Gallery

Kamis, 22 Maret 2012

Agama Sunyi


 Suatu hari, kami mengundang K.H. Jalaluddin Rakhmat, tepatnya pada tanggal 17 Desember 2010 di Cisarua, Bogor. Topik yang dikaji adalah “Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.
Pada acara tersebut, Kang Jalal mengurai beberapa hal yang cukup mengejutkan, yakni:
  1. Sekitar 20 tahun yang lalu mahasiswa ITB Bandung lebih senang belajar agama Buddha. Sebab, agama Buddha lebih mengajarkan kasih-sayang. Sementara proses pembelajaran agama lainnya kurang menarik, sehingga mahasiswanya lebih banyak mengantuk. Selain itu, para dosen agama Buddha biasanya “murah” dalam memberi nilai hasil ujian.  Agama Buddha mengajarkan teknik meditasi. Katholik bercerita tentang kasih. Dosen-dosen agama Islam bercerita tentang ritual yang wajib ditunaikan.

  1. Perguruan Tinggi Agama Islam ditengarai sangat liberalis. Semua orang masuk sorga, kecuali orang-orang Islam.  Sementara kaum fundamentalis berkumpul di Perguruan Tinggi Umum. Kaum fundamentalis mengalami kemajuan di PTU. Cirinya adalah kesetiaan mereka kepada teks yang umumnya diikuti secara harfiyah. Keinginan mereka  untuk menjalankan ritual-ritual ajaran agama dalam praktik sehari-hari. Janggut , betapapun tidak suburnya tetap dipelihara. Mereka juga cenderung untuk menghakimi orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

  1. Di UIN atau IAIN ada kelompok-kelompok atheis. Anak-anak muda Nahdhatul Ulama—yang membangun Jaringan Islam Liberal--. Di Utan Kayu, Jakarta ada diskusi yang menggugat mukjizat Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama. Mukjizat Nabi itu tidak ada, kata mereka ( Jaringan Islam Liberal). Hadis-hadis tentang mukjizat dipabrikasi 200 tahun setelah wafatnya Nabi Shalla Allah ‘alaih wa sallama.

Sementara itu, Karen Armstrong dalam dua buku terbarunya, yakni The Case for God: What Religion Really Means, (2009)[1], dan Twelve Steps to a Compassionate Life (2010) sepertinya merekomendasikan agama Buddha sebagai “agama pilihan” di masa depan. Agama masa depan adalah agama sunyi dan hening. Agama yang penuh gegap gempita, apalagi yang gaduh bukanlah agama yang diminati menurut teori ini.
Elizabeth Gilbert:  Eat, Pray, Love: One Women’s Search for Everything Across Italy, India and Indonesia (2006), pada akhirnya ia juga memilih agama Buddha sebagai tambatan hatinya yang sedang galau. E. Gilbert adalah seorang ibu muda Amerika yang sedang mengalami perceraian yang “tragis” dengan suaminya. Untuk mengobati kegalauan hidupnya, ia memilih untuk menikmati berkeliling dunia. Ia pertama-tama ke Prancis untuk menikmati kota Paris yang sangat eksotik. Ia menimati serbaneka kuliner ala Prancis. Ia menaklukkan “kehidupan malam” di Paris yang sangat menggoda. Tapi ia tidak puas. Selanjutnya, ia terus ke India. Di India, ia banyak ikut dan menjalani Yoga, cara meditasi ala India. Dari India, ia melanjutkan ke kota Bali yang terkenal sebagai pulau Dewata. Bali, ada juga yang menyebutnya sebagai kota surge dunia. Di Bali inilah Elizabeth mengalami pencerahan spiritual, dan akhirnya berketetapan hati untuk menganut agama Budhdha.
Tantangan agama-agama besar sekarang ini mengalami pasang-surut. Ada sebagian kalangan dan sampai pada pemikir dunia dan saintis yang tidak percaya akan pesan-pesan suci agama. Setidaknya buku-buku berikut dapat menjadi bahan renungan dan kajian lebih lanjut agar tokoh-tokoh agama besar dapat "meracik ulang" kemasan pesan-pesan keagamaan yang akan disampaikannya kepada umat.
         Stephen Hawking co-authored with Leonard Mlodinow, The Grand Design (Bantam Press, 2010), Tuhan telah pensiun.Alam raya ini sudah berjalan secara otomatis. 
         Karl Marx, religion  is the opium of the people. Agama adalah candu masyarakat. Ada teori alienasi Marx yang melihat bahwa ada keterasingan manusia dari pekerjaannya, manusia dari masyarakatnya, manusia dengan dirinya sendiri. Bahkan manusia "terasing" dari Tuhannya. Bahkan Sigmund Freud merekomendasikan bahwa dulu ada keimanan yang mengatakan bahwasanya Tuhan yang menciptakan manusia. Sekarang justeru sebaliknya, manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan hanyalah sebuah ilusi, sebagaimana yang digagas oleh  Richard Dawkins, The God Delusion, (what’s wrong with religion? Why be so hostile?.  

Pertanyaannya kemudian adalah di mana posisi Islam? Bagaimana nasib dan posisi agama-agama besar dunia dalam menjawab kegalauan dan nestapa manusia modern? Islam “diminati” sepanjang menampilkan sisi esoteriknya. Pandangan dan model Islam tasawuf akan lebih menggugah dan memberi penyadaran. Eksoterik Islam yang “kering” akan tidak banyak memberi solusi terhadap kahausan spiritual manusia modern. Sehingga, buku-buku seperti Ihya’ “Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) karya Imam al-Ghazali; Hujjat Allah al-Balighah karya Syah Wali Allah al-Dihlawy; Farid al-Din al-Aththar, Tadzkirat al-Auliya’, Sa’di al-Syirozi, Gulistan, dll menarik sebagai “oase” di tengah “dahaga spiritual” manusia modern.    
Imam al-Ghazali memasukkan unsure-unsur tasawuf dalam kajian fiqih yang cenderung terasa “kering”. Al-Dihlawy demikian pula halnya selalu mencari rahasia-rahasia ibadah seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan, kewajiban menunaikan zakat, dan ibadah hajji. Al-‘Aththar lebih mengelaborasi profil para tokoh sufi berikut karamah atau anekdot-anekdot mereka.
Wa Allah a’lam.


[1] Pertanyaan yang diajukannya, antara lain: Does God have a future in this age of aggressive scientific rationalism?; Why has the modern God become incredible?; Surely everybody knows what God is: the supreme being, a Divine Personality, who created the world and everything in it…..
 

Tidak ada komentar: