Rabu, 27 Februari 2013
Pak Kyai
Sewaktu saya kecil, kalau bulan suci ramadhan selalu mendengarkan dialog pak Kyai dan Naeng Naba. Disamping untuk menambah ilmu pengetahuan agama, juga sebagai pertanda sahur. Sebab, di kampung pada saaqt itu, tidak banyak orang yang memiliki jam tangan dan dinding. Dialog pak Kyai dan Daeng Naba sangat asyik. pak Kyai sering sekali mengutip kitab shahih al-Bukhary dan shahih Muslim, Bulughul Maram, dan kitab Nail al-Authar. Kitab-kitab ini sebagai anak kampung pastilah asing bagi kami. nanti ketika sempat kuliah di IAIN Alauddin Makassar, baru kami melihat wujud kitab-kitab hadis muktabarah itu.
pak Kyai demikian sangat terhormatnya di kampung. Kalau satu kampung didatangi oleh seorang Kyai pastilah masyarakat berkerumun. Heboh. Sambil ada juga yang menyempatkan diri untuk minta do'a dengan menyodorkan segelas air putih atau anak balitanya ingin diusap sambil didio'akan pak Kyai. Kharisma Kyai sangat tinggi.
Sekarang, ketika pak Kyai sudah "berpolitik", sepertinya Kyai sudah "berjarak" dengan umatnya. Bahkan ada daerah tertentu sudah enggan memakai gelar Kyai. mereka lebih nyaman memakai gelar lokal seperti Anregurutta, bagi orang Bugis; anangguru bagi orang Mandar, Tuan Guru bagi masyarakat Bima. Kharisma Kyai "melorot"?
Kolega saya, Dr Zainuddin Syarif, dari Madura bercerita tentang hasil penelitiannya. Bahwa masyarakat terbagi dalam hal bersikap kepada Kyainya. Prismatik. Pragmatik. Terbelah. Ada yang tunduk, sami'na wa atha'na kepada Kyai. Meskipun yang bersangkutan tidak setuju dengan pilihan politik Kyai. Ada yang netral. Kyai tetaplah sebagai guru yang harus dihormati, tetapi pilihan politik tetap bebas sesuai dengan masing-masing. Mereka bebas menentukan garis politiknya. Teori Zainuddin Syarif ini telah memperkaya teori hubungan Kyai dan santri. Seperti Dr Endang Turmudzi, Dr Ali Maschan Moesa, dan Dr Hiroko.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar