Gallery

Rabu, 28 Oktober 2015

Newcastle University

Newcastle University adalah sebuah kampus bergengsi karena masuk 3% kampus yang terbaik di dunia. Dan termasuk sepuluh besar perguruan tinggi di Australia.
Dalam forum dibahas minat kajian masing masing peserta. Ada yang tertarik pada:
Familiy studies
Balance between husband and wife
 Legal advocation
Poverty
Issue marriage. Kawin lari.
Prosperitiy
Access to education
Street children, anak jalanan
Kota layak anak.
Rata rat peserta dalam mengungkapkan pendapat dan ketertarikannya kepada studi ini terbata bata.
Ibu Dee Brooks adalah seorang aktivis di kampus ini dan sudah sangat terkenal di Australia.
Ada juga Prof Gray-Em yang ramah, antusias dan baik hati. Bisa dibayangkan ada seorang professor yang mengangkat bangku masuk ke kelas. Saya tidak pernah mendapatkan professor di Indonesia yang mau melakukan hal yang sama. Demikian pula Prof Alan Hayes. Orangnya ramah, baik, dan terus bersemangat memberikan wawasan kepada peserta Outreach.
Hal lain yang menarik di Newcastle Univ ini adalah penghormatan kepada dosen senior. Dosen senior tetap mendapatkan "tempat" di kampus. Meskipun mereka sudah berumur di atas 60'tahun, para yuniornya sangat menghargai mereka. Ada kantor tersendiri, ada ruang berkreasi sendiri. Penghormatan tersebut terlihat dari segi sikap dan aktivitas keseharian di kampus. Budaya seperti ini tentu berbeda dengan pemandangan sebagian perguruan tinggi kita yang cenderung " membuang" seniornya. Habis masa berkuasa seseorang, maka kampus "tertutup rapat" untuknya. Semua akses kampus dan fasilitas lainnya sudah tertutup. Bahkan orang -orang dekatnya dulu pun sudah berubah. Rata-rata sudah menghindar dengan alasan banyak kesibukan. Sehingga civitas akademika rugi karena tidak terjadi "transfer of value dan transfer of knowledge yang baik. Sustainable, kesinambungan tradisi terputus. Akhirnya kampus kita sulit untuk maju. Kampus kita sulit untuk masuk ranking dunia.
Situasi tersebut, diperparah lagi dengan para pejabat kampus yang tidak open minded. Para birokrat kampus cenderung "tertutup" dari orang lain. Kampus disangkanya milik orang daerah. Sehingga, anggota senat berupaya "habis- habisan" untuk menguasai kampus. Mereka mencari putera daerah. Begitu mereka berkuasa, maka right and wrong is my country. Tidak peduli kualitas, yang penting seluruh pejabatnya adalah "orang kita". Pendatang yang cerdas, silakan minggir. Kampus dikelola mirip- mirip mengelola harta warisan. Sehingga kampus di Indonesia terutama di perguruan tinggi Islam, rata- rata tidak berkembang. Kampus kita masih mengalami imbreeding. Kualitasnya semakin mengecil. Civitas akademika pesimis, dan sekedar melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Birokrat kampus sibuk sendiri. Para dosennya sinuk mengajar ala kadarnya. Mereka mengajar juga sekenanya. Dosen tidak mengajar sesuai dengan standar dan kualitas akademik yang memadai. Mahasiswa tidak diarahkan untuk berpikir kritis seperti perguruan tinggi luar negeri. Mereka sangat mementingkan critycal thinking. Wah, sampai kapan kita bisa maju?
Saya berpikir, kita membutuhkan quamtum leap- meminjam istilah Ir Ciputra-- lompatan yang jauh ke depan. Seperti kata Nurcholish Madjid bahwa Indonesia untuk menjadi negara demokrasi, dimulai dari sekarang. Buahnya pada tahun 2030. Kita membutuhkan satu generasi ke depan. Kalau tidak dimulai dari sekarang, maka kita mundur lagi.

Tidak ada komentar: