Sabtu, 12 Mei 2012
Tongkat Mu'awiyah
Pada tahun 20 H, masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, beliau menyampaikan khutbah di mimbar rasulullah shalla Allah ‘alaih wa sallama di Madinah. Beliau mengkhutbahkan kebijakan pemerintahan yang akan dijalaninya. Seketika seorang Arab badui memotong pembicaraannya dengan berkata lantang: wa Allah, lau wajadna fika a’wijajan la-qawwamnahu bi-suyufina. Demi Allah, sekiranya kami menemukan “ketimpangan” dalam pemerintahanmu, maka kami akan meluruskannya dengan pedang. Umar tersenyum bahagia dan berucap: alhamdu li Allah al-lazy ja’ala fi ra’iyyat ‘Umar, man yuqawwimuhu bi-hadd al-saif iza akhtha’a: “Segala puji bagi Allah yang masih menyisakan ada rakyat Umar yang mau meluruskannya jika ia bersalah.
Pernyataan Umar di atas mimbar adalah pernyataan yang tulus. Kritik si arab Badui juga merupakan kritik yang tajam tapi disertai dengan ketulusan. Sikap Umar adalah melambangkan keadilan tapi tegas ( al-‘adl al-basim).
Pada tahun 45 H, menurut penuturan Ibn ‘Aun berdasarkan catatan Jalaluddin al-Suyuthy dalam Tarikh al-Khulafa’, h. 195 bahwa suatu hari seseorang melancarkan kritik kepada Mu’awiyah ibn Abi Sofyan. Wa Allah, la-tastaqimannaka bina ya Mu’awiyah, aw lanuqawwimannaka! Fa-yaqulu: bi-maza? Fa-yaqulu: bi al-khasybi. Fa-yaqulu: izan nastaqimu. Demi Allah, apakah Anda betul-betul akan berlaku adil dan lurus kepada kami? Atau kamilah yang akan meluruskanmu! Mu’awiyah menanggapinya: dengan apa engkau meluruskanku! Dengan kayu!, kata sang pengkritik. Jawab Mu’awiyah: kalau demikian, lebih baik kita sama-sama meluruskan diri.
Pernyataan Mu’awiyah dan jawaban pengkritiknya seakan-akan “dipenuhi” dengan permainan kata-kata. Dari persoalan substansial menjadi sesuatu yang kelakar. Sebab, bagaimana mungkin seseorang dapat meluruskan kebijakan pemerintahan dengan tongkat? Ini pernyataan yang tidak lazim. Respons Mu’awiyah dengan pernyataannya: bi-maza? Dengan apa engkau akan meluruskanku, juga menyimbolkan seorang khalifah yang sangat tinggi hati atau percaya diri? Model pemerintahan Umar dengan gaya Mu’awiyah sangat berbeda. Padahal, jarak pemerintahan keduanya hanyalah berselang 25 tahun. Suatu jarak yang masih sangat singkat.
(Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Dr Faragh Faudah, al-Haqiqah al-Ghaibah, 1988, h. 75-dst)
Wa Allah a’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar