Tanggal 19 Maret 2012, sahabat almarhum Prof. Dr. H. A.
Qodri Azizy memperingati empat wafatnya beliau. Ada banyak kawan dan kader Prof
Qodri terutama dari Kementerian Agama dan Kesra. Ada juga jama’ah di sekitar
kediaman beliau di Pejaten, Pasar Minggu. Ada pembacaan tahlil, surah Yasin, do’a
bersama dan taushiyah. Taushiyah dibawakan oleh Dr. H. Risman, sahabat karib
beliau atas permintaan keluarga Prof Qodri yang diwakili oleh Prof. Masykuri
Abdillah—adik kandung beliau.
Waktu empat tahun sepertinya baru saja terjadi kemarin. Saya
punya kenangan yang tak terlupakan dengan Prof. Qodri, dua jam sebelum wafatnya
beliau, saya sempat berfoto bersama. Jaket yang saya pakai, saya hadiahkan
kepada seseorang karena tidak tahan menahan keharuan detik-detik terakhir
bersama dengan beliau. Benarlah kata Imam al-Syafi’i radhi Allah ‘anhu, bahwa
sekiranya al-Qur’an tidak turun secara utuh, dan Allah hanya menurunkan surah al-‘Ashr, maka cukuplah bagi kita. Allah
Swt bersumpah dengan waktu, wa al-‘Ashri,
demi waktu. Itulah sebabnya, kita harus betul-betul memanfaatkan waktu
semaksimal mungkin untuk amal kemanusiaan. Hari ini, jam ini, menit ini, detik
ini, tidak mungkin berulang lagi. Kata orang bijak: wal-waqtu ka al-saif iza lam taqtha’, yaqtha’: waktu itu ibarat
pedang, kalau engkau lengah, maka ia akan menebasmu”.
Dalam taushiyahnya, Dr H. Risman mengutip pendapat Syekh Ahmad
Syauqy (1868-1932)—penyair Mesir, yang menulis kitab al-‘Abarat, Untaian Air Mata. Kitab al-‘Abarat ini menafsirkan
ayat: wa ibtaghi fi ma ataka Allah al-dar
al-akhirat wa la tansa nashibaka min al-dunya: …”Carilah karunia yang telah
diberikan Allah Swt kepadamu, tapi janganlah melupakan nasibmu di dunia”.
Dr. Risman menjelaskan bahwa dalam kitab al-‘Abarat ini, ditegaskan bahwa barang siapa yang menanam untuk
akhirat, maka dunia akan ikut bersamanya. Sebaliknya, barang siapa yang menanam
hanya untuk kepentingan dunianya, maka akhiratnya akan merugi. Ibarat seseorang
yang menanam padi, pasti ilalang akan tumbuh. Sebaliknya, barang siapa yang
menanam ilalang, pasti padi tidak akan tumbuh. Padi adalah tamsil untuk
akhirat, dan ilalang adalah metafora dunia.
Prof Qodri telah menanam untuk akhiratnya, maka meskipun
beliau sudah dipanggil di sisi-Nya terasa beliau masih hidup dengan sukses yang
diraih kader yang telah dibinanya.
al-Haris al-Muhasiby (165 H-243 H), seorang sufi pernah
berkata:
Namutu wa nahya kulla
yawmin wa lailat-in
Wa la budda min yawmin namutu wa la nahya
Wa linna la-fi
al-dunya ka-rakbi safinat-in
Nadzunnu wuqufan wa
al-zamanu bina yajry
(kita mati dan hidup setiap hari, setiap malam
Sangat boleh jadi suatu hari kita mati, dan hidup lagi
Sesungguhnya kita di dunia ini laksana penumpang sebuah
kapal
Kita mengira “berhenti”, padahal waktu terus berlalu)
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa
memanfaatkan waktu dan umur yang telah dipinjamkan Allah kepada kita untuk amal
kebaikan.
Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar