Gallery

Minggu, 29 April 2012

Menuju Persatuan Umat

Ada buku menarik yang diterbitkan oleh Mizan untuk kedua kalinya ( 1994 dan 2012). Buku tersebut berjudul: Menuju Persatuan Umat Pandangan Intelektual Muslim Indonesia. Buku ini disunting oleh Haidar Baqir, ada kata pengantar, dan juga kesepakatan intelektual Muslim se-dunia juga disertakan pada bagian pendahuluan. Buku ini merupakan kumpulan artikel para pakar muslim Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, M. Amin Rais, M. Quraish Shihab, M. Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Ali Audah, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Buku ini untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun . Penerbitan sekarang pada tahun 2012, karena pesannya masih relevan dengan kondisi keindonesiaan yang ditandai dengan munculnya gerakan keagamaan yang cenderung mencederai persatuan umat, dan bahkan pada titik tertentu, lahirnya paham keagamaan yang menegasikan yang lainnya. Ada sekelompok orang yang merasa mendapat mandate dari Tuhan untuk menafsirkan wahyu dan memiliki sikap keras dan bahkan tidak tanggung-tanggung untuk menghancurkan orang lain yang tidak sejalan dengan pemikiran dan ideologi keagamaannya. Ada banyak hal yang menarik yang dibahas buku ini, antara lain: 1. Pada bagian kata pengantar, Haidar Baqir mengisahkan pertemuan Washil ibn’Atha’ dengan kelompok Khawarij yang kala itu terkenal mudah menghakimi kelompok muslim lainnya yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk “menebas” leher kelompok yang berseberangan dengan mereka. Khawarij bertanya: “Siapakah anda ini?. Washil menjawab: Saya adalah seorang musyrik mustajir. Jawaban ini tentu mengejutkan, dan sangat cerdas. Musyrik-mustajir adalah istilah baru kala itu. Tapi Washil ibn ‘Atha’ sudah tahu bahwa Khawarij hanya akan menerima pendapat dan sikap yang sesuai dengan makna lahir ayat. Orang musyrik-mustajir haruslah diperlakukan tersendiri sesuai dengan makna lahir Q.S. al-Taubah (9): 6;…Jika salah seorang kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu, berilah (perlindungan), hingga didengarnya firman Allah. Kemudian antarlah ia sampai ke tempat yang aman baginya. Yang demikian itu karena mereka orang yang tiada pengetahuan. Sehingga si Khawarij tadi menyuruh kawannya untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Washil pun mendengarkannya. 2. Pada bagian lain, Ali Audah, menyorot masalah kesenian dalam pandangan kebanyakan orang. Bagi Ali Audah—penerjemah The Holy Qur’an, karya Abdullah Yusuf Ali—ada untungnya al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalla Allah ‘alaih wa alih wa sallama tida eksplisit berbicara mengenai seni. Memang ada ada hadis yang melarang untuk melukis atau mematung sesuatu yang bernyawa. Bahkan sekarang ini kelompok Salafy Darul hadis, Dammaj pimpinan Syekh yahya al-Hajoury mengharamkan berfoto. Hal ini sesuai dengan fatwa maha gurunya, yakni Syekh Muqbil Hadi al-Wadi’iy. Memang ada masalah kalau seni ini tanpa dilandasi oleh moral agama. Sebab, seni tanpa filsafat moral, wanita boleh dilukis dalam keadaan telanjang. Ali Audah juga menyoroti bahwa tidak semua semua unsur-unsur demokrasi kompatibel prinsip-prinsip Islam. Dalam demokrasi, terutama pada saat pemilihan umum, suara seorang tukang becak atau petani yang buta huruf sama nilainya dengan suara cerdik cendekia. Atau bahkan dengan seorang presiden. Sebetulnya pada masa lalu, Shakespeare sudah mengkritik Cleopatra dan Antonius( raja Romawi yang gagah perkasa)—ratu Mesir yang legendaries itu karena melibatkan orang awam masuk kedalam ranah politik. 3. Prof. M. Amin Rais juga menyorot bahaya imamah, kalau dipegang orang selain seperti Imam Khomeini yang terkenal arif dan bijaksana. Amin Rais juga mengutip pandangan Hassan al-Banna bahwa setiap jengkal bumi yang di atasnya ditegakkan kalimah La Ilah illa Allah adalah tanah air seorang muslim. Beliau juga mengutip pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan: apa pun kebaikan yang kau lakukan, pasti ada yang memuji dan yang mencela. Pada suatu kesempatan, saya mendengarkan ceramah singkat ketua parlemen Iran di Masjid Istiqlal. Beliau menegaskan bahwa kalau umat Islam sedunia bersatu, maka kekuatan Yahudi yang selama ini dieluk-elukkan hanyalah ibarat seember air yang ditumpahkan di padang pasir. Tentu kekuatan yang demikian itu sangatlah kecil artinya. Tidak ada apa-apanya. Capaian Iran dan kekuatan nuklirnya bukanlah milik sekelompok orang Iran, apalagi syi’ah. Capaian ilmu pengetahuan Islam Iran adalah milik seluruh umat Islam di dunia ini. Saya pendapat ini menarik untuk mengakhiri pertikaian dan sikap curiga antara sunnah dan syi’ah, termasuk di Indonesia, Yaman, Syiria, dan lain-lain. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar: