Gallery

Selasa, 13 Maret 2012

Adab Berdo'a

Jalaluddin Rakhmat—Kang Jalal—baru saja melaunching buku terbarunya dengan judul: Do’a Bukan Lampu Aladin, Serambi, 2012. Ada banyak hal yang dibahas. Adab berdo’a, berdo’a dengan rendah hati, do’a dan penderitaan, amalan do’a sebelum tidur, rahasia istighfar, do’a ramadhan, dan do’a Rasulullah untuk memohon kehidupan yang baik.
Nabi Musa a.s berdo’a selama 40 tahun untuk menumbangkan tirani Fir’aun di Mesir. Nabi Zakariya a.s berdo’a hampir 60 tahun untuk mendapatkan keturunan, dan pada usia 80 tahun beliau baru dikaruniai seorang puteri, yakni Maryam a.s. Hal yang sama juga terjadi pada diri Nabi Ibrahim a.s, justeru di usia senja beliau baru dikaruniai dua putera, yaitu Ismail dan Ishaq. Do’a memang bukan lampu aladin. Selama ini, kalau kita berdo’a, langsung diijabah oleh Tuhan.
Ada kisah seorang raja yang lalim, dan seorang shaleh. Keduanya mengalami sakit yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan pula. Untuk sang raja zalim,  Tabib, dokter berpendapat bahwa obat satu-satunya adalah ikan tertentu yang kebetulan tidak muncul di laut pada saat ini. Jadi, untuk sembuh sangat tipis harapan. Lalu, raja berdo’a agar diberi kesembuhan. Tuhanpun mengerahkan para malaikat agar menggiring sekelompok ikan yang dibutuhkan untuk keperluan pengobatan. Singkatnya, sembuhlah sang raja lalim.
Sebaliknya, orang shaleh pada saat lain juga mengalami sakit yang sama. Bedanya, si Shaleh pada saat itu, ikan yang dibutuhkan lagi musim. Sehingga, tabib tidak akan mengalami kesulitan untuk mencari ikan di laut. Berdo’alah si shaleh agar diberi kesembuhan. Apa yang terjadi? Ketika tabib mencari ikan pengobatan di laut, Tuhan memerintahkan para malaikatnya agar menggiring ikan-ikan tersebut untuk bersembunyi di dasar laut. Maka, ikan pengobatanpun tidak ditemukan. Akhirnya, si shaleh meninggal. Lalu, pertanyaannya kemudian, mengapa Tuhan member kesembuhan kepada sang raja yang tiranik, sementara kepada hamba yang shaleh tidak? Rupanya Tuhan punya rencana lain. Semua orang, siapa pun dia pasti pernah berbuat kebaikan termasuk si raja zalim tadi. Tuhan menerima do’anya karena perbuatan baiknya selama di dunia. Tuhan cepat membalasnya di dunia, sehingga di akhirat dia sudah tidak menagih balasan amal kebajikannya. Sebaliknya, sebaik-baik seseorang pastilah ia pernah berbuat dosa, kecuali para nabi dan rasul karena mereka maksum. Demikian pula halnya dengan si shaleh tadi pastilah ia pernah berbuat dosa. Sehingga, do’a kesembuhan yang dia minta tidak dikabulkan karena untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga di akhirat kelak, ia menuju jalan yang lempang masuk surga. Oleh karena itu, kita harus tetap husn al-zann, berbaik sangka kepada Allah Swt apapun yang menimpa kita.
Berdo’a memiliki adab dan etika tersendiri. Ada pendapat bahwa do’a yang diijabah adalah do’a yang abstrak dan tidak detail serta tidak terkesan mendikte Tuhan. Kita tentu biasa mendengar lafaz-lafaz do’a yang dimunajahkan di kantor-kantor. Si pembaca do’a –mungkin juga seorang pejabat--seakan-akan sedang “mendikte” Tuhan karena disangkanya sedang “memerintahkan sesuatu” kepada bawahannya.
Marilah kita perhatikan do’a para Nabi dan rasul berikut.
Nabi Ibrahim ketika sakit hanya berucap, wa iza maridhtu fa-huwa yasyfini—…dan apabila aku sakit, maka Dialah (Tuhan) yang menyembuhkanku. Nabi Ayyub ketika ditimpa sakit yang menahun, beliau bermunajat: Sakit telah menimpaku, Dikaulah Tuhan yang paling pengasih. Nabi Ayyub tidak mengeluh, dan apalagi mengalamatkan “sesuatu’ kepada Tuhan.
Nabi Yunus a.s ketika ditelan ikan, dan menyadari kesalahan serta kehinaan atas dirinya, beliau berucap: Tiada Tuhan selain Dikau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri (Q.S. al-Anbiya’: 87). Nabi Adam a.s berucap, Q.S. al-A’raf:23, Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengasihani kami, maka kami pastilah termasuk orang-orang yang merugi.
Rabi’ah al-Adawiyah juga berdo’a sebagaimana digubah oleh taufik Ismail:
Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke dalam neraka itu, dan besarkan tubuhku di neraka itu, sehingga tidak ada tempat lagi di neraka itu buat hamba-hamba-Mu yang lain.
Kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surge-Mu, berikan surge itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain, bagiku Engkau saja sudah cukup. ( Jalaluddin Rakhmat, Do’a Bukan lampu Aladin, h. 41).    
Pada acara memperingati Hari Guru Nasional ke-66 dan HUT KORPRI ke 40, 29 Nopember 2011, saya mendapatkan tugas sebagai “pembaca do’a. saya mencoba untuk “meramu” do’a agar tidak terkesan mendikte Tuhan. Sebagaian do’a yang saya bacakan, sebagai berikut:

Ya Allah, Ya ‘Alim,

Perkayalah kami dengan ilmu,
hiasilah kami dengan kelapangan dada,
 muliakanlah kami dengan taqwa,
Wahai Zat yang Maha Tahu tanpa diberi tahu,
Ajarkanlah kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami,
Dan anugerahilah kami kemampuan untuk memanfaatkannya.
Maha Suci Engkau ya Allah, tiada ilmu yang kami raih kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Bijaksana.

Ya Allah, Zat Pemberi Petunjuk

Bimbinglah kami dengan petunjuk-Mu
Antarlah kami menuju “pintu gerbang” kearifan-Mu
Tunjukilah kami jalan lurus dan lapang
Ilhamilah kami kemampuan menempuh jalan yang benar,
Mengelola persoalan dengan tepat,
Luruskan, jika kami menyimpang.
Sambutlah tangan kami, jika kami tergelincir.

Ya Allah, Ya Nur ‘ala Nur

Anugerahkanlah ke dalam hati kami cahaya,
Ke lisan kami cahaya,
Dalam penglihatan kami cahaya,
Dalam pendengaran kami cayaha,
Pada arah kanan- kiri kami cahaya,
Pada arah atas kami cahaya,
Pada arah bawah kami cahaya,
Di hadapan kami cahaya,
Di belakang kami cahaya,
Dalam diri kami cahaya,
Dikau Zat pemberi cahaya langit dan bumi
Dikau Zat pemilik cahaya di atas cahaya.


Rabbana atina fil-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina ‘azab al-nar. Wa Shalla Allah ‘ala Sayyidina Muhammad-in. wal-hamdulillah rabbil ‘alamin.

Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar: