Gallery

Jumat, 08 Agustus 2014

Sidak

Konon, para narapidana hanya takut dan was-was pada sidak. Inspeksi mendadak. Para napi tidak terlalu peduli atau mengkhawatirkan lama putusan hukum atau sanksi yang akan dijalaninya. Tapi mereka sangat takut sama sidak. Sidak bisa merampas kebebasan seorang napi. Sidak dapat membuat seorang napi merasakan tekanan yang luar biasa. Ada sekelompok napi yang sedang halaqoh, majelis taklim. Ustaznya baru saja mengucapkan salam. Tiba-tiba petugas tamping datang memberi tahu bahwa ada sidak. Maka halaqoh langsung bubar. Mereka kabur menuju kamar sel masing-masing. Kalau kebetulan ada napi yang membawa peralatan yang terlarang, seperti kipas angin, hand phone atau apa saja, demi keamanan dan keselamatan dirinya, pasti ditinggalkannya. Sidak ibarat kiamat kecil bagi para napi. Ada pemandangan dari tahun ke tahun, menurut cerita dari mulut ke mulut. Konon, di lapas merupakan dunia sendiri. Sejak zaman penjajahan Belanda yang namanya lapas, lembaga pemasyarakatan, tradisinya tetap sama. Tidak bergeser. Kalau ada napi yang sakit dan terpaksa mencari dokter spesialis, bisa keluar dengan konsekwensi harus menyerahkan sejumlah uang. Kalau ada keluarga yang membesuk juga harus menyerahkan sesuatu. Ada pendampingan, tapi tetap saja dimintai uang. Atau harus menyerahkan uang. Semoga ini hanyalah kabar burung dan hanyalah kisah-kisah pilu masa lalu. Tidak sekarang. Ada banyak hal yang lebih seram seperti yang ditulis Arswendo,budayawan dalam novelnya itu. Semoga catatan-catatan tersebut dan kisah-kisah pilu para napi itu menjadi pembelajaran buat kita untuk menjadi warga negara yang lebih beradab. Sewaktu Prof. Baharuddin Lopa menjabat sebagai Dirjen Lapas ada ide menyiapkan bilik cinta. Yakni napi yang ingin bersama dengan keluarganya diberi ruang untuk melepas rindu. Ide ini dilatari oleh pengalaman pak Lopa berkunjung ke Australia. Bagi beliau, hasrat biologis napi harus dipertimbangkan untuk memenuhi hak-hak asasi manusia. Saya tidak tahu, apakah sekarang sudah ada bilik cinta itu. Sebaiknya dilegalkan saja, sehingga lapas tidak terkesan sebagai 'neraka' bagi para napi. Sebab, para napi juga manusia. Memiliki hak menikmati hidup. Mungkin dengan lapas yang lebih humanis, para napinya akan cepat tersadarkan. Sebaliknya, kalau mereka diperlakukan tidak manusiawi sangat boleh jadi mereka tidak menjadi lebih baik dalam pembinaan napi. Perlu penelitian psikologis bagi para napi mengenai tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang mereka alami. Apakah stimulan contoh-contoh prilaku mulia akan berdampak positif bagi napi. Atau efek jera menjadi lebih baik sebagai proses training untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebab, ada pandangan yang mengatakan manusia dengan tingkat penderitaan tertentu akan menjadikan dirinya lebih cepat sadar menjadi lebih baik. Ia akan belajar dari pahit getirnya kehidupan. Victor Frankl membuktikannya dalam kegetiran hidup yang dijalaninya, justeru menjadikan dirinya sebagai manusia baru. Beliau menjadi tahan banting dalam menjalani kehidupan berikutnya. Meskipun beliau menjalani kehidupan penjara yang paling kejam bukan karena pelanggaran moral, tapi sebagai akibat kejahatan perang. Buku beliau menarik untuk dibaca: Manusia mencari makna.

Tidak ada komentar: