Kamis, 20 Desember 2012
Keluarga
Ikatan keluarga sangatlah fundamental dalam kehidupan seseorang. Sebagai contoh, kalau seseorang sedang dikena musibah pasti pihak keluarga dan orang terdekatlah yang menangisi atau setidaknya prihatin kepada kita. Prihatin, tulus, pastilah dari keluarga terdekat. Hal yang sama juga terjadi pada sahabat karib.
Mungkin itulah sebabnya, sehingga Allah Swt senantiasa berpesan agar manusia itu selalu memerhatikan keluarganya. bahkan para pengkhutbah kalau memulai khutbahnya biasanya bershalawat kepada Nabi shala Allah alaih wa sallama keluarga Nabi dan para sahabatnya. Wa 'ala alih wa shahbih ajma'in.
Ada pengalaman menarik. Kalau seorang kepala keluarga kebetulan bepergian keluar kota atau tugas keluar negeri biasanya selalu mencari warnet atau telpon untuk mengontak keluarganya. Untuk mengabarkan tentang keadaannya, sehat wal afiyat. Sudah tiba di tujuan. Dan ada banyak pertanyaan yang ringan dan standar dalam perbincangan keluarga. Konon, kecerdasan sosial dan pembinaan karakter anak justeru dimulai di rumah. Dan bukan di sekolah. Selama ini ada kekeliruan kita yang kalau kebetulan anaknya berbuat sesuatu di luar kewajaran, maka yang pertama kali tertuduh adalah gurunya yang kurang becus mendidik anak tersebut. Ini sangat ironis, karena guru yang sudah lama "makan" kapur (tulis) dengan gaji yang di bawah standar masih disalah-salahin. Para psikolog dan ahli konseling biasanya menyelesaikan problem psikologis anak didik justeru bermula dengan mengetahui serta mengenal keluarganya. Seorang anak yang pesimistis atau destroyed, keras dan kasar biasanya "memungut" perilaku tersebut dai rumahnya. Orang-orang dan penghuni rumah itulah penyebab pertama "kerusakan" moral anak tersebut. Contoh kecil adalah seorang ayah atau ibu karena alasan urusan kantor atau bisnis sehigga mereka berdua kurang peduli dengan nasib anaknya. Sehingga di kemudian hari jangan salahkan si anak jika kembali membalas perilaku kedua orang tuanya yang tidak peduli sama anaknya. Si anak biasa minta untuk ditemani ke toko buku, rekreasi, atau menghadiri peringatan hari ulang tahun kawannya, kalau sang ayah tidak peduli, maka dalam benak si anak bahwa boleh tidak peduli kepada pebutuhan dan kepentingan orang lain. Jika hal ini berlarut-larut, maka sang anak bisa saja berpikiran bahwa boleh saja tidak peduli kepada kedua orang tua demi kepentingan meeting, rapat atau urusan bisnis. Demikian seterusnya. Pada saatnya nanti, ketika kedua orang tua sudah sepuh, sakit-sakitan, batuk-batuk, dan sejumlah penyakit orang tua yang dirasakannya, dia merasa dan merindukan kehadiran sang anak, maka sang anak sangat boleh jadi melakukan hal yang sama. Bahwa dulu kedua orang tuanya tidak peduli terhadap dirinya. Sudah terlanjur tertanam dalam benaknya bahwa boleh tidak peduli terhadap orang lain.
Itulah sebabnya, sehingga perlu membangun komunikasi dengan baik dengan seluruh anggota keluarga, mencintai mereka dengan tulus, serta selalu memupuk tali kasih yang mendalam. Kelak di kemudian hari, "keberlimpahan" kasih itu akan dipanen. Dan sebaliknya, siapa menabur benih akan menuai badai.
Pola komunikasi yang intens harus dipertahankan. Konon, suami atau isteri ideal adalah yang bisa diajak berkomunikasi. Para tukang cerita itulah yang happy dengan keluarganya. Rupanya hampir semua masalah keluarga adalah karena masalah dan kemacetan dalam berkomunikasi. Kelancaran berkomunikasi antar anggota keluarga akan menghangatkan suasana keluarga. Kemacetan berkomunikasi akan memperkeruh masalah dalam keluarga. Jagalah komunikasi dengan keluarga. Ucapkan kata-kata yang menghangatkan. Kata-kata bertenaga dan positif. Semoga kita mencapai keluarga mawaddah wa rahmah. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar