Jalaluddin Rakhmat—Kang Jalal—baru
saja melaunching buku terbarunya dengan judul: Do’a Bukan Lampu Aladin, Serambi, 2012. Ada banyak hal yang
dibahas. Adab berdo’a, berdo’a dengan rendah hati, do’a dan penderitaan, amalan
do’a sebelum tidur, rahasia istighfar, do’a ramadhan, dan do’a Rasulullah untuk
memohon kehidupan yang baik.
Nabi Musa a.s berdo’a selama 40
tahun untuk menumbangkan tirani Fir’aun di Mesir. Nabi Zakariya a.s berdo’a hampir
60 tahun untuk mendapatkan keturunan, dan pada usia 80 tahun beliau baru
dikaruniai seorang puteri, yakni Maryam a.s. Hal yang sama juga terjadi pada
diri Nabi Ibrahim a.s, justeru di usia senja beliau baru dikaruniai dua putera,
yaitu Ismail dan Ishaq. Do’a memang bukan lampu aladin. Selama ini, kalau kita
berdo’a, langsung diijabah oleh Tuhan.
Ada kisah seorang raja yang
lalim, dan seorang shaleh. Keduanya mengalami sakit yang sama dan pada waktu
yang hampir bersamaan pula. Untuk sang raja zalim, Tabib, dokter berpendapat bahwa obat
satu-satunya adalah ikan tertentu yang kebetulan tidak muncul di laut pada saat
ini. Jadi, untuk sembuh sangat tipis harapan. Lalu, raja berdo’a agar diberi
kesembuhan. Tuhanpun mengerahkan para malaikat agar menggiring sekelompok ikan
yang dibutuhkan untuk keperluan pengobatan. Singkatnya, sembuhlah sang raja
lalim.
Sebaliknya, orang shaleh pada
saat lain juga mengalami sakit yang sama. Bedanya, si Shaleh pada saat itu,
ikan yang dibutuhkan lagi musim. Sehingga, tabib tidak akan mengalami kesulitan
untuk mencari ikan di laut. Berdo’alah si shaleh agar diberi kesembuhan. Apa yang
terjadi? Ketika tabib mencari ikan pengobatan di laut, Tuhan memerintahkan para
malaikatnya agar menggiring ikan-ikan tersebut untuk bersembunyi di dasar laut.
Maka, ikan pengobatanpun tidak ditemukan. Akhirnya, si shaleh meninggal. Lalu,
pertanyaannya kemudian, mengapa Tuhan member kesembuhan kepada sang raja yang
tiranik, sementara kepada hamba yang shaleh tidak? Rupanya Tuhan punya rencana
lain. Semua orang, siapa pun dia pasti pernah berbuat kebaikan termasuk si raja
zalim tadi. Tuhan menerima do’anya karena perbuatan baiknya selama di dunia.
Tuhan cepat membalasnya di dunia, sehingga di akhirat dia sudah tidak menagih
balasan amal kebajikannya. Sebaliknya, sebaik-baik seseorang pastilah ia pernah
berbuat dosa, kecuali para nabi dan rasul karena mereka maksum. Demikian pula
halnya dengan si shaleh tadi pastilah ia pernah berbuat dosa. Sehingga, do’a
kesembuhan yang dia minta tidak dikabulkan karena untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga
di akhirat kelak, ia menuju jalan yang lempang masuk surga. Oleh karena itu,
kita harus tetap husn al-zann,
berbaik sangka kepada Allah Swt apapun yang menimpa kita.
Berdo’a memiliki adab dan etika
tersendiri. Ada pendapat bahwa do’a yang diijabah adalah do’a yang abstrak dan
tidak detail serta tidak terkesan mendikte Tuhan. Kita tentu biasa mendengar
lafaz-lafaz do’a yang dimunajahkan di kantor-kantor. Si pembaca do’a –mungkin juga
seorang pejabat--seakan-akan sedang “mendikte” Tuhan karena disangkanya sedang “memerintahkan
sesuatu” kepada bawahannya.
Marilah kita perhatikan do’a para
Nabi dan rasul berikut.
Nabi Ibrahim ketika sakit hanya berucap,
wa iza maridhtu fa-huwa yasyfini—…dan
apabila aku sakit, maka Dialah (Tuhan) yang menyembuhkanku. Nabi Ayyub ketika
ditimpa sakit yang menahun, beliau bermunajat: Sakit telah menimpaku, Dikaulah
Tuhan yang paling pengasih. Nabi Ayyub tidak mengeluh, dan apalagi
mengalamatkan “sesuatu’ kepada Tuhan.
Nabi Yunus a.s ketika ditelan
ikan, dan menyadari kesalahan serta kehinaan atas dirinya, beliau berucap:
Tiada Tuhan selain Dikau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk
orang-orang yang menganiaya diri sendiri (Q.S.
al-Anbiya’: 87). Nabi Adam a.s berucap, Q.S.
al-A’raf:23, Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika Engkau tidak mengasihani kami, maka kami pastilah termasuk orang-orang
yang merugi.
Rabi’ah al-Adawiyah juga berdo’a
sebagaimana digubah oleh taufik Ismail:
Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka,
masukkanlah aku ke dalam neraka itu, dan besarkan tubuhku di neraka itu,
sehingga tidak ada tempat lagi di neraka itu buat hamba-hamba-Mu yang lain.
Kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surge-Mu, berikan surge itu
kepada hamba-hamba-Mu yang lain, bagiku Engkau saja sudah cukup. (
Jalaluddin Rakhmat, Do’a Bukan lampu Aladin,
h. 41).
Pada acara memperingati Hari Guru
Nasional ke-66 dan HUT KORPRI ke 40, 29 Nopember 2011, saya mendapatkan tugas
sebagai “pembaca do’a. saya mencoba untuk “meramu” do’a agar tidak terkesan
mendikte Tuhan. Sebagaian do’a yang saya bacakan, sebagai berikut:
Ya Allah, Ya ‘Alim,
Perkayalah kami dengan
ilmu,
hiasilah kami dengan
kelapangan dada,
muliakanlah kami dengan taqwa,
Wahai Zat yang Maha
Tahu tanpa diberi tahu,
Ajarkanlah kepada kami
apa yang bermanfaat bagi kami,
Dan anugerahilah kami
kemampuan untuk memanfaatkannya.
Maha Suci Engkau ya
Allah, tiada ilmu yang kami raih kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami,
Sesungguhnya Engkau
Maha Bijaksana.
Ya Allah, Zat Pemberi Petunjuk
Bimbinglah kami dengan petunjuk-Mu
Antarlah kami menuju “pintu gerbang” kearifan-Mu
Tunjukilah kami jalan lurus dan lapang
Ilhamilah kami kemampuan menempuh jalan yang benar,
Mengelola persoalan dengan tepat,
Luruskan, jika kami menyimpang.
Sambutlah tangan kami, jika kami tergelincir.
Ya Allah, Ya Nur ‘ala
Nur
Anugerahkanlah ke
dalam hati kami cahaya,
Ke lisan kami cahaya,
Dalam penglihatan kami
cahaya,
Dalam pendengaran kami
cayaha,
Pada arah kanan- kiri
kami cahaya,
Pada arah atas kami
cahaya,
Pada arah bawah kami
cahaya,
Di hadapan kami
cahaya,
Di belakang kami
cahaya,
Dalam diri kami
cahaya,
Dikau Zat pemberi
cahaya langit dan bumi
Dikau Zat pemilik
cahaya di atas cahaya.
Rabbana atina
fil-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina ‘azab al-nar. Wa Shalla Allah
‘ala Sayyidina Muhammad-in. wal-hamdulillah rabbil ‘alamin.
Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar