Selasa, 15 Mei 2012
Professor Paradoks
Ada buku novel karya Ana Nadhya Abror dengan judul: Paradoks, 2004. Novel ini menggambarkan betapa sebagian para professor sekarang sudah tidak mengembang tugas akademiknya. Ia membandingkan dengan latar budaya Jepang yang sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Ada professor yang hanya nama saja. Tugas keprofessoran nya diabaikan demi untuk mendapatkan proyek.Tugas mengajar, meneliti, menyebarkan ilmu dan menulis buku sudah bukan menjadi perhatian utama. Ada juga professor yang hanya nebeng di kampus yang pada kenyataannya tugas yang diutamakannya justeru di luar kampus. Ada juga guru besar menjadi “juru bicara” pemerintah. Ia sebetulnya tidak layak lagi menyandang gelar professor. Sehingga ada pernyataan: guru besar luar biasa “diplesetkan” menjadi Guru besar biasa di luar.
di penghujung tahun 2009, saya berkesempatan berkunjung ke Leiden University. Saya sempat ke gallerynya dan menemukan buku dengan judul: Leiden Professors and Their Fascination, 2005. Buku ini semacam profil para guru besar yang dimiliki Leiden University. Ada sekitar 400-an guru besar Leiden University. Hal yang menarik adalah buku ini memuat riwayat singkat sang guru besar, publikasi ilmiyah dan karya-karya akademiknya. Setiap guru besar menulis "my inspiration" untuk menjelaskan keahlian dan hal-hal yang inspiratif sepanjang karier keprofessoran guru besar bersangkutan. Ada yang bercerita bahwa ini memilih untuk ahli di bidang kesehatan masyarakat karena terinspirasi dengan masyarakat Afrika Selatan yang didera penyakit nyamuk malaria. setiap professor berkisah secara singkat tentang mengaapa ia akhirnya menekuni bidang tertentu.
Saya membayangkan kalau Kementerian Agama RI memiliki profil guru besar dan masing-masing professor berkisah mengenai kepakaran yang digelutinya. Ini sesuatu yang dahsyat bagi pengembangan keilmuan di PTAI. Semoga kita dapat mengembangkan keilmuan keislaman di republik tercinta ini. Sebab, seperti kritik para pakar bahwa Indonesia adalah negara terbesar penduduk muslimnya di dunia, tapi paling sedikit dalam memberi kontribusi pemikiran dalam balantika pemikiran kontemporer. Tentu hal ini sangat berbeda dengan Pakistan yang para pemikirnya banyak dikutip dunia, seperti Sir Muhammad Iqbal, Abu A'la al-Maududy, Prof. Fazlur Rahman, dll.
Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar