Senin, 09 Juli 2012
Pesan Humanis Nabi
Seorang kawan yang baru saja dating dari Mesir menghadap di kantor. Kawan tersebut namanya: Khairul Mustaghfirin. Alumni Al-Azhar University Kairo. Kawan tadi kebetulan mengambil spesialisasi bidang hadis. Ia sedang menulis disertasi mengenai sisi humanism dalam hadis-hadis Nabi shalla Allah ‘alaih wa salllama. Tesis magisternya juga mengenai tema yang sama. Perisnya berjudul: Kitab al-Mushannaf fi al-Ahadith wa al-Athar li al-Imam al-Hafiz Ibnu Aby Syaibah (159-235 H), tahqiq wa takhrij wa dirasah min Bidayat al-Bab (10) ma Ja’a fi haqq al-Jawar ila Nihayat al-Bab (134) fi mukhalathat al-Nas wa mukhalafatihim min Kitab al-Adab, (2008).
Ibu Aby Syaibah adalah tokoh hadis yang sangat masyhur. Ibnu Aby Syaibah adalah guru Imam al-Bukhary. Ibnu Aby Syaibah terkenal dengan kekuatan hafalannya di bidang hadis. Ibnu Aby Syaibah menulis beberapa buku yang terkenal, seperti: (1) Kitab al-Mushannaf, (2) Kitab al-Adab, (3) Tafsir Ibnu Aby Syaibah, (4) Kitab al-Radd ‘ala man Radda ‘ala Aby Hanifah, dan (5) Kitab al-Musnad.
Saya tertarik dengan pokok bahasan kawan tadi. Sebab, era sekarang sepertinya sunnah Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama sudah jarang ditampilkan sebagai panduan dalam pergaulan sehari-hari, baik secara personal, maupun dalam pergaulan yang lebih luas yakni antara orang yang berbeda agama, suku, ras, budaya bahkan antar bangsa.
Dari cerita kawn tadi, ada banyak hal yang menarik di Al-Azhar Kairo, Mesir. Seperti para dosen pembimbing di sana masih sangat konsern pada keilmuan. Mereka juga masih menjaga batas-batas hubungan kemanusiaan dengan mahasiswa bimbingan. Pada saat-saat tertentu, dosen pembimbing bias saja mengajak makan dengan mahasiswa bimbingannya. Bahkan mereka terkadang memberi “sangu” terutama bagi mahasiswa asing. Para dosen al-Azhar juga masih enjoy saja dengan posisi ketua jurusan, meskipun yang bersangkutana adalah mantan rector al-Azhar. Atau dosen yang berkualifikasi professor tanpa gengsi dapat dengan senang hati mengajar di program strata satu sesuai dengan tugas pokok seorang dosen. Demikian seterusnya.
Kembali ke tesis pak Mustaghfirin tadi. Ada banyak hal yang menarik yang menjadi stressing dan fokus bahasannya, antara lain:
1. Hadis mengenai larangan membawa senjata ke dalam masjid. Demikian pula halnya dengan larangan menghunus pedang di dalam masjid. Hal ini sangat berbeda dengan pemandangan di Shana'a Yaman sekarang ini. Sebab, pemerintah Yaman memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk memiliki senjata. Sehingga ada pameo yang menyatakan bahwa negara Yaman memiliki jumlah penduduk sekitar 23 juta, akan tetapi mereka memiliki senjata sebanyak 60 juta. Fakta sesuai dengan pengalaman saya berkunjung ke Yaman, di penghujung tahun 2011 lalu. Kepala suku dan masyarakat biasa dengan sangat bebas membawa senjata ke mana-mana, dan bahkan ketika mereka memasuki masjid untuk melaksanakan shalat jum'at, mereka masih juga membawa senjata.
2. Hadis tentang tatakrama bertetangga: ma huwa bi-mukminin man lam ya'man jaruh bawa'iqahu, Tidak sempurna iman seseorang yang tidak membuat nyaman tetangganya. Jadi frase: ma huwa bi-mukminin tidak dipahami sebagai tidak beriman, tapi tidak sempurna keimanan seseorang bagi yang mengganggu tetangganya. Pada hadis lain ada banyak lafaz yang memiliki makna yang mirip, seperti la yu'minu ahadukum.....dst. la yu'minu di sini tidak serta merta dipahami sebagai orang tidak beriman, tapi lebih kepada makna seseorang tidak memiliki iman yang sempurna.
3. Hadis kull ma'ruf-in shadaqat-un, setiap yang makruf adalah bernilai sedekah. hadis ini diriwayatkan Ibnu Aby Syaibah dengan sanad Huzaifah. Ada lagi redaksi lain yang berbunyi: .....wa ahl al-makruf fi al-dunya hum ahl al-makruf fi al-akhirat (Hadis riwayat dari Sa'id ibn al-Musayyab). Ahli kebaikan di dunia ini juga mereka akan menjadi ahli kebaikan di akhirat kelak. Insya Allah.
Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar