Gallery

Rabu, 19 September 2012

Inovator Ilmu

Pada tanggal 12. s.d 14 september 2012 yang lalu, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam menyelenggarakan kegiatan menarik yaitu inovasi keilmuan. Kegiatan tersebut melibatkan pemikir-pemikir muda perguruan tinggi agama yang selama ini menekuni dan merawat pengembangan ilmu. Nara sumber yang diundang pada acara tersebut, antara lain: Prof. Imam Suprayogo, Prof Amin Abdullah masing-masing membahas integrasi dan interkoneksi ilmu. Prof Mulyadi Kartanegara juga mendapat kesempatan tampil untuk membahas: Membangun Tradisi Ilmiyah Islam. Ada lagi Dr Mukhlis Hanafi, tokoh muda yang mengkaji geliat intelektual Islam untuk pengalaman Mesir dan negara timur tengah lainnya. K.H. Jalaluddin Rakhmat cukup memukau yang secara khusus membahas tradisi al-Jarh wa al-Ta'dil. Para peserta disamping mendapatkan refleksi dari para nara sumber, mereka juga mendapat kesempatan untuk sharing idea mengenai temuan-temuan baru bagi bidang keahlian yang mereka tekuni selama ini. Sesi ini cukup hangat. Bahkan ada peserta yang sampai "mengebrak" meja, tapi tetap bisa mengendalikan diri. Beberapa hal penting yang dihasilkan workshop inovator keilmuan ini, antara lain: 1. Kita harus mempunyai mimpi besar (the big dream) untuk membangun peradaban Islam. Yaitu dimulai dengan membangun tradisi ilmiyah dan "mencintai" serta "merawat" turath. Sebab, turath itu sesungguhnya merupakan riwayat kesehatan umat. Tentu saja, kita tetap harus membaca turath secara kreatif. Khazanah intelektual muslim demikian melimpahnya dan sangat kaya, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Tradisi ilmiyah, tradisi kritik sesungguhnya sudah sangat berkembang pada abad tengah. Para khalifah sangat menghargai dan menghormati ilmuan. Perhatian kepada pengembangan ilmu juga sangat tinggi. 2. Kita merindukan lahirnya tokoh-tokoh besar (the giants) seperti Imam Ibnu Jarir al-Thabary, Imam al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Suyuthy, Imam al-Jahiz, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam al-Syafi'i, Omar Khayyam, al-Biruny, Ibnu Taimiyah, dll. 3. Tradisi kritik. Ibnu Hibban dalam kitab al-Majruhin mengkritik sekitar 500 tokoh hadis.Imam al-Bukhary telah menghapal 300.000 riwayat, dan setelah menyeleksinya tinggal sekitar 7.000 dalam kitab shahih-nya. Kalau redaksi hadis tidak dihitung yang berulang lafaznya, maka hanya 3.000-an yang shahih. Luar biasa kritik yang dilakukan Imam al-Bukhary ini. Dalam filsafat Islam juga demikian. Imam al-Ghazali tidak setuju dengan para filosof sebelumnya, maka beliau melancarkan kritik ;ewat karya monumnetalnya: Tahafut al-Falasifah. Belakangan muncul Ibnu Rusyd yang juga mengkritik Imam al-Ghazali lewat kitabnya: Tahafut al-Tahafut. Bahkan, konon Imam al-Ghazali muda telah sering melancarkn kritik kepada gurunya Imam al-Juwainy masih hidup. Begitu kerasnya kritik Imam al-Ghazali sampai-samlai gurunya berujar: "apakah Anda tidak sabaran lagi, mau melihat saya lebih cepat mati lalu menggantikan saya"! 4. Tradis menulis. Imam al-Ghzali pernah berkata: "sepudar-pudarnya ilmu yang ditulis, jauh lebih baik daripada pikiran cemerlang tapi tidak ditulis. Untunglah Plato menulis. Meskipun ia tidak sependapat dengan Socrates gurunya yang masih berpendapat bahwa hikmah, wisdom bukan di kertas, tapi tertanam di hati manusia. Ternyata tulisan itu "abadi". 5. Untuk mengapresiasi kekinian dan "bersahabat" dengan globalisasi, kita harus segera melalukan "FRESH IJTIHAD". Kita harus kaya dengan perspektif. Kita perlu warna-warni. Kita juga perlu mengapresiasi temuan-temuan sains modern. Kita juga harus melihat dan mengapresiasi pengalaman otentik "rekonstruksi sosial" masyarakat muslim di beberapa wilayah di nusantara, seperti Poso, NTB, Banten, Aceh, Daya, Madura, dll. Pola ijtihad kita tentu tetap mengapresiasi turath abad klasik dan abad tengah, dan pada saat yang sama harus memiliki kecanggihan metodologis untuk "bersahabat" dengan globalisasi serta temuan-temuan sains modern. Sekali lagi, perlu melakukan Fresh-Ijtihad. Wa Allah a'lam.

1 komentar:

Oman Fathurahman mengatakan...

Salam,

Pak Kyai, terima kasih sudha menyempatkan waktu menulis sepintas Workshop itu. Saya sempat menerima undangan, sayangnya berbenturan dengan Simposium Manassa di Yogyakarta waktu itu. Saya sangat mendukung rekomendasi yang disampaikan, semoga kita bisa terus mengembangkan dan melahirkan keilmuan yang tetap berbasis pada turats yang kita warisi......

Salam hangat,
Oman tea