Rabu, 25 April 2012
Masa Depan Islam
John L. Esposito telah menulis buku yang menghentak dengan judul: The Future of Islam, 2O12. Oleh Karen Armstrong dalam kata pengantarnya disebut sebagai "an important book", buku yang sangat penting terutama setelah tragedi 11 september. Sebelumnya, Esposito telah menulis buku bersama dengan Dalia Mogahed dengan judul Who Speaks for Islam: what a billion muslims really think, 2oo8. Di dalamnya dibahas pandangan orang Islam sendiri mengenai jihad, terorisme, radikalisme agama, posisi perempuan di ranah piblik, dll. Pertanyaan mendasar yang dijawab adalah who are muslim, siapakah kaum muslim itu? Democracy or Theocracy? Pilihan dalam bernegara apakah seorang muslim lebih tepat berdemokrasi atau teokrasi? What makes a radical? Apa yang membuat seseorang dapat menjadi radikal? What do women want? Wanita muslim maunya apa? Clash or. Coexistence? Hidup berseberangan atau berdampingan? Pertanyaan ini terutama penting untuk merespon tesis Samuel Hungtinton, the clash of civilization, masa depan hanyalah akan diwarnai dengan benturan peradaban, meskipun tesis ini sudah banyak dibantah oleh pakar lainnya.
Dalam The Future of Islam, Esposito menggagas Satu Tuhan, banyak wahyu. islam dan muslim tidak satu, tapi beragam. islam berkembang sangat cepat dan pesat ditandai dengan arus imigrasi di Eropa ( Prancis, Belanda)dan Amerika. Pertanyaan yang dijawab, antara lain:
a. apakah Islam kompatible demokrasi dan hak-hak asasi manusia (human right)?
b. apakah fundamentalisme agama akan menghambat perkembangan modern di dunia Islam?
c. pemikir muslim mana yang paling berpengaruh sekarang? Ada beberapa nama yang ditampilkan Esposito, antara lain: Tariq Ramadhan, Aminah Wadud, A A Gym, Mustafa Ceric.
walhasil, Islam sangatlah kompleks dan majemuk. Ada sunnah dan Syi'ah, ada juga gerakan salafiyah yang juga sangat beragam. Pengalaman Darul Hadith, Dammaj Sa'dah, pimpinan Syekh Yahya al-hajury, mengklaim salafiyah merekalah yang benar-benar asli salafi di dunia.
Islam yang terbentang dari Afrika sampai Asia Tenggara, dari Amerika Serikat sampai Eropa--lanjut Esposito--sedang berada di persimpangan jalan besar sebagaimana juga agama-agama besar lainnya dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat. Islam bisa sebagai sumber masalah, jika hanya melihat gerakan ekstrimisme yang sebetulnya mereka itu hanyalah minoritas Islam. Selanjutnya, Islam sebagai solusi jika ditilik dari mayoritas Islam yang sedang mengembangkan hak asasi manusia, sikap saling menghormati, saling bekerjasama antar komunitas beriman untuk membangun tujuan yang sama.
memang faktanya, sebagian muslim ingin membatasi agama sebagai urusan privat (pribadi). Ada lagi yang memaknai Islam sebagai bagian yang terintegral dari semua aspek kehidupan ( Islam kaffah?). Sementara itu, para pembaru Islam berupaya mewujudkan Islam konstruktif. Mereka melengkapi diri dengan wawasan pengetahuan yang mendalam tentang tradisi keagamaan dan pendidikan modern dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kedokteran, sains, dll. Hanya saja pembaru ini masih kelompok minoritas dan terkadang oleh rezim otoriter melihat mereka sebagai pembuat bid'ah. Rezim otoriter biasanya justeru memelihara ekstrimisme untuk melanggengkan kekuasaan.
Kaum ekstrimisme memang harus diwaspadai. Sebab, mereka merasa mendapat mandat dari Tuhan untuk menafsirkan Islam versi mereka, dan siap membinasakan kelompok lain yang berbeda.
Dalam kaitan ini, Esposito mengusulkan agar pemerintah Amerika harus membangun a strong civil society, bukan dengan otoritarianisme sebagaimana sekarang ini yang hanya akan menciptakan anti-amerika, dan hanya akan memperkuat terorisme. Amerika seharusnya membenahi politik dan sosio-ekonomi, bukan menghantam ekstrimisme.
Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar