Gallery

Rabu, 07 Oktober 2015

Syekh Sagala

Saya mendapat kesempatan sebagai nara sumber pada workshop rintisan pembukaan program studi baru pasca sarjana Universitas Islam Medan. Program studi yang mau dibuka adalah pendidikan agama Islam. Sebelum ceramah,saya mendengarkan Prof Ahmad Fadhil Lubis, rektor memberi sambutan. Saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang mengapa UIN SUmatera Utara saja nama UIN yang baru ini. Mengapa tidak mengambil nama tokoh sebagaimana UIN ar Raniriy, UIN Alauddin Makassar, UIN Syarifhidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga yogyakarta, dst. Medan tidak terbiasa memakai nama tokoh. Nama perguruan tinggi cukup merujuk pada tempat. Pada kesempatan yang sama, Prof Fadhil juga menjelaskan bahwa tujuan utama pendirian program pasca sarjana adalah untuk mereon tuntutan masyarakat yang semakin membutuhkan keahlian spesialisasi dalam keilmuan. Bahkan sekarang ini dalam dunia kedokteran dan sains dikenal istilah hyperspecialization. Hiperspesialisasi. Keahlian seseorang semakin menyempit. Dalam istilah lainnya, seseorang memiliki keahlian yang semakin spesialis. Seorang dokter dan ilmuan semakin dituntut untuk penguasaan bidang. Bukan segala bidang. Bukan Syekh Sagala. Ketika ditanya apa saja, maka mereka akan menjawab semuanya. Program pasca sarjana didirikan untuk menghasilkan sarjana yang spesialis. Bukan sarjana yang serba tahu. Ada kritik dari Prof Akhmad Minhaji,mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa kelemahan sarjana fakultas Hukum dan Syariah UIN adalah mereka sudah tidak menguasai dasar-dasar ilmu hukum. Mereka lebih menguasai sosiologi, antropologi, hermeneutika dsb. Sehingga ketika ditanya persoalan hukum mereka akan menjawabnya "serba tanggung". Padahal, mestinya sarjana hukum, habitnya bisa menjawab persoalan secara "hitam putih". Pada kesempatan yang sama, saya menjelaskan bahwa program pasca sarjana dibuka adalah untuk meningkatkan jumlah middle class Indonesia. Kelas menengah di Indonesia. Sebab, untuk membangun negara demokrasi kita membutuhkan kelas menengah. Kelas menengah berperan untuk mendistribusi pemikiran- pemikiran demokrasi kepada masyarakat level bawah. Menurut Prof Gerry van Klinklen dalam bukunya Making Middle Indonesia bahwa pada tahun 1998, masa reformasi Indonesia sudah diramalkan akan hancur dan runtuh menjadi negara persemakmuran. Negara serikat. Lalu, Indonesia ternyata masih utuh sebagai NKRI. Negara kesatuan Republik Indonesia. Mengapa? Karena jasa kelas menengah. Indonesia bersatu bukan karena strong state. Bukan pula karena strong leader. Tetapi karena jasa kelas menengah. Mereklah yang menyebarkan gagasan persatuan, damai, dan kesatuan bangsa kepada sekitar 80.000 desa di seluruh pelosok nusantara. Hal lain yang saya jelaskan adalah kecenderungan perguruan tinggi top dunia atau lembaga pendidikan terbaik adalah untuk memperkuat riset dan temuan- temuan terbaru dalam bidang ilmu. Semakin top sebiah perguruan tinggi berarti semakin banyak temuan dan riset terbarunya. Sekolah pasca sarjana adalah jawabannya. Demikian pandangan J.G. Wissema dalam bukunya Towards the Third Generation University, Managing the Universiy in Transition, 2009. Bahkan contoh yang disebut dalam buku ini adalah ITB, Institut Teknologi Bandung. Ternyata ITB sekarang ini telah memiliki 70% mahasiswa pasca dan hanya 30% mahasiswa program strata satu. Untuk kita lebih maju hqrus dari sekarang memikirkan dan membuat rencana strategis pengembangan pendidikan tinggi top nasional, dan setidaknya bisa bersaing di kawasan Asia Tenggara.

Tidak ada komentar: