Prof. Musthafa ‘Azami[1]
menulis kata pengantar bukunya yang berjudul: Studies in Hadith Methodology and Literature, 1977. Pada akhir kata
pengantar tersebut beliau memohon ampun kepada Allah Swt karena mengizinkan
penerbit untuk menerbitkan bukunya tanpa menulis shalla Allah ‘alaih wa sallama
setelah kata Nabi. Pernyataannya sebagai
berikut:
Finally, I apologize
to the readers for giving my cencent to the publication of this book even
though the words shalla Allah ‘alaih wa sallama have not been printed after the
name of the prophet shalla Allah ‘alaih wa sallama or after the words “the
prophet”. I regret this omission but at the time of writing this introduction
it was too late to fill in the words of the blessing. May Allah for give me.( Akhirnya, saya menyampaikan permohonan ma'af kepada para pembaca karena telah mengizinkan penerbit buku ini untuk tidak menyertakan frase: shalla Allah 'alaih wa sallama setelah nama Nabi. Saya sangat menyesalkan penghilangan tersebut, tetapi setelah menulis pengantar ini sudah terlambat untuk menyertakan shalawat tersebut. Semoga Allah mengampuni saya). Suatu pengakuan yang menunjukkan kerendahan hati penulisnya, dan kedalaman cintanya kepada Rasulullah shalla Allah 'alaih wa salllama.
Imam Ibn Hajar al-Haitamy –salah seorang juru bicara mazhab
al-Syafi’iyah--menulis buku khusus keutamaan bershalawat kepada Nabi Shalla Allah ‘alaih wa sallama dengan
judul: al-Durr al-Mandhud fi al-Shalat wa
al-salam ‘ala al-Shahib al-Maqam al-Mahmud. Kitab ini ditulis dalam waktu yang sangat singkat,
yakni dimulai dari akhir bulan shafar tahun 951 H dan selesai pada tanggal 8
Rabi’ al-Awwal pada tahun yang sama. Pada
bagian akhir kitabnya ini, Ibn Hajar al-Haitamy menukilkan kisah dan mimpi para
salaf al-shalih mengenai keutamaan
shalawat. Imam al-Syafi’I pernah bermimpi bertemu dengan seseorang agar beliau
menambahkan kalimat: Wa shalla Allah ‘ala
Muhammad-in ‘adada ma zakarahu al-zakirun wa ‘adada ma ghafala ‘an zikrihi
al-ghafilun: Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Muhammad sejumlah
orang yang bershalawat kepadanya, dan sejumlah orang yang lupa bershalawat
kepadanya. Pagi harinya, Imam al-Syafi’i melihat kalimat tersebut tertera pada kitab
al-Risalah yang sedang ditulisnya. Menurut
Imam Abu al-Hasan, bahwasanya Imam al-Syafi’I tidak dihisab pada hari kiamat
karena beliau banyak bershalawat kepada Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama. Abu Thahir al-Mukhlis, suatu malam
bermimpi melihat Rasulullah shalla Allah ‘alaih
wa sallama memalingkan mukanya. Lalu, Abu Thahir mencari arah agar dapat
melihat wajah Rasulullah. Rasulpun masih memalingkan wajahnya. Beliau,
bertanya: wahai baginda Nabi, ada apa
gerangan sehingga Baginda memalingkan muka kepada saya? Karena engkau kurang
bershalawat kepadaku, jawab Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama. Imam
al-Baihaqy juga meriwayatkan bahwa Imam al-Syafi’I diampuni dosanya oleh Allah
karena banyak bershalawat kepada Nabi shalla
Allah ‘alaih wa sallama. Demikianlah keutamaan bershalawat kepada Baginda
Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallama.
Wa Allah a'lam.
[1]
Prof. Musthafa ‘Azami adalah penulis otoritatif di bidang kritik hadis terutama
dalam membela al-sunnah dari serangan para orientalis. Bukunya yang cukup
prestisius yang dapat dirujuk, antara lain: (a) Studies in Early Hadith
Literature, 1968 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul: Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinih,
1976; (b) On Schacht’s Origins of
Muhammadan Jurisprudence, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar