Senin, 07 Mei 2012
Ulama-Umara-Aghniya'
Seburuk-buruk ulama (syiraru al-‘ulama’) adalah yang mendatangi pintu istana-penguasa. Dan sebaik-baik penguasa adalah yang mendatangi ulama. Demikian sabda Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din-nya.
Ulama mestinya sebagai benteng umat dan pecinta dan pemelihara ilmu. Seorang ulama seharusnya tetap memelihara marwah dan mempertahankan independensinya. Seorang ulama harus merdeka dan “membebaskan” diri dari motivasi “memperkaya “ diri. Seorang ulama kalaupun “terpaksa” mendatangi umara atau penguasa, ia tetap sebagai “tuan rumah”, bukan sebagai tamu. Dialah yang memiliki otoritas. Dialah yang mengendalikan pembicaraan. Bukan sebaliknya. Ulama tidak boleh ”menghamba” kepada kekuasaan. Ulama tidak boleh “memuji-muji” penguasa hanya karena ingin mendapatkan kedudukan atau sesuatu hadiah dari penguasa. Demikian Jalaluddin Rumi, dalam kitabnya: Fihi Ma Fihi yang disunting oleh Prof. Badi’uzzaman Furuzanfar, 1952 M.
Mungkin fenomena ulama yang sangat gampang “menghamba” kepada kekuasaan sehingga Imam al-Ghazali dengan lantang menyebut mereka itu sebagai “ulama’ al-su’, ulama yang berperangai buruk.
Saya pernah mendapatkan cerita yang menarik dari Prof Imam Suprayogo bahwa di Malang Jawa Timur ada seorang ulama yang dapat “menyatukan” antara ulama, umara dan aghniya (orang kaya pemilik modal). Ulama tersebut memiliki pesantren. Dan pesantrennya memiliki ciri khusus yakni dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitarnya. Ulama di Malang ini membentuk sebuah organisasi yang mereka sebut “MUUAG”. MUUAG adalah akronim dari Musyawarah Antara Ulama, Umara dan Aghniya’. Musyawarah antara Kyai, pemerintah dan pemilik modal. Ini lebih akomodatif, dan saling bersinergi. Tidak kooptasi. Siapa memanfaatkan siapa. Tapi tiga komponen ini saling mengambil manfaat sesuai dengan bidang dan kompetensi masing-masing. Menarik kan?
Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar