Gallery

Selasa, 24 November 2015

Positioning Perguruan Tinggi Keagamaan di Era Digital
Muhammad Zain[1]
“Great vision without great people is irrelevant”.
Jim Collins, penulis buku Good to Great.
When planning for a year, plant corn. When planning for a decade, plant trees.
When planning for life, train and educate people.
(Chinene provers)


Fenomena yang menarik sekarang ini adalah kemunculan Corporate University, seperti Toyota University, McDonald University, Motorola University, GE Campus at Crottonville, Cisco, AT&T, dan Exxon Mobil. Ada sekitar 25 universitas di Amerika Serikat yang didirikan oleh perusahaan besar.  Di Indonesia juga ada Ciputra University, Unversitas Bakri Group, Universitas Sahid, Jakarta, Telkom, Pertamina dan PLN Corporate University, dll. Semuanya telah menerapkan metodologi corporate university.
Selanjutnya, kita dikejutkan lagi oleh Virtual University. VU tidak membutuhkan ruang kelas, gedung yang mewah, tetapi kaya akan content pembelajaran. Contoh menarik adalah fenomena Khan Academy ( a free online education platform and non profit organization). Khan Academy didirikan oleh Salman Khan. Salman Khan lahir pada tanggal 11 oktober 1976. Ia adalah seorang Amerika yang berkebangsaan Bangladesh. Ia seorang pendidik dan entrepreneur. Dimulai dari rumah kecilnya, Khan memproduksi lebih dari 4.000 video pembelajaran mengenai matematika dan sains. Pada mei 2013, Khan Academy lewat channel youtube sudah satu juta video yang ditonton oleh lebih dari 268 juta kesempatan. Oleh majalah Forbes, Salman Khan diposisikan sebagai “ S 1 Trillion Opportunity”. Salman lulusan ilmu komputer dari MIT (Massachussets Institute of Technology), dan MBA dari Harvard Business School.  Dalam buku terbarunya: The One World Schoolhouse, 2013, ia berpendapat bahwa pembelajaran lewat ruang kelas sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Sistem perkuliahan dalam kelas hanyalah untuk proses pembelajaran 100 tahun yang lalu.

Bahwa revolusi informasi berdampak luar biasa terhadap reformasi pembelajaran. Dari pembelajaran yang terpusat pada teacher menjadi pembelajaran yang berbasis IT. Seorang guru dan dosen hanya sebagai fasilitator. Dan kalau mereka kurang tanggap, mahasiswanya dapat meninggalkannya. Mereka membutuhkan perubahan, bukan seorang guru. Pembelajaran juga harus berbasis riset. Seorang guru terutama dosen harus mengajarkan sesuatu berdasarkan hasil riset yang telah dan sedang dikerjakannya. Dosen tidak boleh hanya mengandalkan pengetahuan 'common sense' dan selanjutnya disampaikan kepada mahasiswanya.
Dunia sekarang sudah terkonek dengan dunia lain. World is flat, kata Thomas Friedman. Kita tidak hidup sendirian. Mahasiswa harus dari awal dibekali dengan sejumlah kompetensi dan kesadaran akan global citizenship. Mereka adalah bagian warga dunia. Bahwa kita hidup dan sadar akan komunitas dunia. Bahasa Inggeris merupakan keniscayaan untuk memasuki persaingan global. Penguasaan dan pemanfataan teknologi dalam proses pembelajaran adalah suatu kemestian. Informasi menyebar demikian cepatnya. Di dunia medis demikian pula halnya. Bahkan diprediksi suatu saat, robot akan menggantikan posisi dokter yang sesungguhnya.
Masyarakat juga sudah dan sedang berubah. Facebooker society. Masyarakat pengguna facebook. Semua informasi biasanya sudah ramai dibicarakan di facebook. Demikian pula twitter. Seseorang lebih senang "berkicau" di Twitter. Bahkan ujian mahasiswa sudah bisa lewat internet. Kurikulum berubah dalam dua tahun. E-lab dan e-library sudah hal yang sangat biasa. Sekarang mahasiswanya pun sudah "new students". Mahasiswa di era baru, era digital. Tidak seperti mahasiswa dulu. Datang, duduk, dan siap menerima materi pelajaran atau kuliah dari seorang dosen. Sekarang, dosen tak lebih sebagai "fasilitator". Sebab, informasi sudah tersebar demikian masifnya. Apa yang akan disampaikan oleh seorang dosen di kelas, mungkin sudah diketahui oleh para mahasiswanya. Pendidikan di masa depan, sangat boleh jadi dalam hal pendanaan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kucuran dana pemerintah. Ada banyak donatur yang siap menginvestasikan dana untuk kepentingan pendidikan dan dunia usaha.
Lalu, pertanyaannya kemudian, apakah pendidikan tinggi sudah siap dengan situasi ini? Perkembangan ilmu pengetahuan dan penyebarannya juga sudah demikian cepat dan massif. tercatat sudah 1,5 juta artikel mengenai sain dan teknologi. Dalam pembelajaran, kita membutuhkan new pedagogical approaches. What are our students expectations? Have less "respect" for the teacher, more willing to challenge.
Berkat revolusi IT, informasi sangat cepat beredar. Kejadian di suatu daerah terpencil, dalam waktu yang sangat singkat dapat diketahui di belahan dunia lainnya. Hampir tidak ada infromasi yang dapat ditutup-tutupi sekarang. Dulu, guru, Kyai sangat dihormati karena merekalah satu-satunya sumber informasi. Sekarang, zaman sudah berubah. Google dan media sosial lainnya sudah menyiapkan lebih dari 70% infromasi yang dibutuhkan manusia.
Fenomena kyai google juga menarik. Ustaz-ustaz tertentu membuat rubrik tanya-jawab atau blog, dan secara intensif membuat fatwa-fatwa keagamaan. Kyai google ini sesungguhnya tidak selamanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Tetapi memiliki pengikut yang cukup banyak. Dan mereka hadir menyapa dan memberi pandangan-pandangan keagamaan kepada jamaahnya lewat internet. 
Dalam hitungan detik, informasi apa pun yang kita butuhkan, dapat dijelaskan oleh Google. Dengan demikian, para pendidik, guru, Kyai, dosen harus mengerti perubahan ini. Materi, metode pembelajaran harus diubah. Kita seharusnya menekankan pada pentingnya critical analysis. Bagaimana menganalisis "tumpukan" atau bahkan "sampah" informasi itu. Demikian pula dengan orang tua. Perlu perubahan pola komunikasi dalam mendidik putra-puteri kita. Hampir semua anak usia muda sudah memegang hand phone. Itu berarti, aspek finansial dalam keluarga harus diperhatikan. Seorang orang tua tidak bisa lagi mengandalkan konsep "birr al-walidain", berbakti kepada kedua orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar mereka dihormati. Zaman sudah berubah. Seorang anak remaja sudah demikian "gaul". Mereka sudah sangat terkonek dengan seusianya dari selruh belahan dunia. Anak-anak juga semakin cepat dewasa. Bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan di tengah revolusi teknologi informasi yang demikian ini? jangan-jangan suatu waktu, anak-anak kita hanya menghormati orang tuanya karena kebetulan merekalah yang melahirkannya. Anak-anak hormat kepada orang tua karena "numpang" lewat lahir ke dunia fana ini. Demikian pula dalam hal kepemimpinan. Seorang top manajer yang kurang menguasai informasi mengenai bidangnya pasti kehilangan kontrol dan kekuasaan.The end of leardership, kata Barbara. Kita harus berpikir keras untuk "memenangkan" pertarungan di era digital ini. akankah kehidupan ini akan lebih baik dengan semua ini? Atau sebaliknya. Kita harus optimis. Ini adalah sunnatullah. Daripada menentang arus lebih baik mengalir bersamanya.
What the Next?
Terdapat beberapa hal yang menjadi konsern kita, sebagai berikut:
1.      Penguatan Leadership PTKI
Pimpinan PTAI harus visioner, karena mereka memimpin PT pada kondisi “turbulent times” meminjam istilah Peter Drucker.  Dengan latar belakang budaya kepemimpinan Indonesia yang sedang memasuki masa transisi dari paternalistik ke demokrasi, masih dibutuhkan pemimpin yang kuat dan visioner. Ke depan kepemimpinan rektor dibatasi dan dipisah antara kepemimpinan akademik dan non-akademik. Rektor semestinya mengurusi pembinaan akademik, peningkatan kompetensi dan karier dosen, pengembangan kelembagaan, penelitian dan ilmu pengetahuan. Hal-hal yang terkait dengan keuangan dan administrasi cukup didelegasikan dan diberi kewenangan penuh kepada pejabat yang kompeten dan sejak semula diangkat dari tenaga administrasi. Sehingga, seorang rektor setiap akhir tahun tidak lagi berhadapan dengan auditor BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal.
2.      Penyiapan Sumber Daya Manusia yang tangguh
Dosen sebaiknya dibagi menjadi dosen pendidik/pengajar dan peneliti. Dosen pendidik yang cirinya lebih enjoy dengan mengajar dan mentransfer ilmunya lewat proses pembelajan di kelas, dan menjadi nara sumber pada seminar-seminar ilmiyah sebaiknya diberi ruang gerak lebih leluasa. Demikian pula halnya dengan dosen-peneliti. Tridharma perguruan tinggi, sebaiknya dibalik menjadi: (a) penelitian; (b) pendidikan dan pengajaran, dan (c) pengabdian pada masyarakat. Sehingga, setiap dosen sedari awal sudah menyadari tugas riset yang diembannya. Dampaknya, setiap dosen yang berdiri di kelas akan menyampaikan hasil dan temuan riset yang digelutinya.
3.      Perluasan Akses.
Seperti yang jamak diketahui bahwa globalisasi hanya menguntungkan bagi pekerja terlatih dan terdidik. Sehingga bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan mengecap pendidikan akan tergusur dan cenderung memiliki pendapatan menurun. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakatnya untuk sekolah dan mendapatkan pelatihan kerja yang cukup. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Februari 2012, Indonesia memiliki angkatan kerja 120,4 juta orang. Sebanyak 42,1 juta orang bekerja di sektor formal, 70,7 juta orang bekerja di sector informal, dan pengangguran terbuka 6,3 persen. Saat ini, sebanyak 54,2 juta orang dari 109, 7 juta angkatan kerja masih lulusan SD atau tidak lulus SD. Dan diperkirakan sampai tahun 2025 nanti ada sekitar 48 juta pekerja berpendidikan SD. Proses demokrasi yang berjalan sangat cepat juga turut berperan memperlebar kesenjangan. Sebab hanya pemilik modal yang dapat memanfaatkan peluang berdemokrasi dan menduduki posisi penting dalam institusi demokrasi. Singkatnya, angkatan kerja harus terdidik. Dan ini salah satu tugas utama pemerintah untuk mendidik dan memberi peluang seluas-luasnya kepada angkatan kerja.
Yang menarik temuan Prof Anne Booth, guru besar School of Oriental and African Studies, 13 Juni 2014 bahwa Indonesia belum memiliki data akurat tentang  tingkat kemiskinan. Data BPS menyebutkan bahwa kemiskinan berkurang dari 11,6% pada tahun 2012 turun menjadi 11,3% pada tahun 2013. Sedang Bank Dunia menyebut angka 13,3% masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan ( Anne Booth, Poverty and inequality in Indonesia, from Soeharto to SBY). Masih data BPS menyebutkan bahwa terdapat 18,1 % rakyat Indonesia yang berpenghasilan 1,25 dollar per hari, jadi kurang 14.750 rupiah dengan asumsi 11.800 rupiah per dollar AS. Penyebab utama kemiskinan adalah mutu pendidikan yang rendah. Pendidikan yang buruk menjadikan seseorang tidak memiliki kemampuan bekerja secara profesional. Sehingga mereka hanya bisa menjadi buruh kasar dengan upah rendah.


4.      Re-desain Kurikulum.
Prof Boediono (wakil Presiden) secara mengejutkan menulis artikel di harian Kompas dengan judul: "Pendidikan Kunci Pembangunan" ( Kompas, 27 Agustus 2012). Tanggal 12 Oktober 2012, Harian Kompas laporan khusus mengenai pendidikan formal di bawah judul: Mengubah Kurikulum: Substansi atau Proses? oleh ST Sularto. Intinya mengulas kembali pointers pemikiran pak Boediono yang menganggap bahwa pendidikan di Indonesia tidak memiliki konsepsi yang jelas. Sehingga mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik over load. Seorang pendidik memasukkan apa saja meskipun tidak dibutuhkan oleh peserta didik. Sesungguhnya kegelisahan yang sama juga sudah pernah ditulis oleh Budi Darma ( sastrawan, mantan rektor IKIP Surabaya). Budi Darma mengkritik dengan sangat tajam bahwa anak-siswa Sekolah Dasar rata-rata membawa beban buku pelajaran sekitar 14 kg setiap harinya. Tentu beban seberat itu sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh sang murid. Boediono menegaskan bahwa seharusnya kurikulum itu mengarahkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik dan pekerja terampil serta profesional. Kemudian, Prof Boediono mengutip pandangan Prof Derek Bok ( presiden Emiritus Harvard University) bahwa setidaknya ada delapan komponen kurikulum, antara lain: 1. Mengajarkan cara berkomunikasi yang efektifkepada peserta didik; 2. Mengajarkan berpikir kritis agar mereka dapat menuliskan dan menyampaikan pikiran-pikiran kritis mereka secara benar; 3. Mereka juga disadarkan sebagai warga dunia yang akan terlibat dalam pergaulan dunia internasional; 4. Mereka juga diajarkan prinsip-prinsip berdemokrasi. Bahwa berbeda itu biasa. Dalam kaitan ini, pluralitas adalah sesuatu keniscayaan. 5. Mereka juga harus diajarkan seni dalam menjalani kehidupan. Sehingga mereka memiliki minat belajar seni, filsafat, olah raga, dll. 6. Hard skill yang terkait dengan bidang pekerjaannya kelak. Dari sekian banyak komponen yang ditawarkan Prof Derek Bok, hanya satu yang terkait dengan keterampilan untuk menjadi bekal di dunia kerja. Semua yang lainnya terkait dengan soft skill. Betapa pentingnya perbaikan dan re-desain kurikulum itu.
Terlebih lagi perbaikan kurikulum PTKI dengan mencermati perkembangan Islam Indonesia dewasa ini, yang ditandai dengan munculnya conservative turn. Yakni pembalikan wajah Islam damai dan santun menjadi Islam radikal, sangar dan menakutkan. Dalam buku the Ten Parallel dilaporkan, seorang wartawan asing sedang meliput kericuhan Front Pembela Islam (FPI) dengan kelompok Islam Liberal dan pemikir bebas agama-agama. Sambil memukul tongkat dan alat pentungan kepada kelompok Islam liberal, mereka mengucapkan Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar. Wartawan tersebut bertanya, Allah Akbar, artinya apa? Allah Maha Besar, jawab orang di sampingnya. Si wartawan mengira, Allah Akbar maknanya: Pukul, pukul, pukul!!!. Menyaksikan hal-hal seperti ini dan sejumlah kekerasan lain yang mengatasnamankan Tuhan dan agama, maka perlu mengevaluasi secara menyeluruh kurikulum pendidikan agama Islam yang diajarkan di PTKI dan PTU. Sudah barang tentu yang salah dalam proses pembelajaran PAI tersebut. Atau PAI harus diberi muatan multicultural sehingga peserta didik dapat mengerti arti perbedaan antar agama, bukan truth claim. PTKI harus tampil pada garda terdepan untuk mengeliminir dan memutus mata rantai aliran garis keras.
Walhasil, PTKI harus berbenah untuk memenangkan pertarungan global. PTKI harus melakukan lompatan jauh ke depan untuk menjadi perguruan tinggi yang maju.
 (Tulisan sedang diajukan untuk melengkapi artikel Peringatan Milad ke-50 UIN/IAIN Alauddin Makassar).
Wa Allah a’lam





[1] Alumni dan dosen Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar sampai tahun 2004. Sekarang sebagai Kepala Subdit Pengembangan Akademik, DIKTIS, Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag RI. Juga masih tercatat sebagai dosen Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarifhidayatullah Jakarta. 

Tidak ada komentar: