesia”. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia, para pemikirlnya harus
“tegak kepalanya” dengan bangsa-bangsa lain. Kita harus menjadi pemikir mandiri
dan independen bukan selalu menunggu dan meminta fatwa dari ulama-ulama Timur
Tengah.
Kita mestinya sudah memproduksi pemikiran Islam. Kita
seharusnya sudah menjadi pemikir produktif, dan tidak lagi konsumtif. Tahun
1970-an sampai 1980-an kita menghabiskan banyak uang untuk pergi ke luar negeri
untuk belajar. Sekarang mestinya orang lainlah yang belajar kepada kita. Kita
harus menjadi lebih produktif dan menghasilkan karya-karya monumental.
Beberapa tahun yang lalu, pemerintah Belanda mengirim
calon-calon imam mereka untuk belajar ke Indonesia. Karena menurut keyakinan
mereka, Islam Indoensia lebih pas dengan perkembangan masyarakat di Belanda.
Ini hal yang sangat menarik. Pemerintah Belanda tidak mengirim para imamnya ke
Timur Tengah, seperti Mesir, Sudan, Maroko, Syiria, Yordania, dll. Karakter Islam
Indonesia menjadi penting di sini.
Ringkasnya, ada kebutuhan dunia terhadap corak pemikiran
dan praktek keislaman di Indonesia. Ini tantangan intelektual muslim Indonesia
untuk dapat bermain di tingkat dunia. Kontak-kontak intelektual di Amerika
Serikat, Eropa, Timur Tengah harus segera dilakukan. Kita “menjual”. Kita harus
memulainya dari sekarang.
Walhasil, tradisi akademik harus
dibangun dan “dirajut” dengan penuh kesadaran serta dengan visi yang jelas.
Tradisi akademik akan melahirkan sarjana yang percaya diri, hobby berpetualang dan sebagai pencerita
yang handal. Dan semoga sukses.
Wa allah a’lam bi al-shawab.
Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
Jakarta, 11-11-11
[1] Catatan ini
adalah sebagai kertas kerja dan belum layak disebar-luaskan.
[2]
Kepala Subdirektorat Pengembangan Akademik, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
Ditjen Pendis, Kemenag RI.
[3] Seorang dosen, harus terconnect dengan dunia maya. Internet,
Google adalah perpustakaan raksasa yang dapat diakses mudah, murah, any time, any where dan oleh siapa saja.Meskipun
Nicholas Carr mengingatkan bahwa internet dapat saja mendangkalkan cara
berpikir kita. Membaca buku cetak lebih mudah dan lebih intuitif daripada buku
dalam bentuk piksel di layar Komputer. Membaca buku cetak mendorong kita untuk
lebih fokus dan dapat berpikir kreatif serta mendalam. Membaca buku di dunia
maya akan terjadi yang sebaliknya, kita akan tergoda untuk mengklik informasi
lainnya yang mungkin tidak terkait dengan bahan yang sedang kita baca. (
Nicholas Carr, The Shallows: What the
Internet is Doing to Our Brains, 2010).
Bill Gates baru-baru ini menulis
dalam sebuah pengantar buku yang berjudul: Total
Recall. Gates menegaskan bahwa internet sekarang ini merupakan penyimpan
data yang sangat aman, akurat dan memudahkan semua orang.
Total recall, internet, google
docs dapat membantu sebagai bank penyimpan data yang akurat terutama bagi
seseorang yang mendekati umur tua akan semakin menurun daya ingatnya dan
berkurang daya tangkapnya.
[4] Harian Kompas menurunkan rubrik: Kejujuran dalam Keluarga yang ditulis Agustine Dwiputri, seorang
psikolog. Menurut Linda K Popov, dkk dalam buku: The Family Virtues Guide ( 1997), jujur adalah tampil tulus,
terbuka, dapat dipercaya dan menyampaikan kebenaran. Orang jujur memiliki
integritas. Kalau mengatakan sesuatu pasti tidak berbohong apalagi menipu.
Kalau memuji pasti ia mangatakan senyatanya, bukan karena mau menginginkan
sesuatu.
Untuk membentuk kejujuran dalam keluarga, ada beberapa
kiat sebagai berikut:
(1) Cocokkan perkataan dengan tindakan. Jangan sekali-sekali membodohi
anak, atau jangan biarkan seorang anak membodohi anda; (2) Janji harus
ditepati. Buatlah janji yang dapat ditepati; (3) Akuilah kesalahan, jika orang
tua sewaktu-waktu berbuat kekeliruan. Itu lebih baik. ((Kompas, Minggu, 7
Agustus 2011), h.18.
[5]Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Qur’an,edisi revisi dari karya sebelumnya dengan judul: The
Structure of the Ethical Terms in the Koran, 1959.
[6] M. Adnan
Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah
Maluku Utara 1250-1950, (Jakarta: Gramedia: 2010; Toeti Heraty, Rainha Boki Raja Ratu Ternate Abad Keenambelas, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011—raja-raja
ternate banyak “mati diracun”. Rempah-rempah untuk mummy dan kebutuhan
kesehatan seksualitas para raja di Eropa.
[7] Anthony
Reid, Witnesses to Sumatra. A Travelers
Anthology, New York: Oxford University Press, 1995 dan Wimar Witoelar, Still More About Nothing, 2011.
[8]Karya Ibnu Battutah sudah dielaborasi dengan sangat
baik oleh Ross-e. Dunn, The Adventures of
Ibn Battutah, a Muslim Traveler of the 14th century, 1986, University
of California Press—sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: Petualangan Ibnu Battutah, Seorang Musafir
Muslim abad 14, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
[9] Abd Rahman ibn Muhammad al-Khadramy (Ibn Khaldun w.
808 H), Ta>ri>kh ibn Khaldu>n yang judul aslinya: Kita>b
al-‘Ibar wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabr fi> Ayya>m al-‘Arab wa
al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘As}rahum min Dhawy> al-Sult}a>n al-Akbar,
(Beirut: Mu’assasah Jammal li al-Taba’ah wa al-Nasyar, 1979 M.
[10] Pertanyaan yang diajukannya, antara lain: Does God
have a future in this age of aggressive scientific rationalism?; Why has the
modern God become incredible?; Surely everybody knows what God is: the supreme
being, a Divine Personality, who created the world and everything in it…..
[11]
Jeffry Lang sudah menulis beberapa buku lainnya, yakni: (a) Struggling to Surrender, 1994, Buku ini
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Suharyono dengan judul: Berjuang untuk Berserah Pergulatan Sang
Professor Menemukan Iman, Serambi, 2008, dan (b) Losing My Religion: A Call for Help, 2004. Buku ini juga telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Agung Prihantoro dengan judul: Aku Menggugat, maka Aku Kian Beriman,
Serambi, 2008.
[12]Tiga
puluh tahun yang lalu, Jack Trout & Al Ries menulis Positioning: The
Battle For Your Mind. Sejak itu buku tersebut diposisikan sebagai salah
satu dari 100 buku bisnis yang terbaik sepanjang masa.
2 komentar:
nice blog ustaz... kalau boleh kami minta tulisan2 ustaz untuk di masukkan di blog sederhana kami mahasiswa tafsir hadis program khusus UIN Alauddin Makassar.
www.sanadthkhusus.blogspot.com
Menarik Untuk di baca dan diimplementasikan
Posting Komentar