Gallery

Rabu, 21 Oktober 2015

Gili Trawangan

Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Menu adalah pulau wisatawan. Gili Trawangan bahkan bisa juga disebut sebagai surga bagi turis asing. Ada hari- hari tertentu mereka merayakan kebebasan. Bebas berpakaian ala barat. Pakaiannya serba minimalis. Sekedar menutupi bagian- bagian sensitif tubuh mereka. Mereka berjalan lalu lalang di sepanjang jalan. Di sepanjang pantai, mereka juga melakukan ritual "sumur" ( maaf, susu dijemur). Ada malam halmana mereka merayakan minum bir. Bebas. Bahkan transaksi narkoba di tengah laut antara Bali dan Gili juga bebas. Tidak ada patroli keamanan di sana.
Tetapi hal yang menarik, di sana juga berdiri masjid yang megah. Konon, kalau lagi jumatan, para penduduk asli yang berprofesi sebagai guide, juga ikut menunaikan shalat jumat. Meskipun dari luarnya mereka bertampan preman.
Di Gili ada banyak Cottage, Restoran, Villa, hotel, dan penginapan sederhana lainnya. Ada warung murah. Ada sepeda yang disewakan dengan harga 20 ribu sampai 30 ribu per jam. Souvenir, kuliner, baju bergambar Gili Trawangan, dsb termasuk agak mahal dibanding harga harga di Senggigi atau Lombok.
Pemandangan indah, free diving, snorkling, musik, kuda dan dokarnya adalah daya tarik tersendiri bagi pengunjung Gili Trawangan. Semilir angin menghembus di bibir pantai. Resort yang tertata asri menambah kendahan Gili. Tak terasa waktu sudah menunjuk jam 10 pagi. Kami harus bergegas pulang menuju pantai Nipah. Kami menyewa boath yang cepat agar cepat sampai mengejar waktu ke bandara Lombok Praya. Benar saja, makan di pantai Nipah enak sekali. Ikan baronang bakar, cumi bakar, plecing kangkung, dan terong pedas. Aduhai asyiknya. Minum air kelapa segar pula. Angin pantai menyambar- nyambar. Ombak kecil bersusul- susul menambah nikmatnya kuliner pantai Nipah. Air keringat bercucuran. Sesekali menyekanya. Cerita lucu- lucu meluncur bersahut- sahutan. Pulau Lombok memang surga wisatawan. Indah, asri, tertata, aman, dan nyaman. Penduduknya ramah, dan enak diajak ngobrol. Terasa di kampung sendiri.
Hanya saja, kita juga sedih karena penampilan penduduk kampung yang kelihatan kusut. Tampak tidak menikmati glamournya kehidupan para wisatawan. Mereka tidur- tiduran di pagi hari. Barangkali karena malamnya bertugas sebagai pramusaji. Lalu, siapa yang mengeruk keuntungan. Jangan sampai pemilik hotel, cottage, villa tadi adalah orang luar. Bukan penduduk asli. Penduduk asli hanya sebagai pekerja biasa. Mereka hidup dari upah harian yang tidak menentu. Inikah akibat globalisasi?
Ada hal yang menarik, konon Gubernur NTB Tuan Guru Dr Zainul Majdi sedang menggagas Islamic Tourism pada kawasan Sengigi, Kuta, dan Gili Trawangan. Lalu seorang kawan bertanya, bagaimana cara menerapkan Syariah tourism kalau para bulenya membawa budaya mereka ke sini. Apanya yang mau disyariahkan. Saya menjawab sekenanya, barangkali sistemnya yang Islami atau syar'i. Bahwa suatu kawasan wisata harus bersih, penyedia jasanya pada jujur, tidak terjadi penipuan. Atau secara pelan-pelan mereka harus menghargai budaya setempat. Mereka tidak sembarangan melakukan kissing di sembarang tempat. Tetapi pada tempat-tempat yang tertutup. Kuliner yang dijajakan bersih, padat gizi dan berstandar halal. Lalu, bagaimana dengan bir? Untuk yang ini, saya sudah kewalahan untuk memberi jawaban sekenanya. Singkat kata, memang perlu memikirkan untuk membuat sebuah sistem agar kawasan wisata tidak melulu menjajakan budaya barat. Sebab, lambat laun, generasi kita akan kehilangan identitas keindonesiaannya. Di Gili Trawangan dan Gili-Gili lainnya sudah membaur antara budaya global dan lokal. Mereka lebih tepat disebut mempraktekkan glokal. Budaya global sekaligus lokal.

Tidak ada komentar: