Prof. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang gencar-gencarnya uji publik kurikulum baru tahun 2013. Media cetak dan elektronik serta media sosial sibuk mewartakan kurikulum baru ini. Mayoritas mendukung ide segar Prof Nuh ini. Hanya sedikit kalangan yang kontra. Ada juga yang melontarkan pernyataan sinis bahwa ganti menteri akan ganti kurikulum.
Anita Lie menulis artikel, "Menyambut Kurikulum 2013" (Kompas, 4 desember 2012). Perbincangan mengenai perubahan kurikulum adalah seputar pengurangan mata pelajaran dan penambahan jam belajar. Perubahan kurikulum setidaknya menyentuh empat hal mendasar, yakni: Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi (kompetensi inti dan kompetensi dasar), Standar Proses, dan Standar Penilaian. Anita Lie merekomendasikan perlunya perubahan kurikulum seiring dengan tuntutan zaman. Sebagai contoh, Standar Proses yang mengharapkan guru wajib merancang strategi pembelajaran agar siswa dapat mengikuti proses pembelajaran aktif dan menyenangkan. Peserta didik dapat mengamati, bertanya, mengolah, dan menyimpulkan sendiri serta dapat mencipta.
Hafid Abbas menulis: "Pendidikan Vs Perombakan Kurikulum" (Kompas, 12 maret 2013). Perombakan kurikulum bukanlah hal yang krusial. Justeru yang urgen adalah pengendalian mutu pendidikan dengan pemberlakuan standar ujian nasional sebagaimana telah digagas pak Jusuf Kalla--ketika beliau masih menjabat Menkokesra. Waktu itu, pak JK menegaskan bahwa jangan sampai ada sekolah meluluskan 100% muridnya. Tentu itu adalh gejala yang tidak wajar. Pasti standar mutunya kurang berkualitas.
Argumentasi yang diajukan pak JK adalah standar dan tingkat kesukaran ujian bahasa Inggeris anak-anak SD di Malaysia yang lebih sulit dibanding dengan soal ujian anak-anak SMA di Indonesia. Dengan menerapkan standar kelulusan secara konsisten, maka pada saatnya nanti kita akan sejajar dan bahkan dapat mengungguli Malaysia.
Hafid Abbas menutup artikelnya dengan ungkapan:...Modus perubahan kurikulum lebih terkesan sebagai ikhtiar dadakan karena tidak didahului persiapan yang lebih matang. Memang, perombakan kurikulum adalah pilihan yang paling aman. Sebab, dampaknya 10-20 tahun mendatang. Lagi pula, selembar perubahan kurikulum dapat berdampak pada sekian triliun rupiah dengan sejumlah proyek.
Terry Mart menulis artikel singkat dengan judul: "Menuju Pendangkalan Nalar", (Kompas 26 Desember 2012). Rencana pemerintah untuk mengintegrasikan mata pelajaran IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah kebijakan yang sangat mengkhawatirkan. Prof. Yohanes Surya juga menengarai bahwa pelajaran IPA selama ini masih terasa kurang proporsional. Jika jadi diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia maka akan berkurang sekitar 30%. Prof. Iwan Pranoto (ITB) mengatakan bahwa: ...apa yang diajarkan saat ini adalah IPA dan Matematika semu karena tidak merangsang daya nalar siswa. lalu, kalau mau dikurangi lagi, jadinya bagaimana?
Prof. Rhenald Kasali juga ikut menyumbang artikel dengan judul:" Kurikulum " Berpikir" 2013 (Kompas, 27 desember 2013). Rhenald Kasali merekomendasikan pentingnya perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang dimaksud adlah mengubah mentalitas penumpang menjadi "pengemudi". Selama ini, mata pelajaran SD sampai perguruan tinggi sangat banyak. Dan tradisi menghafal menjadi idola. Tes masuk perguruan tinggi juga dengan ujian menghapal, dan bukan pengalaman kerja atau kompetensi calon mahasiswa. Berpikir kritis sedari awal juga sudah dipreteli sejak belajar di sekolah dasar. Seperti pelajaran bahasa Indonesia. Ayah berangkat bekerja ke kantor. Ibu merawat anak-anak di rumah. Seorang siswa SD memprotes bahwa di rumahnya justeru ibunyalah yang bekerja. Sang gur menasehati muridnya yang kritis tadi. Hafalkan saja, karena demikian kata buku.
Mental penumpang yang hanya menghafalkan apa kata buku, dan tidak berani bertindak dan mengambil resiko harus diubah menjadi mental "pengemudi". Berani bertindak, bergerak, dan mengambil resiko. Tahu arah jalan, dan dapat mengendalikannya. Berpikir kritis harus diajarkan pada semua level pendidikan kita. Perubahan kurikulum baru bermakna jika hal ini dapat dicapai. Daniel Coyle (2010) menemukan bahwa temuan neuroscience menunjukkan bahwa manusia cerdas bukan hanya dibentuk oleh memori otak, tapi juga memori otot (myelin). Selanjutnya, Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang dianggap cerdas secara akademik berpotensi menyandang mindset tetap, sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat. Demikian tulis Kasali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar