Gallery

Kamis, 06 Agustus 2015

STIE Tazkia Bogor

Saya mendapat undangan dari Direktur TAZKIYA, Sentul, Bogor untuk “menguliti” kurikulum yang sedang mereka kembangkan. Semua civitas akademikanya hadir yang kebetulan menduduki posisi penting.  Dr Yazid memulai pembahasan dengan sebuah ilustrasi. Bahwa kita berada dalam dunia yang sangat kontras. Dia mengomentari sebuah gambar. Dalam gambar itu ada sekelompok pasukan yang menggunakan pedang. Dia menggambarkan cara-cara berdakwah masa lalu yang cenderung memakai cara-cara kekerasan.  Alhamdulillah, sekarang kita semua memegang notebook. Kalau pedang, hanya mampu memotong dedaunan, ranting atau batang-batang kecil. Kalau memegang notebook pasti lebih lincah untuk menulis dan mengutip sana sini. Dakwah kita harus dengan bi al-qalam. Dakwah dengan pena.
Untuk memulai pembicaraan, saya mengutip Ken Robinson, Creative School, revolutionizing education from ground up, 2015. Bahwa pendidikan kita harus yang membumi. Yakni pendidikan  yang merepresentasi fakta-fakta. Bukan pendidikan yang “mengawang-ngawang”. Pendidikan didesain harus berpijak ke bumi. Selanjutnya, saya mengutip pandangan Dr Haidar Baqir mengenai pentingnya penerapan “Professional Learning”yang meliputi: (a)  Creativity
, (b) Innovation, (c)  Transfer of knowledge, dan (d) Character building.
   Saya tekankan bahwa seharusnya kita menerapkan authentic learning. Assesment as learning. Halmana, soal ujian yang diberikan kepada siswa persis dengan kehidupan nyata. Demikian pula halnya  dengan positive discipline. Semakin disiplin kita terhadap diri sendiri, maka alam akan lembut kepada kita. Semakin lembek kita, maka alam akan sangat keras terhadap kita. Siswa di atas sekolah menengah atas harus diberi tantangan dan kesulitan-kesulitan hidup. Mereka harus diberi ilmu kehidupan. Bahwa hidup ini tidak seindah yang dibayangkan. Bahwa hidup ini harus terus diperjuangkan. Bahwa hidup ini sangatlah keras. Kesuksesan selalu terjadi di luar zona nyaman. Demikian seterusnya.

 Problem faktual kita, apa?
    a. Kurang passion dalam proses pembelajaran. Mereka lebih banyak usaha-usaha sampingan. Apalagi dosen yang mendapat tugas tambahan sebagai pejabat. Ditambah lagi dengan fenomena  dosen batu akik. 
    b. Penelitian kurang bermutu karena kurang biaya. La yamutu fiha wa la yahya.
    c. Dosen belum banyak tampil sebagai intellectual public. Belum sebagai news maker.
    d. Rasio dosen- mahasiswa tidak seimbang. Proses pembelajaran mirip-mirip majelis taklim. Sekedar ngaji. Kajian akademik yang mendalam belum menjadi mainstreaming. 
    e. Academic writing mahasiswa masih lemah. Mahasiswa masih senang men-copy paste. 
    f. Critical thinking belum menjadi budaya akademik. Kalau ada 20 mahasiswa, di kala masuk sesi tanya jawab hanya satu dua yang mengacungkan tangan. Mereka rata-rata tidak percaya diri dalam mengemukakan pendapatnya. 


How to Solve this problem?
    Kita harus sungguh-sungguh membangun tradisi akademik. Sebagaimana sarjana muslim terdahulu ada banyak di antara mereka yang rela “menjomblo” demi ilmu pengetahuan. Abu Fattah Abu Ghuddah menulis kitab: al-‘ulama al-uzzab al-lazina atharu al-ilm ‘ala al-zawaj,. Abd al-Majid al-Bankany, menulis Rihlat al-‘Ulama fi Thalab al-Hadith. Ibnu Syihab al-Zuhry berutang untuk kepentingan  mencari hadis. Demikian seterusnya.

Tidak ada komentar: