Senin, 18 Februari 2013
Terjemah al-Qur'an
Terjemah al-Qur'an versi Departemen Agama RI sudah lama menjadi terjemahan al-Qur'an yang baku dan laku di masyarakat. Belakangan, al-Qur'an terjemahan versi Depag sudah terasa ada yang janggal. Muncullah H.B Jassin, sang sastrawan dengan karyanya: al-Qur'an al-Karim: Bacaan Mulia (1978, 1991). Meskipun terjemahan Jassin ini menyulut kontroversi di kalangan ulama al-Qur'an. Jassin dianggap tidak memiliki latar belakang pengetahuan bahasa Arab yang memadai. Jassin bukanlah seorang ulama. Lagi pula terjemahan Jassin dikerjakan di berbagai tempat, termasuk ketika beliau melakukan perjalanan ke Erofah, Belanda. Jassin terkadang menulis terjemahan ketika beliau berada di hotel, di tempat keramaian lainnya. Dan sangat boleh jadi, ketika beliau sedang masuk di bioskop. Demikian seterusnya.
Terjemahan H.B Jassin, meskipun banyak kritik, tapi terasa cita-rasa bahasa Indonesia yang pas. H.B. Jassin dalam kata pengantarnya menjelaskan bahwa karya terjemahannya itu sebagai manifestasi cintanya kepada al-Qur'an. Dan dalam proses penerjemahannya itu, beliau memakai literatur yang diakui dan terpercaya seperti terjemahan Marmaduke Pickthall: The Glorious Kor'an. Belakangan Pickthall memeluk Islam. Karya Pickthall ini termasuk karya monumental untuk terjemahan al-Qur'an ke dalam Bahasa Inggeris. Maksud saya, tentu lebih baik lagi jika disempurnakan dengan karya Abdullah Yusuf Ali: The Holy al-Qur'an. Prof. Buya Hamka, penafsir al-Qur'an: Tafsir al-Azhar memuji karya H.B Jassin ini. Oleh Buya, Jassin menulis terjemahnya ini sebagai manifestasi kecintaan beliau terhadap al-Qur'an. Setiap hari saya tidak pernah melewatkannya kecuali membaca satu atau dua ayat al-Qur'an. Saya renungkan ayat demi ayat! Demikian pengakuan Jassin kepada Buya Hamka ketika berada satu mobil dengan beliau sewaktu Buya bertindak sebagai saksi ahli dalam pengadilan Negeri Jakarta membela Jassin. Jassin kala itu digempur oleh kalangan tertentu karena Jassin telah menulis novel dengan judul: Langit Makin Mendung dengan nama samaran Ki Pandjikusmin. Buya hamka membela beliau dengan pandangan bahwa Jassin bersalah dengan novelnya itu, tapi dia melakukannya karena kurang memahami ajaran agamanya. Dalam perjalanan pulang itulah Jassin menceritakan kepada Buya bahwa akhir-akhir ini dia lagi fokus untuk menyelesaikan terjemahan al-Qur'an dengan gaya bahasa sastra. Tentu ini tidak lazim di Indonesia.
Ada banyak kritik dan keberatan yang diajukan kepada Jassin dengan karyanya ini. Jassin bukanlah seorang ulama. al-Qur'an bukanlah karya sastra. Nabi Muhammad pun bukanlah seorang penyair. Buya Hamka membela Jassin sebagaimana dituangkannya dalam Kata Pengantar kaya Jassin ini. Memang Jassin bukanlah sorang ulama. tapi sayang, tidak banyak ulama kita yang juga seorang sastrawan seperti yang tersimpul pada diri Imam Syafi'i r.a. al-Qur'an memang bukanlah karya sastra. Tetapi al-Qur'an diturunkan pada masyarakat Arab yang sedang "terpesona" dengan karya sastra. Sastra itu bersumber dari perasaan halus manusia. al-Qur'an itu bersumber dari wahyu Allah Swt yang diantar oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalla Allah 'alaih wa sallama. Orang Arab lebih terpesona lagi dengan bahasa al-Qur'an yang "melampaui" sastra Arab. Demikian pembelaan Buya terhadap karya Jassin.
Sebagai contoh: Ihdina al-shirath al-mustaqim, yang oleh Terjemah Depag RI diartikan: "jalan yang lurus". H.B. Jassin menerjemahkannya sebagai "jalan yang lurus lempang". terjemahan Jassin saya kira lebih tepat. Berikut ini saya mengutip QS. al-Baqarah (2):255, terjemah ayat al-Kursi versi H.B. Jassin:
255. Allah! Tiada Tuhan selain ia, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri. Tiada pernah mengantuk, dan tiada ia pernah tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di hadapan-Nya, kecuali dengan izin-Nya? Ia mengetahui apa yang di depan mereka, dan apa di belakang mereka, sedang mereka tiada tahu apa-apa tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang Ia kehendaki. Singgasana-Nya meliputi langit dan bumi. Dan tiada Ia merasa letih memelihara keduanya, karena Ialah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Besar.
Tentang karakter Ulu al-Albab dalam al-Qur’an Surah Ali ‘Imran (2): ayat 190-191;
190. Sungguh, dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (Kekuasaan Tuhan) bagi orang yang menggunakan pikiran.
191. (yaitu) orang yang berzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan (berbaring) di sisinya, dan berpikir tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Tuhan kami, tiada sia-sia Kau menciptakan ini semua! Maha Suci Engkau, Lindungilah kami dari azab api (neraka).
Tentang keutamaan orang-orang yang berilmu, sesuai firman Allah Swt QS. al-Mujadilah: ayat 11:
11. Hai orang-orang beriman! “Bila dikatakan kepadamu, Berilah ruang dalam majelis”, Maka berilah ruang, Dan Allah akan memberimu ruang. Dan bila dikatakan kepadamu, “Pergilah!” Maka keluarlah kamu. Niscaya Allah akan menaikkan derajat orang yang beriman dan yang diberi pengetahuan di antara kamu. Dan Allah tahu benar apa yang kamu lakukan.
Tentang proses penciptaan manusia, sebagai contoh QS. al-Mukminun: ayat 12-14;
12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah.
13. Kemudian Kami jadikan ia mani, yang disimpan dalam wadah yang kokoh aman (rahim).
14. Kemudian mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dari segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, Kemudian Kami bungkus tulang itu dengan daging. Kemudian Kami bentuk ia jadi makhluk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Ayat tentang peristiwa Isra’ dan Mikraj, misalnya dalam Q.S. al-Isra’ (17): 1 yang artinya:
Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ,yang telah Kami berkati sekitarnya. Untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (Kebesaran) Kami. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat.
Terjemah ayat tentang al-hikmah, Q.S. al-Baqarah (2): 269 yang terjemahnya sebagai berikut:
Ia memberi hikmah kepada siapa yang Ia berkenan. Dan barang siapa diberi-Nya hikmah, Kepadanya telah diberikan kebaikan melimpah. Namun tiada yang mengambil peringatan, kecuali orang yang punya pikiran (Ulu al-Albab) .
Kalau kita bandingkan Al-Qur'an dan terjemahnya versi Departemen Agama RI meskipun sudah banyak membantu, tentu terasa bedanya. Terjemahan H.B Jassin masih sangat kental cita-rasa bahasa Indonesianya. Sedang terjemah Depag biasa terasa kaku.
Menurut kawan saya, Dr. Muta'ali--seorang dosen Universitas Indonesia, Jakarta bahwa dalam hal terjemahan ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama perlu ada revisi. Penelitian awal kawan saya ini terdapat kesalahan terjemahan ayat-ayat qaatala-yuqaatilu yang diterjemahkan dengan: "membunuh". Dari 166 kali kata ini berulang dalam al-Qur'an, penerjemahan secara keliru sebanyak 52 kali. Kata qaatala diterjemahkan membunuh atau bunuhlah dapat menyesatkan pembacanya. Padahal Qaatala itu bisa bermakna "berperang atau perangilah". Perbedaan membunuh dan berperang sangatlah jelas. Berperang itu harus ada syarat-syaratnya, dan dikomandoi oleh pemerintah yang sah. Sedang membunuh biasanya peristiwa kriminal dan sifatnya personal.
Ada lagi hadis Nabi yang berbunyi: Buniya al-Islam 'ala saif-in" diterjemahkan secara serampangan menjadi: Islam ini ditegakkan dengan pedang. Padahal menurut budaya Arab: 'ala saif-in" mengangkat pedang dalam peperangan berarti: tanda untuk berdamai. kalau penelitian Dr Muta'ali ini dilanjutkan tentu akan menjadi kontribusi besar bagi pengembangan keilmuan dan pemahaman teks-teks suci menjadi lebih baik.
Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar