Tanri Abeng adalah sosok profesional yang sangat sukses. Ada yang menjuluki beliau sebagai Peter Druckernya Indonesia, karena beliau memang pernah berguru langsung kepada sang Begawan management dunia.
Tanri Abeng dikenal sebagai seorang profesional sejati. Ia menggagas bahwa untuk memenangkan pertarungan di era global, kita harus menggbungkan kekuatan kemitraan antara entrepreneurs dan proffesional managers. Dalam era persaingan global sangat dibutuhkan kerjasama, aliansi ataupun kemitraan antara keduanya untuk menciptakan suatu kombinasi kekuatan, pengembangan serta pengelolaan manejemen. Sebagaimana nasehat guru Tanri, Peter Drucker mengatakan bahwa “there is entrepreneurial work and there is managerial work, and the two are not the same. But you can’t be a successful entrepreneur unlees you manage and if you try manage without some entrepreneurship, you are in danger of becoming a bureaucrat” (Ada pekerjaan yang menuntut jiwa wiraswasta dan ada pekerjaan yang menuntut pengetahuan manajemen.
Namun Anda tidak dapat menjadi wiraswasta yang sukses apabila anda tidak bisa memanage. Sebaliknya, jika anda mencoba memanage tanpa memilki jiwa kewiraswastaan, Anda pada akhirnya akan menjadi seorang birokrat).
Kata Peter Drucker lagi dalam The Dicipline of Innovation (Leader to Leader, 1998), in a rapidly changing society innovation is badly neaded because the problems are changing. Jadi, apabila ada seorang manager professional mengaku telah matang karena bekerja 10 tahun padahal tidak pernah berinovasi, maka sebenarnya pengalaman kerjanya hanyalah satu tahun ketika ia melakukan inovasi tersebut. Satu tahun itulah yang diulang-ulang selama 10 tahun. Manager semacam ini adalah tipe yang harus dipersilahkan untuk check out. Albert Einstein, pernah berkata: orang gila adalah orang yang selalu mengulang-ulang pengalaman masa lalu tanpa inovasi, tapi mengharapkan hasil yang berbeda.
Tanri Abeng baru saja me-launching buku untuk memperingati umurnya yang sudah menginjak usia 70 tahun. Buku dimaksud diberi judul: No Regrets. Saya teringat judul buku Wimar Witoelar yang terbut lebuh duluan dengan judul yang sama, No Regrets, tidak ada penyesalan.
Dalam buku Tanri, beliau mengisahkan perjalanan panjang dan kisah hidupnya yang penuh liku dan suka duka. Tanri menceritakan bagaimana ia melewati masa-masa sulitnya sebagai anak yatim, yang pada usia 10 tahun sudah di tinggal oleh ibunya. Ia harus menjalani sekolah dasar di kampungnya, Selayar yang ditempuh dengan jarak yang sangat jauh, tiga jam perjalanan dengan jalan kaki. Tanri berjuang hidup dengan penuh kegetiran. Kalau kebetulan diguyur hujan, ia cukup mencari daun pisang untuk sekedar menutupi kepalanya.
Ia juga melatih anak-anaknya agar bisa hidup mandiri. Makanya, pak Tanri menyekolahkan anaknya di luar negeri, agar mereka dapat hidup mandiri, tanpa pembantu. Pak Tanri yakin dengan sekolah di luarg negeri bukan berarti ia banyak uang, tapi supaya putera-puetrinya tidak hidup bermanja-manja.
Satu hal yang paling saya ingat, ketika pak Tanri sebagai Menteri BUMN, ketika dikritik dan disorot oleh wartawan, karena kebijakannya mengenai privatisasi asset BUMN,maka beliau menjawab dengan tegas bahwa saya adalah seorang profesional. Sungguh banyak teladan yang dapat diambil dari perjalanan panjang pak Tanri. Mulai dari kegetiran hidupnya dari masa kecil sebagai anak yatim, sekolah sambil menjual pisang goring, kuliah di luar negeri, menjabat sebagai the finance manager dalam usia yang sangat muda, kiprahnya di cabinet sebagai menteri BUMN yang pertama di Indonesia, sampai di usia tua, 70 tahun masih juga memberi kontribusi yang riil bagi kemajuan bangsa. Semoga pak Tanri panjang umur, dan sehat selalu bersama keluarga, dan keluarga besar Indonesia.
Wa Allah a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar