Gallery

Rabu, 27 Februari 2013

Ijazah

Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan tamu atau telpon atau sms tentang perifikasi keaslian ijazah. Hal ini terkait dengan beberapa caleg (calon legislatif) yang memiliki ijazah yang ditengari "aspal" (asli tapi palsu). Bahkan ada petugas khusus dari KPU atau dari partai tertentu yang datang langsung ke kantor untuk meminta perifikasi keotentikan ijazah calon legislatif tertentu. Sebab, salah satu tugas di kantor saya adalah tandasah ijazah. Tandasah ijazah dimaksud adalah terkait dengan ijazah alumni luar negeri yang termasuk Islamic studies. Memang, sejak dulu para ulama terutama dalam ilmu hadis dan tasawuf, tradisi pemberian ijazah sangat penting bagi seorang murid. Dalam tradisi pelimpahan wewenang dan kompetensi sangat dibutuhkan ijazah. Dari delapan jenjang penerimaan dan periwayatan hadis, metode al-ijazah salah satu bagian ada' wa tahummul al-hadis. hal yang menarik ada seorang Kyai yang juga calon Wakil Bupati, ijazahnya juga diperifikasi di kantor kami. Saya bilang kepada salah seorang pengurus KPU itu, bahwa sesugguhnya seorang Kyai tidak perlu ijazah untuk maju sebagai seorang calon wakil Bupati. Modal sebagai seorang Kyai sudah melampaui untuk calon seorang wakil Bupati. Bukankah untuk menjadi seorang Kyai jauh lebih sulit ketimbang menjadi calon eksekutif? Tamu saya itu mengangguk-ngangguk, tanda membenarkan pandangan saya. Atau ia berpikir sebaliknya, belum tentu manajemen Kyai dapat "menaklukkan" manajemen dalam birokrasi. Demikian seterusnya. Jangan-jangan kalau para Kyai itu terjun ke politik, lalu siapa yang mengurus santri dan umat ini? Kalau kita lihat dan buka lembaran sejarah, para ulama justeru menghindari jabatan strategis dalam pemerintahan. Mereka takut akan timbulnya fitnah. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, semua menolak menerima jabatan. Imam al-Ghazali pernah masuk dalam birokrasi kampus, tapi kemudian ditinggalkanya dan lebih memilih hidup asketis. Sekarang, justeru orang berlomba-lomba untuk mencari kedudukan. Dan bahkan rela menghabiskan uang dan pengorbanan milyaran rupiah untuk biaya kampanye. Sementara gaji dan tunjangan ketika jabatan tersebut diraihnya belum tentu mampu mengembalikan pengorbanan finansialnya itu. lalu pertanyaannya kemudian, untuk apa jabatan itu dikejar? Apakah betul-betul ada keinginan untuk membangun bangsa atau sekedar untuk mencari prestise sosial saja? Atau ada maksud-maksud tersembunyi lainnya. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: