Gallery

Senin, 04 Maret 2013

Hidup yang Bermakna

Seorang lelaki yang sudah menjelang uzur mendatangi Victor Frankl di kantor prakteknya. Lelaki tua tersebut sedang dilanda depresi karena isterinya telah meninggal beberap waktu lalu. Isterinya ini adalah orang yang sangat dikasihinya. Lellaki tua itu merasa hidupnya telah hampa sepeninggal isterinya. Isterinya sangat dicintainya itu telah mendahuluinya. Selama ini, lelaki tua berbagi suka dan duka dengan isterinya. Mungkin juga sang isteri sangat setia dan telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk si lelaki tua itu. Victor Frankl--penulis buku inspiratif: Man's Search for Meaning--bertanya, mengapa anda demikian sedihnya ditinggal sang isteri? Lelaki tua itu menjelaskan dengan detailnya. Victor Frankl mengajukan pertanyaan lagi, untuk mengubah sudut pandang si lelaki tua itu. Bahwa isteri anda yang sangat anda cintai itu telah mendahului anda, lalu bagaimana kalau anda yang lebih dulu meninggal. Apa yang akan terjadi dengan isteri anda. Sangat boleh jadi dia yang akan menderita depresi. Sehingga, hikmah sang isteri lebih dahulu meninggal dari anda adalah anda telah menolong dia. Anda telah mengambil penderitaan dia. Dan lelaki tua itu pun sudah mulai cerah dan bangkit lagi. Demikianlah hidup bermakna sangat tergantung dengan perspektif kita. Jadi suatu peristiwa yang sama tetapi dengan perspektif yang berbeda akan menjadi berbeda. Mungkin itulah rahasianya mengapa dalam bahasa al-Qur'an antara 'azab (siksa) dengan 'azb-un (manis) memiliki akar kata yang sama. Sesuatu peristiwa dapat menjadi siksa sangat tergantung dengan perspektif kita. Dan sangat boleh jadi sesuatu yang kelihatan atau nampak sebagai azab oleh kebanyakan orang, tetapi karena kita memiliki perspektif yang sangat positif, maka hal itu menjadi manis buat kita. Dr Haidar Baqir pernah melontarkan ide segar terkait kenikmatan sorga dan kepedihan azab neraka. Bagi Haidar, sangat boleh jadi sorga dan neraka itu tergantung kita. Ibarat air putih jernih dan dingin. Bagi orang sehat, air putih jernih dan dingin adalah sangat nikmat dan baik bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya, bagi orang yang sedang sakit tenggorokan, air putih jernih dan dingin akan menambah sakit tenggorokannya. Ibarat penjara, bagi orang yang tidak berbuat salah, masuk penjara sama saja dengan dunia luar. Tettapi bagi orang yang bersalah, jangankan masuk penjara, mendengar kata penjara saja yang bersangkutan sudah sangat ketakutan. Hidup bermakna sangat tergantung dari cara pandang dan perspektif kita. Seorang tamu bercerita kepada saya bahwa dia sedang tertarik dengan dunia tarekat. Tamu itu adalah seorang ibu yang saya kira baru berumur separoh baya. Tapi dalam perbincangan saya memberanikan diri untuk bertanya tentang umurnya, ternyata sudah 72 tahun. Saya kagum. Ibu itu masih bisa dan lancar menyopiri mobilnya. Ibu tadi pernah menjadi dosen tetap di perguruan tinggi ternama di republik ini. Ia bertitel MCL (Magister Civil Law). Ia pernah belajar di Amerika Serikat ketika mendampingi suami tugas ke sana. Hal yang menarik pada diri ibu tadi bahwa ia sangat tertarik pada dunia tarekat. ia memperkenalkan tarekat wahidiyah yang berkembang pesat di Kediri Jawa Timur. Ajaran Wahidiyah adalah kebersihan hati dengan min Allah, bi (ma'a) Allah dan ila Allah. Kita ini dari Allah, selalu bersama dengan Allah, dan pasti akan kembali kepada Allah. Kita harus senantiasa menjaga kebersihan hati. Iri hati, dengki, hasad, hasut, apalagi fitnah harus kita jauhkan dari diri kita. Orang yang bersih hatinya tidak penyakitan. Kita tidak boleh korupsi. Kita harus selalu mawas diri dan menjaga kesucian bathin kita. Kita tidak boleh sombong karena semuanya min Allah, wa bi Allah dan ila Allah. Semua yang menimpa kita adalah karena takdir Allah. La haula wa la quwwata illa bi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali kehendak Allah. Ibu tadi menjelaskan lagi. Tarekat Wahidiyah ini banyak juga dianut di DKI Jakarta. Pengikutnya sekitar 16.ooo orang. Rata-rata penganutnya dari kalangan menengah ke bawah. Masyarakat miskin. Saya salah seorang mediatornya. Kalau bapak tertarik, saya akan bawakan bukunya, demikian imbuhnya. Setelah itu, ibu tadi pamit. Sebelum pulang, saya menghadiahinya beberapa tulisan singkat saya di blog mengenai ratib al-haddad, Jalaluddin Rumi, dan misteri kematian. Saya lihat sang ibu tadi sangat gembira membacanya sambil pamitan. Semoga berkah. Amin. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: