Gallery

Sabtu, 16 Februari 2013

Respek

Ketika saya berkunjung ke Shana'a, Yaman, saya sempat bercakap-cakap dengan sejumlah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Yaman. Ada yang dari Shana'a sendiri, ibu kota Yaman. Ada juga yang sedang studi di Hudaidah, Zabid. Ada yang sedang belajar di Darul Hadith, Ma'bar, pimpinan Syekh al-Imam Aby al-Nashr. Saya mengajukan pertanyaan mendasar kepada mereka: ...selain bahasa Arab dan budaya Arab, apa daya tarik yang membuat anda betah studi di sini? Mereka bercerita bahwa para masyayikh, dan ustaz mereka memiliki kepedulian kepada para santrinya. Setiap santri selesai dan menamatkan satu kitab tertentu, maka diadakan slametan, kenduri untuk memperingatinya. Kenduri itu dilaksanakan dengan sangat sederhana. Ada yang hanya menyiapkan kue-kue tradisional ala kadarnya. Syeknya mendo'akan para santrinya agar mereka mendapatkan keberkahan atas ilmu yang telah dipelajarinya. Demikian seterusnya. Saya membaca biografi singkat dan sepak-terjang Syekh Yahya al-Hajoury, pimpinan Darul Hadith, Dammaj, Sha'dah. Beliau terkadang mengajar sampai 30 kelas dalam sehari. Kalau sedang sakit, terkadang minum obat, dan setelah itu beliau mengajar lagi. Bahkan begitu respeknya kepada para santrinya, kalau beliau haus, lalu di tangannya ada sebotol aqua, maka air tersebut tidak langsung diminumnya, tapi diserahkannya kepada santri yang kelihatan "ngiler" dengan aqua tersebut. Dapat dibayangkan, betapa gembira dan hormatnya seorang santri yang mendapatkan perlakuan khusus dari seorang syekh yang sangat dihormatinya di depan khalaak ramai. Respek! Respek inilah yang merupakan rahasia bertahannya ribuan anak Indonesia untuk studi di Yaman. Hal yang sama itu juga yang terjadi dengan seorang kawan dari Al-Azhar University, Kairo. Bahwa seorang guru besar, dalam hal pemberian nilai sangat "killer", tapi persoalan kemanusiaan tetap saja terpelihara antara guru dan murid. Kawan tadi bercerita, terkadang ditraktir oleh sang professor. Atau kawan tadi diberi makan di rumah sang professor, dan terkadang diberi uang saku secukupnya. Respek seperti ini sesungguhnya juga mestinya juga terjadi di kantor pemerintah atau perusahaan. Saya membaca tulisan Eileen Rachman & Sylvina Savitri dengan judul: "Respek", Kompas, 16 Pebruari 2013, h. 33. Bahwa ternyata respek memiliki dampak yang sangat luar biasa bagi peningkatan kinerja karyawan. Seorang pucuk pimpinan satu perusahaan akan sangat elok kalau menyuruh bawahannya dengan kalimat: "Can you help me?"; Bisakah Anda membantu saya? Atau sebelum mengintruksikan sesuatu, terlebih dahulu si bos menanyakan kondisi stafnya. Apakah sehat, ataukah yang bersangkutan lagi longgar dan waktunya senggang. Tentu sang staf akan dengan senang hati mengerjakan tugas tadi. Ditambah lagi dengan faslitas yang dipakai oleh sang bos tidak terlalu jauh dengan para stafnya. Seperti makan siang yang sederhana, fasilitas mobil yang tidak mencolok, mungkin juga ruangan yang biasa. Tentu hal-hal seperti ini akan semakin meningkatkan respek para karyawan yang berdampak pada peningkatan kinerja kantor atau perusahaan tertentu. Menurut pengakuan Bill Mixon, president of Universal Hospital Services menegaskan bahwa self-respect yang paling penting dilakukan terlebih dahulu. Dia mencontohkan Starbucks yang semua fasilitas sama, yakni kelas ekonomi. Siapapun yang masuk mencicipi kopi Starbucks, pasti perlakuannya sama. Tidak ada kelas eksekutif. Starbucks adalah model pelayanan yang sangat respek kepada semua pelanggan. Semua terbang dengan kelas ekonomi, tandasnya. All employees are called "partners" and the management team.

Tidak ada komentar: