Gallery

Minggu, 07 April 2013

Jujur itu Mahal

Seorang kawan dari Wonosobo, Jawa Tengah bercerita tentang sulitnya berbuat jujur. Ia bercerita tentang kelakuan petani yang juga sudah banyak yang tidak jujur. Petani cabai yang terdesak ekonominya akan memetik cabainya yang masih muda. Dalam waktu semalam, cabainya itu dimasukkan dalam ruangan khusus, lalu disemprot dengan vestisida. Besok paginya akan merah. Akan tetapi, bijinya tidak bisa tumbuh jika dibibit. Petani melon dan semangka demikian pula halnya. Ada tehnik tersendiri untuk mebuat buah melon dan semangkanya cepat membesar dan segera bisa dipetik. Pedagang durian juga tidak kalah hebatnya. Durian yang masih muda dipetik. Lalu disimpan di ruangan khusus, disemprot. Seketika duriannya berbau wangi. Tapi beberapa hari kemudian bisa membusuk, dan kurang manis. Masya Allah. Begitu mahalkah arti sebuah kejujuran? Saya berpikir bahwa petani ynga hidupnya di desa, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota dapat berlaku jujur dan otentik. Begitu rusakkah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini? Di mana Pancasila? Di mana nilai suci agama yang setiap minggu dikhutbahkan. Bahkan setiap hari diceramahkan? Di mana nilai-nilai luhur bangsa? Mengapa kejujuran itu demikian sulit? Apa benar tesis Mochtar Lubis yang mengatakan bahwa salah satu ciri bangsa Indonesia adalah hipokrit, munafik. Semoga bangsa ini ada banyak figur yang senantiasa menyalakan obor kehidupan. Rasanya sudah sangat banyak "ruang-ruang gelap" di republik ini. Sehingga tidak cukup untuk sekedar menyalakan lilin kecil. Demikian. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: