Senin, 21 April 2014
Prof M. Nuh-1
Prof M.Nuh dalam bukunya: Menyemai Kreator Peradaban, 2013, menceritakan kerja keras dan keikhlasan seorang nenek penjual cendol di Madura. Sang nenek terkenal dengan es cendolnya yang racikannya pas. Enak deh. Sang nenek setiap hari menembus teriknya matahari untuk menjajakan es cendolnya. Suatu waktu,Bupati mau berkunjung ke desa tempat sang nenek. Pak Kyai mendatangi sang nenek untuk memborong es cendolnya sebagai minuman pembuka bagi Bapak Bupati dengan rombongan. Nek, mimpi apa semalam? Hari ini nenek akan mendapatkan rezeki nonplok. Nenek tidak usah lagi capek-capek keliling menjajakan cendolnya. Semuanya kami borong, pinta pak Kyai. Nenek, jangan dibeli semuanya. Kasihan para pelanngan saya yang sudah menunggu. Kasihan anak-anak yang haus menunggu cendol saya. Demikianlah, sang nenek, bekerja keras dengan penuh keikhlasan. Nenek menjual cendol bukan hanya untuk uang. tetapi juga untuk membantu dan memuaskan para pelanggannya. Betapa ikhlasnya sang nenek. Pak Kyai merasa, siapa yang sesungguhnya yang berhati "kyai"? Konon, Imam Malik, r.a selalu membawa sapu tangan untuk melindungi dahinya ketika beliau sujud. Agar pada dahi beliau tidak ada "bekas sujud", min atsar al-sujud secara fisik. Biasanya, kalau seseorang rajin shalat nafilah, dan sujud dalam waktu lama, pada dahinya ada bekas sujud. Imam Malik memelihara diri dari min atsar al-sujud secara fisik. Biarlah min atsar al-sujud secara rohani, yakni kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sunguh mulia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar