Kamis, 17 Mei 2012
Biksuni Thubten Chodron
Ia terlahir dari keluarga Yahudi. Ia tumbuh di lingkungan Kristiani, tetapi belakangan memilih menjadi penganut Budhdha. Ia terpesona ketika mendengarkan penjelasan sang Guru Budhdha, bahwa jangan langsung percaya kepada apa yang baru saja saya katakan. Engkau harus mengujinya.
Biksuni Chodron sudah menulis beberapa buku diantaranya:
(a) Open Heart;
(b) Clear Mind;
(c) Taming the Monkey Mind;
(d) Working with Anger.
Biksuni Chodron adalah Guru tetap pada Amithaba Buddhis Center di Singapura dan Dharma Friendship Foundation di Seatle, AS.
Bagi Chodron, perilaku konsumerisme telah menggerogoti manusia modern. Kekayaan materi, gila pujian, haus dalam mencari reputasi dan kenikmatan hidup adalah pangkal konsumerisme. Uang sangat didewa-dewakan. Sehingga muncullah sumber kecemasan di dunia ini, antara lain:
1. Kemelekatan pada uang dan materi, sehingga kita galau kalau ketika tidak memilikinya.
2. Kemelekatan pada pujian dan persetujuan, dan kita terganggu kalau mendapatkan kritik atau ada orang yang tidak sependapat.
3. Kemelekatan pada reputasi dan citra baik serta kita terusik kalau reputasi dan citra runtuh.
4. Kemelekatan pada kenikmatan inderawi, dan kita terganggu kalau kita menemukan hal-hal yang tak menyenangkan.
Saya jadi teringat pada pendapat Ibn Hazm tentang perilaku dan watak manusia yang menghindar atau lari dari kecemasan. Bahwa semua manusia berkehendak untuk menghindarkan diri dari seluruh kecemasan. Orang mencari harta yang banyak dan menjadi kaya untuk menghindarkan diri dari penderitaan kemiskinan. Orang mencari ilmu, karena menghindarkan diri dari kecemasan “dihinakan” atau “diabaikan”. Hampir semua perilaku manusia dalam rangka menghindarkan diri dari kecemasan.
Ibnu Hazm menulis bahwa setiap manusia menuju pada satu tujuan, yakni hasrat untuk lari dari kecemasan. Ini berlaku bagi orang kaya dan miskin, bagi sultan atau hamba, bagi kaum ulama atau bagi mereka yang tak berpendidikan, bagi perempuan atau para kasim, bagi mereka yang memuja sensualitas dan kenikmatan terlarang atau bagi para pertapa. …
Mungkin itulah sebabnya, Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama menganjurkan umatnya untuk senantiasa membaca do’a: Allahumma inny ‘a’uzubika min al-hammi wa al-huzni, wa ‘azubika min al-‘ajzi wa al-kasli, wa ‘a’uzubika min al-qahr al-rijal. Ya Allah aku berlunding kepada-Mu dari was-was, kecemasan, dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kelelahan dan kemalasan. Serta aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan zalim dari orang yang berbuat zalim.
Manusia harus melakukan “kritik dan dialog dengan diri”. Dari dialog itu, akan ditanyakan: apakah saya sudah pas menjalani kehidupan seperti ini? Apakah saya sudah tepat dalam memperlakukan orang lain? Sudah berapa manfaat yang telah saya persembahkan kepada orang banyak?
Ada kegalauan orang sekarang, yang biasa menjalani kehidupan dengan jalan pintas. Inilah salah satu pemicu perilaku korupsi. Dia tidak sadar proses. Ia mau segera kaya. Padahal, korupsi pada hakikatnya akan “menghancurkan” dirinya sendiri. Korupsi sebetulnya akan mengorupsi dirinya sendiri.
Dari dialog dengan diri itu, manusia akan berdamai dengan materi, uang, reputasi, kenikmatan hidup. Sebab, di ranjang kematian, orang hanya bisa menyesali perbuatannya, bukan menyesal karena tidak punya berlian. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberi manfaat yang lebih banyak kekpada manusia dan makhluk lainnya. Mirip dengan hadis Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama: khair al-nas anfa’uhum li al-nas, sebaik-baik manusia adalah lebih mbanyak manfaatnya kepada manusia lainnya.( Disadur dan sedikit modifikasi dari Maria Hartiningsih, Biksuni Thubten Chodron: “Prinsip-prinsip Etik Tak Bisa Dikompromikan”, Kompas, 16 Mei 2012, h. 16).
Wa Allah 'alam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar